Follow igeh @ka_umay8 buat liat trailer dan visual Hana, Rizal dan Cheril. Jangan lupa dukung karya baruku juga ya
Ketika Husna melahirkan, tengah malam Kak Afrizal berlari keluar tanpa peduli dengan kakinya yang belum sembuh benar. Mendampingi Husna melahirkan hingga memberi nama ke bayi yang baru lahir. Seolah bayi yang dilahirkan Husna adalah anaknya. Aku cemburu, aku curiga dan pikiran buruk terus bersemayam. Aku takut mereka main serong. Aku sudah pernah dikhianati, tidak menutup kemungkinan aku akan dikhianati kembali. Tetapi semua kekhawatiran ku terpatahkan saat aku mendengar Kak Afrizal memujiku di depan Husna. Ketika mereka berduaan di kamar rumah sakit. Bayi yang diberi nama Shezan Safaluna tertidur di box bayi. Suasana hening, aku mengintip dari balik jendela. Persis seperti penguntit. Kurang lebih kalimat yang aku dengar seperti ini,"Tiap ada kesempatan aku belajar main ML makanya mataku kayak panda, supaya aku bisa bantu Hana. Soalnya dia kalah terus, kayaknya tahun depan pun dia nggak bisa ikut turnamen." Impian isengku ternyata ditanggapi serius olehnya, membuatku terharu. Dia
Kak Afrizal duduk di ranjang, mengelus rambutku dengan lembut sampai aku bisa tidur. Dia memutar lagu relaksasi hingga membuatku ngantuk. Setelah makan dan minum obat, Kak Afrizal selalu menemani. Mengabaikan hal lain, fokus hanya padaku. Aku merasa sangat dicintai. Meskipun kehamilan ini jauh lebih berat dari pada sebelumnya, lewat Kak Afrizal aku merasa bahagia. Menikmati sisi romantis dari suami yang menjaga istrinya. Aku merasa semua penderitaan telah dibayar lunas. Dua kali hamil dan dua kali menanggung semua sendirian, aku dipaksa kuat oleh keadaan. Kini, aku tidak perlu melakukan hal itu lagi, tidak usah menahan diri ketika ngidam, bisa mengeluh ketika sakit. Kak Afrizal sangat memanjakan ku. Terkadang aku kasihan dengan Husna, dia merawat bayinya seorang diri tanpa suami. Kak Afrizal memang memperhatikan Husna selama kehamilan, tetapi tidak sama ketika bersamaku. Dia hanya memerhatikan sekedarnya dan masih menjaga jarak. Kalau bersamaku, Kak Afrizal menjadi suami yang siap
Ramaniya sama penasarannya seperti Cheril, wajah Ramaniya terpukau melihat bayi kecil yang sedang menyusu. Pipinya merah dengan jarinya yang kecil. Membuat kedua kakaknya gemas. "Kalau udah liat Dede Harzan, kalian pulang sama Ayah ya. Di rumah aja sama Bi Sarah, besok Ibu juga pulang."Mendengar itu mereka cemberut, masih ingin lebih lama bersama adik kecilnya. Besok Cheril harus sekolah, Ramaniya juga tidak boleh menginap di rumah sakit. Kasihan Kak Afrizal repot. "Aku mau di sini aja jagain Ibu, Dek Nia pulang sama Ayah. Aku kan udah besar." Aku hampir tertawa mendengar kalimat Cheril, bocah itu sudah merasa besar. Dari kecil Cheril memang dipaksa dewasa, tapi sekarang dia tidak harus seperti itu karena memiliki orang tua yang bisa menjaganya. "Nggak usah, Cheril pulang aja. Kalau mau bantu Ibu, urus aja Dek Nia ya." "Tapi--""Ayo pulang sama Ayah," ucap Kak Afrizal sembari meletakkan barang belanjaan di atas nakas. Cheril cemberut, walaupun pada akhirnya menurut. Setelah ruan
Rasanya berat jika rumah di Bandar Lampung dijual. Katanya kan itu untuk Cheril, aku takut Cheril tidak tahu asal daerahnya karena sudah menjadi anak kota. "Kita bisa tinggal di rumah Kahfi, mereka pasti seneng kita dateng. Gantinya Yuno yang masih koma dan nggak bisa ngunjungin mereka."Aku mendesah berat, tapi pada akhirnya aku merelakan Kak Afrizal menjual rumah di Bandar Lampung. Kami akan segera memilih rumah yang nyaman dan cocok di daerah Pondok Indah. "Iya, lebih baik dijual. Lagian ke Banlam juga cuma setahun sekali. Nanti kalau Mas Malik udah keluar dari penjara, kita nggak usah ke Banlam lagi." "Kenapa gitu? Apa kamu takut Malik ketemu sama Nia?" "Dia nggak boleh ketemu Sam Nia, itu hukuman dari ku." "Tapi hukuman darimu bisa melukai Nia, gimanapun Nia harus tahu siapa ayah kandungnya." "Nggak! Nia nggak boleh tahu kalau ayahnya seorang bajingan." Kak Afrizal mendesah betah, dia tidak sependapat denganku. "Jangan gitu, suatu hari nanti saat Nia menikah, dia tetap memb
Aku hanya mengamati mereka dari jauh, Harzan sedang minum susu. Lelah setelah bermain. Hal seperti itu sudah biasa, Luna selalu diejek tidak punya orang tua karena selalu dititipkan padaku. Cheril selalu maju, dia melindungi adik-adiknya. Lingkungan ini cukup keras karena berisi orang-orang elite. Bersyukur Cheril yang tumbuh di provinsi bisa cepat menyesuaikan diri. "Tante, Una gak da Papa?" pertanyaan dari Luna ketika kami sudah pulang ke rumah. Aku berjongkok, menyeimbangkan tubuh dengan Luna. Wajah cantik balita itu murung. Rupanya ucapan anak di taman bermain tadi melekat di hatinya. Aku pernah menegur Alex secara langsung supaya berhenti mengganggu Luna, akan tetapi anak yang merasa berkuasa itu mengadu aneh-aneh kepada ibunya. Keributan di taman bermain tidak terelakan, sejak itu Cheril yang berkata padaku bahwa tidak usah lagi ikut campur. Alex adalah lawannya, Cheril akan melindungi Luna.Benar saja, meskipun Cheril masih kecil, tetapi mulutnya itu sangat pedas jika suda
Yuno memijit pelipis, ada tiga anak di depannya. Masing-masing membawa tas ransel. 5 menit lalu Hana dan Rizal meninggalkan mereka untuk liburan ke Rusia. Ketiga anak itu menelengkan kepala, menunggu perintah atau setidaknya aba-aba dari Yuno supaya mereka masuk. Dari ketiga anak itu dia hanya hafal Cheril, bocah itu jauh lebih besar dari terakhir dia lihat. Matanya sipit dengan alis tegas mirip ayahnya, wajahnya putih khas orang Lampung. Mirip Hana. Dia mencoba mengingat nama kedua anak Rizal yang lain, di kantor, Rizal sering bercerita tentang ketiga anaknya. "Harzan sudah bisa main sepak bola, anak laki-laki itu emang nyenengin." Dari cerita Rizal dia jadi tahu anak lelaki berusia tiga tahun itu bernama Harzan, selalu dibanggakan Rizal. Katanya dari masih di kandungan saja pintar menendang. Setiap mendengar itu Yuno hanya bisa menggelengkan kepalanya, Rizal berlebihan. Lalu gadis kecil dengan rambut sedikit keriting, berbeda dengan Rizal. Tidak ada kemiripan sedikitpun. Rizal b
"Om, Luna mana?" tanya Cheril. Menoleh kanan kiri mencari gadis kecil yang sudah dia anggap adik. "Lagi pergi sama Mamanya," jawab Yuno. Mereka menaiki tangga menuju lantai dua. "Cing!" Tunjuk Harzan, kucing oren bertubuh gemuk itu menoleh. Matanya waspada.Harzan minta turun dari gendongan, berlari mengambil ekor si kucing. Bocah itu terlihat sangat senang bisa memegang ekor kucing hingga kucing malang itu mengerang. Ramaniya ikut menghampiri kucing, dia mengusap bulu kucing gemuk tersebut. Musuh kucing adalah anak kecil, padahal Luna sudah menjadi penderitaan Cecet. Sekarang ditambah anak-anak lain. Yuno tidak bisa menyelematkan Cecet dan memilih melihat ke samping, menghadap Cheril yang terpaku. "Apa kamu bisa ngatur adik-adikmu?" tanya Yuno lirih. Cheril dengan yakin menggeleng, tidak bisa mengatur adik-adik. Hanya bisa menenangkan sedikit. Membuat Yuno mendesah. Di hari pertama, mereka membuat Cecet menjerit ala kucing. Rumah gaduh. Sore harinya Luna pulang bersama Husna, m
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida
Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R
Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu
Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?