Safwan memapah Arlina turun dari ambulans, lalu membantunya berjalan masuk ke rumah Mak Yati. Mereka baru saja tiba dari rumah sakit."Aku bisa sendiri," ucap Arlina keras kepala sambil menepis tangan Safwan. Namun, lelaki itu bersikeras. Ia khawatir wanita itu terjatuh. Apalagi ketika dilihatnya istrinya berjalan masih terbungkuk-bungkuk karena menahan sakitnya akibat luka bekas caesar."Diamlah, Dek. Abang bantu. Kamu masih kepayahan," ucap Safwan sabar. Dia sadar kesalahannya fatal. Jadi harus banyak-banyak bersabar. Arlina terpaksa menurut."Di mana, Mak?" tanya Safwan ketika sampai di dalam. Ia bertanya ke mana kamar yang akan ditempati Arlina."Di sini, Safwan. Sudah kakak bersihkan." Arni yang menjawab. Selama mereka di rumah sakit, Arni sudah membersihkan rumah Mak Yati yang berantakan saat ditinggal."Iya, Kak," sahut Safwan. Ia mengiring Arlina masuk, membantu Arlina duduk dan berbaring di atas kasur kapuk yang ada di kamar."Abang akan datang setiap hari," ujarnya lembut pa
Sementara itu di kediaman Kirana."Saya terima nikahnya dan dan kawinnya Kirana Lestari Binti Iriana dengan mas kawin sebuah rumah, dibayar tunai."Kemudian seruan sah dari Iriana, juga dua orang saksi yang Yusuf undang menggema. Pernikahan siri yang diwalikan hakim itu terjadi. Lesti yang memaksa hadir, menangis tergugu. Hatinya tersaruk-saruk, pilu. Dia benar-benar tidak menyangka lelaki yang dikiranya mencintainya sungguh-sungguh itu mendua. Bahkan memilih perempuan yang pantas menjadi putrinya, perempuan yang adalah anak sahabatnya sendiri, dan itu menambah luka menjadi berlipat-lipat pedihnya.Napas Lesti tergeragap akibat isak, ia meremas-remas dadanya yang sesak. Kehidupan royal yang menjadi faktor Iriana, sahabat yang sangat dipercayanya mengkhianatinya. Dia benar-benar tidak menyangka. Padahal untuk tetap bisa royal, tak jarang dia harus meminjam.Jika menurutkan rasa sakit, ingin perempuan itu melaporkan perilaku Yusuf yang sangat tidak terpuji itu kepada dinas pendidikan
Safwan turun dari sepeda motornya dengan langkah lebar. Panas menguasai hatinya. Napasnya memburu. Rahangnya mengeras. Rautnya merah padam. Dengan tangan menggenggam kencang, ia mendekat menuju pintu rumah Lesti."Kak!" serunya lantang. Tangannya sontak menggedor pintu dengan keras. Kekesalan yang yang terlalu lama dipendam, memang akan menimbulkan ledakan dahsyat apabila sudah mencapai limitnya. Ia sudah lama bersabar terhadap kakak angkatnya itu. Bagaimana pun perlakuan Lesti yang tidak pernah menyukainya, ia selalu diam. Selalu kasih sayang yang ia tawarkan. Selalu rasa percaya yang ia punya. Dia berikan pinjaman kepada sang kakak dengan penuh rasa percaya, tetapi khianat yang ia dapat. Begitu salahkah dia dengan segala sikap percayanya? Bukankah yang berhutang yang seharusnya tahu diri? Berpikir bahwa yang dipinjam itu harus dikembalikan. Si pengutang harusnya menjaga kepercayaan penuh yang orang berikan. Hati Safwan sudah cukup perih atas kepergian Safna, juga kesedihan Arl
Sepeninggal Safwan, Yusuf masuk ke rumahnya dengan raut kesal. Langkahnya lebar sedikit menghentak."Ma!" serunya lantang bahkan masih beberapa langkah sebelum tiba di muka pintu. "Hmm ...," sahut Lesti malas. Sejak tahu perselingkuhan Yusuf dan Kirana, ia nyaris tidak peduli dengan suaminya itu. Satu-satunya alasan dia bertahan di rumah itu adalah nafkah lahir dan anak-anak mereka. "Selesaikan urusan Mama dengan saudara Mama itu. Jangan libatkan papa! Puyeng tahu, gak?" ucapnya lantang. "Papa berikan uangnya, maka mama selesaikan urusannya. Gampang," sahut Lesti santai."Mengapa papa? Mama yang pinjam?""Tapi Papa yang suruh.""Iya. Waktu itu tunjangan sertifikasi belum cair. Gaji tiga belas tunda. Tapi begitu cair, semua Mama yang pegang, mengapa tidak dibayarkan?""Siapa yang suruh menunda? Katanya mau ganti AC di kamar, kurang dingin. Terus untuk makan-makan, merayakan anniversary.""Apa habis bersih? 'Kan bisa kasih sedikit, tidak perlu lunas?""Sebagian mama tabungkan. Cadan
"Sudah matang, Mak," ucap Safwan. Ia menunjukkan dua ekor besar ikan gabus dalam jepitan panggang yang masih mengebul asap. Aroma lezat menguar. "Alhamdulillah. Makan sekarang apa nanti? Sebentar lagi azan isya," tanya Mak Yati sambil menyambut ikan di tangan Safwan. "Sekarang saja, Mak. 'Kan belum azan. Lagi pula kata Rasulullah, tidak ada salat jika makanan sudah siap," sahut Safwan sambil terkekeh. Untuk hadist yang satu ini, dia sudah hapal sejak kecil. "Ya, sudah. Mak siapkan.""Ya, Mak. Saya ke kamar Arlina dulu." "Iya. Pergilah."Keduanya sama-sama beranjak, tetapi menuju arah berbeda. Mak Yati ke dapur, Safwan ke kamar Arlina.Laki-laki itu mendorong pelan pintu kamar yang terbuat dari bahan triplek itu. Rumah sederhana Mak Yati sudah cukup tua. Dibangun ketika dia masih muda, kenangan terindah bersama almarhum sang suami. Arni sudah lama mengajak Mak Yati untuk tinggal bersama, tetapi beliau enggan. Terlalu banyak kenangan di rumah ini yang ingin terus Mak Yati ingat. "
Lesti menangis tersedu-sedu. Hatinya pilu. Jiwanya terluka. Tiga belas tahun membina rumah tangga, tidak pernah Yusuf berlaku kasar. Dia selalu hangat saat bicara. Senang berkelakar. Selalu menurutkan keinginan anak istri. Namun, semua berubah 180⁰ setelah kehadiran Kirana di antara mereka. "Papa jahat," ucapnya tersendat. Isak tangis yang keluar, juga dada yang terasa sesak menahan suaranya. "Mama ...." Alif yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran kedua orangtuanya datang dengan air mata yang sudah membanjir. Bocah usia 12 tahun itu juga menangis tersedu-sedu. Seketika ia memeluk ibundanya yang meringkuk di lantai dengan tubuh berguncang. "Mengapa Papa memukul Mama? Mengapa Papa sekarang jahat?" tanyanya terdengar pilu. Suaranya serak.Yusuf meraup muka kasar. Lalu mengusak rambut. Ia sendiri tersentak dengan apa yang dilakukan. Rautnya tampak frustrasi. "Maafkan papa. Papa lepas kontrol. Papa sedang pusing.""Papa berubah sejak ada perempuan itu. Papa sudah tidak mencintai mam
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Yusuf dengan intonasi tinggi. Emosi jelas sekali terdengar menyertai ucapannya."Bahkan saya tahu rumah istri muda Abang itu," jawab Safwan tenang. Yusuf mendengkus gusar. Ia merasa kecolongan. Bisa gawat jika Safwan tahu masalah yang satu ini. Dia sudah nekad mengirimkan karangan bunga padanya. Pasti bisa nekad juga menyebarkan informasi pernikahannya dengan Kirana ke pihak berwenang. Masalah laporan BOS saja belum ditemukan jalan keluarnya, sudah muncul lagi masalah baru yang membebani pikirannya."Jadi Abang yang ke rumah saya antar uangnya, atau saya yang ke rumah Abang?" tanya Safwan tanpa memedulikan kemarahan Yusuf."Uang apa, Safwan. Saya tidak punya uang. Harus bagaimana saya menjelaskan bahwa saya tidak punya uang?""Saya tidak percaya, Bang. Harus bagaimana saya menjelaskan bahwa saya tidak percaya ucapan Abang?" balas Safwan mengikuti alur kalimat Yusuf."Arrrrggghhh." Yusuf menggeram. Ia menutup telepon dengan emosi. Lesti yang mendengar kem
"Benaran makin cinta?" tanya Yusuf sambil berusaha menghilangkan resah di hatinya. Ia mencoba menikmati momen bersama Kirana, melupakan segenap masalah yang menerpa sejenak."Huum." Kirana mengangguk manja. Ia menerbitkan satu senyuman termanis, sangat menggoda."Artinya malam ini gak takut lagi?" Yusuf tersenyum nakal. Perempuan muda itu terperangah, lalu tersenyum malu. Salah tingkah, ia membenarkan rambut panjangnya ke samping telinga. "Bapak bisa aja," ucapnya. "Malam ini boleh, ya?" tanya Yusuf dengan gejolak di dada. Dia sudah tidak sabar.Sejak menikah, Kirana belum mau menyerahkan diri secara utuh. Ia selalu merengek takut ketika Yusuf hendak mendekat lebih jauh, selalu memohon agar pria itu mau memberinya waktu lebih lama. Deru sepeda motor yang terdengar dari pekarangan rumah menyelamatkan Kirana dari kewajiban untuk menjawab. Keduanya menoleh pada sumber suara. "Siapa?" tanya Yusuf sambil menatap perempuan di sampingnya penuh tanya. Ia sudah berpesan agar Kirana tidak
#24Riwayat diabetes gestasional yang di alami Lesti berdampak cukup buruk. Ia mengalami eklamsia berat.Berbagai masalah yang terjadi, membuat Lesti terpukul dan stres. Hal ini memperparah kondisinya. Lesti mengalami kejang saat kontraksi dan tidak tertolong. "Maafkan papa, Ma." Sekuat tenaga Yusuf menahan air mata agar tidak tumpah ketika menaburkan air bunga di atas tempat peristirahatan terakhir Lesti. Berulang kali laki-laki itu menarik napas, mencoba melepaskan sesuatu yang menyesak di dada. Sesuatu yang terasa teramat sakit karena ada yang direnggut secara paksa, menyisakan ruang hampa yang membuatnya perih oleh kerinduan. Rindu yang tidak akan ada ujungnya. "Maafkan papa ...," ucapnya lagi. Kali ini air mata itu tak terbendung. Ia tergugu pilu di atas dua pusara dari dua wanita yang pergi secara bersama-sama. Tubuhnya berguncang. "Papa mencintai Mama, papa rindu ...." Terbayang olehnya pengkhianatan yang dulu ia lakukan, semakin membuat tubuh kuyunya berguncang. Penyesala
"Ma ...." Yusuf bergegas ketika netranya mendapati Lesti duduk di kursi ruang kunjung tahanan. "Mengapa baru datang, Ma. Papa menunggu sejak kemarin-kemarin," ucapnya cengeng. Ia tampak tertekan, frustrasi. Rautnya kusut. Gurat-gurat lelah terukir di sana. Matanya terlihat lebih cekung. Sinarnya pudar. Rahangnya tak lagi kokoh. Hampir dua bulan ia menjalani penyelidikan, dan besok adalah sidang pertamanya. "Maaf, Pa. Kondisi mama tidak baik," sahut wanita itu lemah. Wajahnya terlihat kuyu, pucat dan lemah, "Mama diminta bedrest oleh dokter.""Tolong papa, Ma. Carikan pengacara. Papa tidak mau lama-lama di sini. Papa tersiksa." Alih-alih menanyakan kabar Lesti yang sedang tidak baik, Yusuf meraih tangan wanita itu, lalu menggenggamnya erat. Netranya menyorot sendu, memelas. Lesti menarik napas berat, "Pengacara?""Iya, Ma. Pengacara yang handal. Yang bisa membantu papa keluar dari sini. Papa tidak tahan di sini, Ma. Penghuni yang lain kejam-kejam. Mereka tidak menyukai papa. Awal-aw
Kirana menapak pelan pada reruntuhan puing yang menghitam, mencari jejak benda berharga yang mungkin masih bisa terselamatkan. Namun, nihil. Sang jago merah telah melalap semuanya kemarin. Hanya menyisakan pecahan tembok dan bahan yang tak bisa terbakar. Sementara berbagai surat menyurat penting, ijazah, atau sertifikat rumah lenyap tak berjejak. Bahkan perhiasan yang dulu diberikan Yusuf tidak dapat ia temukan. Wanita muda itu menggeram kesal. "Argh!" Ia meraup patahan material yang terjangkau, lalu membantingnya kasar, menguarkan abu yang membuat pekat area sekitar. Haruskah pengorbanannya berakhir sia-sia? Gadis itu merasakan sesuatu menggumpal di dadanya. Ia butuh pelampiasan untuk memecahkan gumpalan itu. Akan tetapi, mau marah pada siapa?"Sudahlah, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Paling tidak tanah ini masih tersisa untuk kita miliki," ucap Iriana. Padahal ia pun sama geramnya. Belum berapa lama semua itu dinikmati, harus ludes tak bersisa. "Tapi surat-surat pentin
"Kak."Safwan menatap kakak angkatnya yang kini berbaring lemah di ruang keluarga rumah orangtua mereka itu. Nurherita telah meletakkan kasur lantai di sana sebagai alas wanita itu beristirahat. Ia baru saja pulang dari rumah sakit.Perlahan laki-laki itu mendekat, kemudian duduk merendahkan diri di samping Lesti. Arlina mengikuti di sampingnya, meletakkan satu kantong berisi beberapa jenis buah.Lesti bergeming. Tidak sedikit pun menoleh pada sosok yang ia benci selama ini. Sosok yang ia yakini telah merampas kasih sayang kedua orangtuanya. Dia yang dibesarkan sejak kecil sebagai anak tunggal, dengan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya, tiba-tiba harus berbagi dengan Safwan kecil, sosok yang selalu merebut perhatian Nurherita karena tangisnya. "Apa kabar, Kak?" Arlina memulai kata. Namun, hening yang menjawab. Lesti enggan berucap. Kedua suami istri itu menghela napas, saling berpandangan tak nyaman. Meskipun mereka sudah menduga sebelumnya akan mendapat perlakuan seperti
Lesti masuk kembali ke dalam rumah dengan rasa sesak di dada. Air mata tak putus mengalir. Tubuhnya berguncang karena sesenggukan. Hatinya nelangsa, mengapa hidupnya harus se-menyedihkan ini? Dosa besar apa yang telah ia lakukan sehingga harus mendapatkan hukuman seperti ini. Wanita itu mengusap pelan jejak basah di pipi. "Kemaskan pakaian dan barang-barangmu, Sayang," ucapnya kepada Alif. Anak itu ia larang untuk ke sekolah sejak Yusuf di tahan. Ia takut Alif akan mendapat perundungan dari teman-temannya."Kita harus pergi. Rumah ini bukan milik kita lagi," lanjutnya parau. "Iya, Ma," sahut Alif sambil mengangguk. Ia sudah paham apa yang terjadi. Bahwa laki-laki yang selama ini dia banggakan, terlibat kasus tindak pidana korupsi. Lesti sendiri menuju kamar utama. Tempat penuh kenangan indah bersama Yusuf sebelum prahara mengguncang rumah tangga mereka. Wanita itu mengemas barang pribadi miliknya, juga Yusuf.Tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini, bahwa semua akan berakhir s
"Bang, lihat hiasan kue ulang tahunnya, lucu 'kan?" ujar Arlina sambil menunjukkan ponsel jadulnya pada Safwan. "Iya," sahut Safwan sambil memerhatikan. Ada album kumpulan kue ulang tahun di salah satu akun facebook. Seperti biasa, jelang tidur keduanya berbincang terlebih dahulu. "Aku mau ambil usaha ini, Bang. Boleh, gak?""Hah?" Safwan sedikit terperangah. Ia tidak menyangka jika pembicaraan istrinya mengarah ke sana. "Boleh gak?""Nanti kamu kecapekan. Lukamu bagaimana?""Lukaku Insyaallah sudah gak sakit lagi, Bang. 'Kan sudah dua bulan lebih.""Iya, tapi tetap harus dijaga. Kata orang, habis sesar itu gak boleh capek, gak boleh angkat berat.""Insyaallah aku gak capek, Bang. Aku akan takar sampai di mana batas kemampuan aku. Gak akan memaksakan diri dengan terima orderan banyak di luar kemampuan.""Kenapa harus kerja, sih? Biar abang saja yang kerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan kita.""Bukan sekedar uang. Aku bosan kalau setiap hari di rumah gak ada kegiatan, Ban
Alif pulang dari sekolah dengan wajah lesu, "Ma ...," panggilnya dari teras. Lalu duduk di kursi untuk melepas sepatu. Lesti dan Yusuf yang sedang bicara di ruang tamu, gegas keluar. Heran mendapati anak itu sudah pulang sekolah sepagi ini."Kok, sudah pulang, Nak?" tanya Lesti ingin tahu."Alif gak enak badan, Ma. Tiba-tiba pusing. Terus dari pada keterusan, diijinkan pulang oleh Bu Guru," terangnya ketika Lesti bertanya. "Badannya panas, gak?" tanya Lesti lagi sembari menempelkan punggung tangannya ke dahi Alif. "Agak panas. Ya, sudah. Kamu ganti baju, setelah itu tidur. Sini mama bantu bawa tas," lanjutnya. Ia mengambil tas dari punggung Alif, lalu mengiring anak itu menuju kamar.***Arlina terjaga, lantas keluar dari kamar dan mendapati Safwan sedang sibuk menempel huruf pada kain yang terbentang panjang. Mata wanita itu menyipit karena silau oleh cahaya lampu ruang tengah yang lebih terang dari lampu kamar. Ia melirik jam di dinding, pukul sebelas malam kurang seperempat."Ab
"Setrikakan baju papa ya, Ma. Kemarin papa diolok guru-guru karena pakai baju kusut," ucap Yusuf saat pagi menjelang. Ia baru saja bangun dan bersiap menuju kamar mandi.Lesti bungkam. Ia masih marah dengan apa yang dilakukan Yusuf. Pengkhianatan Yusuf sudah sangat melukainya, ditambah kemarin laki-laki itu mentransfer uang jatahnya kepada Kirana, dan yang terakhir perhiasannya dicuri untuk diberikan pada perempuan yang ternyata hanya menipunya itu. Setelah semua habis, barulah ia datang untuk memohon-mohon. Namun, tak urung dilakukannya juga permintaan Yusuf. Meski dalam diam.Setelah menyetrika baju Yusuf, wanita itu segera menuju dapur. Menata sarapan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ada nasi goreng seadanya. Keadaan tubuh yang lemah membuatnya mengerjakan sesuatu asal jadi saja. "Sarapan apa, Ma?" tanya Yusuf yang sudah selesai mandi dan berpakaian rapi. Penampilannya lebih baik, tidak lagi kusut dan lecek. Meskipun dari warna muka, masih tampak gurat kacau. Alif sudah duduk d
"Benaran makin cinta?" tanya Yusuf sambil berusaha menghilangkan resah di hatinya. Ia mencoba menikmati momen bersama Kirana, melupakan segenap masalah yang menerpa sejenak."Huum." Kirana mengangguk manja. Ia menerbitkan satu senyuman termanis, sangat menggoda."Artinya malam ini gak takut lagi?" Yusuf tersenyum nakal. Perempuan muda itu terperangah, lalu tersenyum malu. Salah tingkah, ia membenarkan rambut panjangnya ke samping telinga. "Bapak bisa aja," ucapnya. "Malam ini boleh, ya?" tanya Yusuf dengan gejolak di dada. Dia sudah tidak sabar.Sejak menikah, Kirana belum mau menyerahkan diri secara utuh. Ia selalu merengek takut ketika Yusuf hendak mendekat lebih jauh, selalu memohon agar pria itu mau memberinya waktu lebih lama. Deru sepeda motor yang terdengar dari pekarangan rumah menyelamatkan Kirana dari kewajiban untuk menjawab. Keduanya menoleh pada sumber suara. "Siapa?" tanya Yusuf sambil menatap perempuan di sampingnya penuh tanya. Ia sudah berpesan agar Kirana tidak