"Mama! Ma, bangun, Ma!"Aku menoleh ke Mas Fajar yang mengusap lenganku, aduh aku jadi berpikiran buruk di dalam. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam sana?"Coba Mas masuk sebentar buat ngecek ya, Sayang." Mas Fajar juga tampak khawatir. "Iya, Mas. Kamu cek aja ke dalam, siapa tau memang terjadi sesuatu. Hati-hati, Mas." Mas Fajar menganggukkan kepalanya, dia menoleh ke Kafka. "Titip Mbak kamu sebentar, Kafka. Sekalian minta tolong jagain Raja. Jangan sampai kenapa-napa ya." Kafka dengan mantap mengangguk, dia sudah biasa dititip seperti itu. Meskipun Mas Fajar sudah masuk ke dalam, tetapi aku tetap saja khawatir. Ingin sekali aku masuk ke dalam sana, tetapi mau bagaimana lagi, kan gak mungkin juga aku masuk ke sana. "Udah, Mbak tenang saja di sini. Kan Mas Fajar juga lagi ngecek ke dalam. Nanti malah kenapa-napa kalau Mbak ikutan masuk." Kafka menggelengkan kepalanya, dia melarang aku untuk ikut masuk ke dalam. Baik lah kalau begitu, aku tidak diperbolehkan masuk oleh Kafka. D
"Innalilahi wa innailaihi rojiun." Aku menundukkan kepala mendnegarnya. Sebenarnya aku memang sudah menduga sejak awal, tetapi tadi aku berharap ada keajaiban yang datang, ternyata tidak ada sama sekali. Entah lah, tidak ada lagi keajaiban itu. Aku mengusap wajah berkali-kali. Kasihan Rini, kasihan juga Reno, meskipun kami tidak tau dia ada di mana sekarang. "Mas masih menyuruh orang suruhan Mas untuk mencari Reno. Semoga saja dia segera ditemukan."Semoga saja. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan Mas Fajar. Suamiku banyak sekali membantu di situasi seperti ini. "Boleh aku ke tempat Rini, Mas?" tanyaku pelan. Aku kasihan sekali melihat remaja itu terduduk sambil terisak. Kafka juga tampak sedih, tetapi dia tidak tau mau bagaimana. Dia tidak mungkin mendekati Rini dan memeluknya. Maka nya, seharusnya aku yang menenangkan remaja itu. "Boleh, Sayang. Hati-hati ya, jangan sampai kamu juga ikutan sakit, oke?" Mas Fajar berusaha untuk membujuk aku. "Iya Mas, makasih banyak.
"Hah membunuh Mama kamu? Gak salah ucap kamu, hah?!" Mas Fajar tampak tidak terima dengan apa yang Reno katakan. Aku mengembuskan napas pelan, berusaha untuk meredam kemarahan Mas Fajar, dia pasti tidak terima dengan apa yang mantan suamiku itu katakan. "Sudah lah, Mas. Dia lagi emosi, karena memang kan dia lagi berduka." "Tapi gak menuduh kita kayak gitu dong, Sayang. Masa iya tiba-tiba dia bilang kalau kita yang membunuh Mama nya. Enak aja."Astaga. Aku mengusap peluh di dahi, menoleh ke Raja yang menundukkan kepalanya. Kejadian ini membuatku teringat kembali ketika Raja dinyatakan meninggal dunia. Ternyata aku baru tau setelah menikah dengan Mas Fajar. Fakta yang aku ketahui adalah, ternyata Raja belum meninggal. Ya, Raja belum meninggal. Padahal ketika itu, kejadian mengatakan kalau anakku tidak bisa lagi diselamatkan. Itu kejadian yang sangat tidak aku duga. Bahkan, aku sempat tidak percaya. Aku menoleh ke Raja, anakku tetap menatap sekeliling dengan polos. Dia bahkan tampa
"Sudah, kamu gak perlu mikirin Abang lagi, yang penting kamu sekarang bisa bebas mikirin masa depan kamu." Itu yang dikatakan oleh Reno ketika kami akhirnya bilang kalau akan membawa Rini pulang bersama kami. Sebenarnya, aku masih heran dengan Kafka. Kenapa dia tidak mau Rini ikut bersama dengan kami? Padahal kan dia yang awalnya kasihan juga pada Rini. Bahkan, sampai sekarang Kafka tidak mau masuk dan ikut untuk mengajak Rini pulang ke rumah kami. Entah lah, aku juga bingung dengan anak itu. "Makasih banyak udah mau bantuin keluarga kami. Aku gak tau lagi harus berterima kasih kayak mana ke kalian sekeluarga." Reno tersenyum, dia tampak berterima kasih sekali. Sejujur nya, aku juga agak aneh dengan tingkah laku Reno, tetapi ya sudah lah. Mungkin itu hanya perasaan aku saja. "Ayo, Rini. Kita langsung pulang saja ya." Aku mengusap pundak Rini. Gadis itu menganggukkan kepala, dia kembali pamit pada Abangnya, kemudian melangkah mengikuti kami. Sepanjang perjalanan, tidak ada perc
"Apaan sih ini?!" Aku langsung menarik lengan Mas Fajar, tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh tamu suamiku itu. Wanita cantik dengan rambut tergerai. Aku tidak pernah melihat dia sebelum nya. Mas Fajar juga tampak kebingungan. "Kenapa sih? Saya cuma mau meluk Fajar sebentar. Masa gak boleh."Lucu sekali dia ini. Apa kah dia tidak melihat kalau aku di sebelah Mas Fajar begini? Apa kah dia tidak sadar kalau aku adalah istrinya Mas Fajar, hah?! Menyebalkan."Kamu gak lihat saya sedang hamil? Saya istri nya Mas Fajar dan saya sedang hamil anak nya. Jadi tolong hargai perasaan saya." Aku benar-benar marah dan kesal. Membuat dongkol saja. Tidak biasa nya juga ada orang datang ke sini tiba-tiba memeluk suamiku. Sudah gak waras ini orang. Aku menggelengkan kepala kesal, marah karena dia. Tatapan wanita itu terarah ke perutku, kemudian kembali menoleh ke Mas Fajar. "Jadi kamu sudah menikah? Kenapa kamu gak pernah bilang ke aku? Kenapa sih, Fajar?"Apa sih ini? Aku tidak paham sama
"Aku sudah selesai siap-siap. Maaf ya kalau aku sudah nyusahin Mbak dan yang lainnya. Juga menyusahkan Kafka."Adikku itu langsung memalingkan wajah nya mendnegar nama nya di sebut di belakang kalimat Rini. Aku mengembuksan napas pelan, Rini sudah menggeret koper nya. Aku bingung dengan mereka, aku bahkan tidak paham lagi dengan jalan pikiran adik dan juga suamiku itu. Entah apa yang mereka katakan soal Rini. Ah, bodo amat deh. Padahal kan Rini juga baru saja kehilangan Mama nya. Masa iya kami sudah mengusir dia dari rumah ini. "Sekali lagi maaf kalau kesannya kami malah mengusir kamu, Rini. Tenang saja, semua biaya hidup kamu, biar kami yang tanggung. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aja." Mas Fajar mengatakan itu. Kami sudah sampai di rumah yang memang kosong, tetapi ini dulu memang dijadikan sebagai rumah orang kantor Mas Fajar yang rumah nya jauh, karena masuk pagi, maka nya menginap sebentar. Tidak mungkin orang kantor nya Mas Fajar menginap di rumah kami. "Aku yang makas
"Mama serius? Mas Fajar pingsan kenapa, Ma?"Wajah Kafka juga langsung berubah panik. Aku menggigit bibir dalam-dalam. Astaga, apa yang terjadi pada suamiku?"Aduh, Mama juga gak tau Fajar pingsan kenapa. Kamu buruan ke sini, Mama udah minta bantuan beberapa tetangga tadi, juga minta bantuan tukang kebun dan pembantu."Aku menelan ludah, buru-buru menganggukkan kepala, aku khawatir sekali dengan kondisi Mas Fajar sekarang. Memang sih tadi Mas Fajar kelihatan pucat sekali, tetapi aku juga tidak tau kalau suamiku itu sedang sakit. Kenapa juga Mas Fajar tidak bilang padaku. Haduh, membuat pusing saja. "Kenapa, Mbak? Mas Fajar kenapa?" tanya Kafka juga ikutan panik. "Mbak juga gak tau, yang pasti, kata Mama, Mas Fajar pingsan." Aku mengusap wajah berkali-kali, mempercepat langkah. "Padahal tadi baik-baik aja kok. Kenapa sama Mas Fajar, ya, Mbak? Tadi pas masih sama aku, Mas Fajar sehat banget loh, Mbak."Ya kan beda kasus nya. Aku menggelengkan kepala mendnegar perkataan nya Kafka, ya
"Hah?! Soal penyakit? Tentang dia?" Aku bergumam pelan. Apa maksud dari pesan ini? Buru-buru aku memfoto pesannya, kemudian kembali menyembunyikan ponselku ketika Mas Fajar berganti posisi tidur. Pasti ini adalah jawaban dari semua ini. Aku mengembuskan napas pelan, sebenar nya aku pusing sekali sih memikirkan nya. "Apa yang sebenar nya kamu sembunyikan dari aku, Mas? Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Kenapa?" tanyaku pelan. Sungguh, aku ingin jawaban dari Mas Fajar, tetapi suamiku ini masih sakit, pasti Kafka dan juga Mama tau, tetapi bagaimana cara membujuk mereka agar mau menjawab nya? Ah, pasti mereka tidak akan mau menjawab pertanyaan dan juga kebingungan aku. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Fajar yang tidak aku ketahui, apa lagi anak yang akan aku kandung akan segera lahir ke dunia. "Sayang." Mama mengetuk pintu kamar. Aku mengembuskan napas pelan, melangkah menuju ke pintu rumah. "Ada apa, Ma?" tanyaku sambil membuka pintu, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedih
"Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un
"Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa
Oh ya? Apa kah aku bisa mempercayai pesan ini? Apa kah aku harus menemui wanita ini nanti malam? Hmm, mungkin menarik sih, nanti saja lah aku pikir kan. Mungkin saja aku akan datang ke sana nanti, tetapi aku juga tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Kamu kenapa bengong sayang? Itu pesan dari siapa?" tanya Mama nya Mas Fajar membuatku menoleh. "Eh?! Ini? Enggak, bukan dari pesan siapa pun kok, Ma. Mama tadi ditelepon sama Mas Fajar?" tanyaku pelan. Mama nya Mas Fajar menggelengkan kepala. Dia seperti nya tidak tau dari anak nya langsung. "Mama kamu tadi menghubungi Mama. Mama sama sekali gak tau tentang penyakit anak itu. Padahal harus nya Mama juga ikutan tau loh." "Sama Ma, mereka menyembunyikan semua nya dari Nina. Jadi nya, Nina juga gak tau. Mau menghubungi Mama juga kayak mana, gak ada informasi yang aku dapatkan." "Emm kayak gitu ya? Nanti Mama paksa saja dia bicara yang sejujur nya, atau sekalian kita temui dokter nya. Enak aja sakit tapi gak bilang ke Mama." Mama Ma
"Ya ampun, aku gak bermaksud kayak gitu, Sayang. Aku gak maksud." Mas Fajar tampak memohon. "Sudah lah, wanita keras kepala kayak gitu gak usah diurusin. Kasihan sama kesehatan kamu." Wanita itu akhir nya kembali lagi ikut dalam pembicaraan kami. Aku meremas pakaianku sendiri, berusaha untuk meredam emosi, jangan sampai aku menjambak wanita itu di sini. Sudah seperti pelakor dia, mana gak punya malu lagi. "Aku pergi ya, Mas. Mau pulang, lelah sekali kayak nya." Aku akhirnya mengalah. Ya sudah lah, biarkan saja apa yang mas Fajar lakukan di sini. Wajah Mas Fajar tampak sekali merasa bersalah. Sudah lah, aku sudah tidak mau lagi membahas apa pun pada Mas Fajar. Entah lah, aku sudah muak melihat nya. Banyak sekali janji Mas Fajar, tetapi tidak pernah dia tepati. Sudah lah, aku sudah paham dengan apa yang dia lakukan, dia juga tidak pernah memikirkan aku lagi sekarang. "Semoga cepat sembuh, Mas. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, tadi ponsel kamu mati, aku gak bisa hubungi
"Iya, mereka sedang ke rumah sakit, Bu. Sebentar saja kata nya tadi, tapi sampai sekarang belum kembali juga."Astaga, apa yang keluargaku lakukan sih? Kenapa mereka tidak menghubungi aku sama sekali soal ini? Aku jadi tambah kesal. Aku tau sekali kalau mereka tidak menghubungi aku sama sekali. Kalau sudah, ponselku pasti berdering sejak tadi, tetapi ini tidak ada. Haduh, aku tidak paham dengan apa yang mereka pikir kan. "Bibi tau di mana rumah sakit nya? Atau rumah sakit keluarga kita biasa? Atau bibi tau sesuatu gitu?" tanyaku panik. "Enggak, Nyonya. Saya gak tau sama sekali rumah sakit nya dimana. Soal nya gak ngasih tau ke saya."Haduh, sudah lah. Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungi Mas Fajar, nomor telepon nya tidak aktif. Aku mengembuskan napas kesal, menghubungi Mama. Terdengar nada sambung, aku harap-harap cemas. Berharap Mama mau mengangkat telepon dari aku. "Ya ampun, pada kemana sih gak ada yang mau ngangkat telepon aku." Aku bergumam kesal. Di s
"Wah, Mas Fajar gak beres lagi ini mah." Aku menggelengkan kepala, kesal sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Apa kah dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak suka dia menyembunyikan sesuatu dari aku, hah?! Kenapa sih selalu saja menganggap enteng semua nya?Memang nya Mas Fajar tidak lagi menganggap aku sebagai istrinya? Atau bagaimana ini? Aku gak paham sama sekali dengan apa yang dia lakukan. "Mama udah gak tau lagi harus kayak mana. Istri kamu semakin hari semakin curiga sama kamu. Mama mungkin bisa halangin dia sekarang, tapi kalau nanti? Mama gak tau bisa atau enggak." Terdengar suara Mamaku yang frustasi. "Sama, Mbak pasti curiga sama aku terus. Aku udah capek buat bohong, Mas gak bisa jujur saja sama Mbak? Lagi pula, Mbak gak akan marah kok."Apa sih yang mereka pikir kan? Apa kah mereka tidak kasihan padaku karena terus saja menebak-nebak apa yang mereka sembunyikan, hah?! "Maka nya itu, Mas gak mau nambahin beban Mbak kamu, meskipun Mas tau kalau dia gak akan marah. Ka
"Hah?! Soal penyakit? Tentang dia?" Aku bergumam pelan. Apa maksud dari pesan ini? Buru-buru aku memfoto pesannya, kemudian kembali menyembunyikan ponselku ketika Mas Fajar berganti posisi tidur. Pasti ini adalah jawaban dari semua ini. Aku mengembuskan napas pelan, sebenar nya aku pusing sekali sih memikirkan nya. "Apa yang sebenar nya kamu sembunyikan dari aku, Mas? Kenapa kamu gak jujur aja sama aku? Kenapa?" tanyaku pelan. Sungguh, aku ingin jawaban dari Mas Fajar, tetapi suamiku ini masih sakit, pasti Kafka dan juga Mama tau, tetapi bagaimana cara membujuk mereka agar mau menjawab nya? Ah, pasti mereka tidak akan mau menjawab pertanyaan dan juga kebingungan aku. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Fajar yang tidak aku ketahui, apa lagi anak yang akan aku kandung akan segera lahir ke dunia. "Sayang." Mama mengetuk pintu kamar. Aku mengembuskan napas pelan, melangkah menuju ke pintu rumah. "Ada apa, Ma?" tanyaku sambil membuka pintu, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedih
"Mama serius? Mas Fajar pingsan kenapa, Ma?"Wajah Kafka juga langsung berubah panik. Aku menggigit bibir dalam-dalam. Astaga, apa yang terjadi pada suamiku?"Aduh, Mama juga gak tau Fajar pingsan kenapa. Kamu buruan ke sini, Mama udah minta bantuan beberapa tetangga tadi, juga minta bantuan tukang kebun dan pembantu."Aku menelan ludah, buru-buru menganggukkan kepala, aku khawatir sekali dengan kondisi Mas Fajar sekarang. Memang sih tadi Mas Fajar kelihatan pucat sekali, tetapi aku juga tidak tau kalau suamiku itu sedang sakit. Kenapa juga Mas Fajar tidak bilang padaku. Haduh, membuat pusing saja. "Kenapa, Mbak? Mas Fajar kenapa?" tanya Kafka juga ikutan panik. "Mbak juga gak tau, yang pasti, kata Mama, Mas Fajar pingsan." Aku mengusap wajah berkali-kali, mempercepat langkah. "Padahal tadi baik-baik aja kok. Kenapa sama Mas Fajar, ya, Mbak? Tadi pas masih sama aku, Mas Fajar sehat banget loh, Mbak."Ya kan beda kasus nya. Aku menggelengkan kepala mendnegar perkataan nya Kafka, ya
"Aku sudah selesai siap-siap. Maaf ya kalau aku sudah nyusahin Mbak dan yang lainnya. Juga menyusahkan Kafka."Adikku itu langsung memalingkan wajah nya mendnegar nama nya di sebut di belakang kalimat Rini. Aku mengembuksan napas pelan, Rini sudah menggeret koper nya. Aku bingung dengan mereka, aku bahkan tidak paham lagi dengan jalan pikiran adik dan juga suamiku itu. Entah apa yang mereka katakan soal Rini. Ah, bodo amat deh. Padahal kan Rini juga baru saja kehilangan Mama nya. Masa iya kami sudah mengusir dia dari rumah ini. "Sekali lagi maaf kalau kesannya kami malah mengusir kamu, Rini. Tenang saja, semua biaya hidup kamu, biar kami yang tanggung. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin aja." Mas Fajar mengatakan itu. Kami sudah sampai di rumah yang memang kosong, tetapi ini dulu memang dijadikan sebagai rumah orang kantor Mas Fajar yang rumah nya jauh, karena masuk pagi, maka nya menginap sebentar. Tidak mungkin orang kantor nya Mas Fajar menginap di rumah kami. "Aku yang makas