"Bu Murni nggak ikut? Kok belum ganti baju?" Murni menatap sang tetangga dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita yang rumahnya bersebelahan dengannya itu sudah rapi memakai setelan celana panjang warna cokelat dan atasan warna orange serta berkerudung padahal biasanya wanita bernama Fitri itu hanya memakai daster dan tidak berjilbab. "Mau ke mana, Fit? Tumben cantik?" tanya Murni seraya menatap bibir Fitri yang biasanya pucat itu memakai lipstik. "Loh, kamu ini bagaimana, to? Kita mau menjenguk Ines yang baru saja melahirkan Masa' kamu nggak ke sana?" jawab Fitri bersemangat. "Kita? Maksudnya kamu jenguk Ines tidak sendiri gitu?" tanya Murni dengan dahi berkerut. Dia yang nota bene sebagai nenek saja tidak punya minat untuk menjenguk sang cucu, tetapi tetangga malah begitu semangat ingin ke sana. Iya, Murni akui Ines memang selalu menjaga hubungan baik dengan para tetangga sebelum menikah dan diboyong ke rumah suaminya itu. Murni tersenyum. "Bayi Ines itu bermasalah. Dia mel
Ponsel di dalam tas hitam milik Murni berbunyi berulang kali, tetapi karena suasana di rumah Ines sangat riuh terlebih banyak anak kecil yang berceloteh sehingga sang pemilik tidak mendengarnya. Ulfa uring-uringan karena merasa panggilannya diabaikan oleh ibunya sendiri. "Gara-gara Ines, Ibu jadi mengabaikan panggilanku." Ulfa menggerutu. Lalu ia mencoba mengulangi panggilannya, tetapi hingga yang ke tiga kalinya tidak ada respon. Baby Alifa di pangkuan Murni menggeliat dan tiba-tiba merintih. Buru-buru Ines mengambil alih bayinya dari tangan ibu kandungnya itu. "Ikut nenek kok nangis," kata Fitri. Jantung Murni berdegup kencang mendengar kata nenek. Iya, kini dia harus mengakui kalau bayi perempuan bernama Alifa itu akan memanggilnya nenek seperti Zanna--anaknya Ulfa. "Mungkin dia haus, Nes. Coba kamu susui lagi," kata Mila. Wanita itu dengan sabar menata posisi Baby Alifa di pangkuan Ines agar nyaman saat minum ASI, tidak lupa dia juga menutup payudara Ines dengan kerudung ag
"Kamu sudah tua, Rin. Sudah saatnya untuk mencari pendamping hidup," kata Ambar seraya mengusap tangan Ririn dengan lembut.Ririn semakin kesal. Dihempaskannya tangan Murni lalu melempar bantal putih yang didekapnya itu ke lantai. "Tua? Astaga, Bu. Usiaku belum ada 30 tahun masa dibilang tua, sih?" Wanita bergaun sepanjang lutut itu turun dari ranjang lalu berjalan menuju jendela. Pandangan matanya tertuju ke pohon-pohon di sekitar rumahnya yang menghijau. Dari dalam kamarnya yang berada di lantai atas, dia dapat melihat sebuah motor bebek milik Candra yang terparkir di halaman. Ambar berjalan lalu mendekati Ririn dan ikut menatap ke luar. "Seorang perempuan yang sudah hampir 30 tahun itu sudah termaksud perawan tua. Usia kamu sepantaran dengan Ramzi sedangkan dia sudah punya anak sekarang. Seharusnya kamu juga sudah punya anak, tetapi apa?"Wanita paruh baya itu meraih pundak Ririn hingga kini keduanya berdiri saling berhadapan lalu menatapnya tajam. "Kamu malah masih asyik menge
Acara selamatan atas lahirnya bayi Ines yang diberi nama Alifa Azzahra sekaligus aqiqah itu sudah selesai. Rumah Ines sangat ramai dengan hadirnya dua buah keluarga besar yang berkumpul menjadi satu. Dari pihak Ines dan dari pihak Ramzi. Saat ini mereka tengah makan bersama di ruang tamu secara lesehan dengan menggelar karpet. Kursi yang biasa berada di sana terpaksa di letakkan di luar agar ruangan menjadi lebih luas. Bayi Ines perempuan dan sesuai anjuran, mereka menyembelih satu ekor kambing, tetapi Ramzi menyembelih dua ekor kambing. Yang satu ekor dimasak dan khusus dibagikan dan yang satu ekor dimakan satu keluarga besar dengan dimasak gulai. Ines tersenyum melihat ibu dan ayahnya yang mau membaur dengan keluarga suaminya. Mereka terlihat seperti satu keluarga yang utuh. Mata Murni panas saat teringat dengan Ulfa. Anak kesayangannya itu seharusnya ikut berada di sana dan berbahagia bersama dua keluarga yang bersatu itu, tetapi Ulfa menolak untuk datang saat Murni mengajakn
Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Sebentar lagi azan magrib berkumandang. Udara yang tadinya panas perlahan mulai terasa dingin. Murni dan Ulfa berada di teras rumah sementara yang lain masih berada di dalam. Mereka berdua sengaja menepi agar bisa ngobrol berdua. "Ibu sangat bersyukur kamu datang ke sini untuk melihat sendiri seperti apa kehidupan Ines." Murni mengulas senyum. Ia tatap anak perempuan di hadapannya yang dulu sangat dimanja dan disayanginya itu. "Sekarang Ibu percaya kalau uang bukanlah segalanya. Lihat, Ines. Suaminya hanya seorang pedagang bakso, tetapi kebahagiaan jelas terlihat di raut wajahnya. Apalagi mertua dan para iparnya sangat baik. Mereka memperlakukan Ines seperti keluarganya sendiri." Murni menatap ke dalam di mana Ines sedang memangku bayinya dengan dikelilingi para ipar dan mertua. "Iya, Bu. Ines sangat beruntung menikah dengan Ramzi." Pandangan Ulfa tidak berkedip melihat senyum lebar Ines. Ines mengatakan kalau dia akan ke kamar mandi seb
Teriakan Ulfa dan Ahsan sampai terdengar di rumah Mila yang jaraknya hanya beberapa meter saja dan semua orang yang ada di sana berbondong-bondong ke rumah Ramzi karena penasaran. Ruang tamu beralaskan karpet itu mendadak menjadi riuh. "Sekarang katakan padaku ada rahasia apa antara kamu dan Ramzi sehingga tadi bisa bilang seperti itu? Jangan bilang kalau kalian ada main di belakang Ines," ujar Ahsan geram. Ulfa masih menunduk seraya meremas jari tangannya sendiri. Suasana mendadak hening, semua menunggu kata yang akan terucap dari mulut Ulfa. "I--iya, aku ngaku. Aku memang mencintai Ramzi dari dulu hingga sekarang dan aku ingin memiliknya. Aku memang sudah punya suami, tetapi hidupku tidak bahagia." Ulfa mengatakan dengan mulut bergetar. Mulut semua orang terbuka lebar mendengar pengakuan Ulfa yang sungguh di luar dugaan. "Maksudnya kamu ingin menjadi pelakor?" tanya Ahsan dengan nada tinggi. Lelaki itu menggeleng. "Tidak, Ul. Ayah memang bukan orang baik, tetapi Ayah tidak aka
Di ruangan serba putih dengan dua buah ranjang beroda, satu untuk pasien dan satunya lagi untuk keluarga yang menunggu. Terdapat layar televisi LED terpasang di dinding. Ruangan yang sangat luas itu hanya ditempati Romi sendiri. Romi terbaring lemah di atas brankar. Sebuah infus menancap di pergelangan tangannya. Di sampingnya Ulfa tertidur dengan posisi menelungkup dan sambil duduk di kursi.Tangan Romi gemetar saat mengusap rambut hitam istri yang selama ini ia sia-siakan itu. Air matanya meleleh begitu saja membasahi pipi. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka wanita yang selama ini ia hina justru malah tulus merawatnya sedangkan Indy yang ia sayang dan puja-puja malah pergi meninggalkannya di saat ia terpuruk. "Aku janji setelah ini akan menjadi ayah dan suami yang baik." Bahu Romi berguncang dan air matanya mengucur semakin deras. Perlahan Ulfa membuka mata saat mendengar isakan tangis dari Romi. "Kamu sudah bangun, Mas?" Ulfa mengangkat kepala dan menggosok mata yang terasa
Ulfa tertawa usai mengusapkan tangannya yang kotor terkena tepung terigu ke pipi Romi sehingga pipi suaminya itu putih seperti badut. Mulut Romi terbuka lebar saat tangannya meraba pipi dan mendapati tepung terigu itu menempel di pipinya. Ia menatap tajam pada Ulfa sambil tersenyum. Romi mengotori tangannya dengan tepung terigu seraya berkata. "Awas, ya?" Sambil membalas mengusapkan tangannya ke hidung Ulfa hingga wajah istrinya itu terlihat lucu di matanya. Keduanya lalu perang tepung, setiap kali Ulfa mengusap tepung berwarna putih itu ke pipi Romi, lelaki itu akan membalasnya dan hal itu terjadi berulang kali. Ulfa dan Romi saling pandang. Romi tertawa puas melihat wajah sang istri yang belepotan penuh dengan tepung dan itu tampak sangat lucu baginya tanpa ia sadari dirinya juga berwajah seperti mau main jantilan saat ini. Begitu juga dengan Ulfa, wanita itu kegirangan melihat suaminya berwajah seperti badut yang sangat lucu. "Ayo, joget, nanti aku kasih donat," kata Ulfa ser