MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 7
"Kinar!" panggil Reza. Kinar hanya menoleh, lalu melanjutkan langkahnya. Entah kenapa, melihat suaminya, dada Kinar kembali bergemuruh. Dia terus saja beristigfar sambil berjalan menuju kamar lagi. Reza membuang napas kasar. Dia sadar, kali ini kesalahannya sangatlah fatal. Namun egonya sebagai lelaki seolah enggan turun. Dia begitu mencintai istrinya, tapi kini Niken pun ada di hatinya. "Ayah, Mama kenapa?" Reza tersentak dari lamunannya mendengar petanyaan Farraz. "Ahh ... itu, mungkin Mama kecapean," jawab Reza sekenanya. "Tapi ... tapi tadi sama aku nggak kecapean kok. Malah Farraz digendong, katanya ... Farraz udah gede Mama udah kepayahan gendongnya!" celoteh Farraz dengan mengerjap-ngerjapkan matanya, sangat lucu. Reza pun tersenyum, lalu membelai kepala bocah lima tahun itu. Ada sesal di hatinya, saat melihat Farraz sepintar dan menggemaskan ini. Dia pun belum tau akan seperti apa rumah tangganya setelah hubungannya dengan Niken diketahui Kinar. Reza lalu menjatuhkan bokongnya di sofa samping Farraz. Menyandarkan kepala dengan mata terpejam, tangan kanannya terulur memijit pangkal hidung. "Ayah, sakit?" tanya Farraz. "Ayah, cuma capek. Lagi banyak kerjaan." "Kamu sudah mandi belum?" tanya Reza menatap anaknya. Farraz menepuk keningnya, dia lalu nyengir. Memperlihatkan gigi depannya yang mulai geripis. Tingkahnya membuat siapa saja akan merasa gemas. Reza tertawa melihat tingkah anaknya. Dia lalu memanggil pengasuh Farraz. Memintanya memandikan karena sudah sore. "Ayo, Mas Farraz!" ajak Tari sambil melambaikan tangan agar anak asuhnya mendekat. Tari mengulurkan tangan, yang disambut antusias oleh Farraz. "Tolong, sekalian bilang sama Bi Sumi minta buatin kopi, ya!" pinta Reza. "Baik, Pak." Tari menjawab sambil menganggukan kepala, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda dia permisi. Menggandeng tangan Farraz, mereka berjalan dengan wajah riang. Tidak nampak seperti suster dan anak asuhnya. Sebelum menaiki tangga untuk ke kamar Farraz, Tari belok ke kanan, menuju dapur untuk menyampaikan pesan Pak Reza. "Bulek, Pak Reza minta dibikinin kopi." Tari berseru dari ambang pintu dapur. Dia memanggil Bi Sumi bulek karena masih kerabatnya. Tepatnya adik sepupu dari sang ibu di kampung. Bi Sumi yang sedang mencuci piring menengok, lalu mengangguk. "Taruh di mana?" "Di ruang tamu, Pak Reza ada di sana." Setelah urusan dengan Bi Sumi selesai, Tari bergegas memandikan Farraz. Bi Sumi mencuci tangannya, mengambil teko untuk merebus air. Dia sudah hafal betul kebiasaan sang tuan jika ingin kopi airnya harus air masak, bukan air panas dispenser. Sedangkan Reza di ruang tamu nampak bingung. Dia tidak tau apa yang harus dilakukan. Hari apes memang tidak ada di kalender. Dan hari itu, kini dia alami. Selama ini meresa aman karena Kinar tipikal istri yang tidak curigaan. Siapa sangka malah ketahuan di depan mata. "Sial!" umpatnya, lalu membuang napas kasar. Rambut yang biasa rapi, kini sudah awut-awutan. "Mas Reza, ini kopinya." Bi Sumi menyuguhkan secangkir kopi. Dia letakkan di atas meja dengan sepiring brownies sebagai temannya. "Makasih, Bi," ujar Reza dengan mata masih terpejam, sedang tangannya sibuk memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Bi Sumi mengangguk, menoleh sekilas dan melihat majikannya terlihat kusut. Bukan hanya penampilannya, tapi juga mukanya. Tadi Mbak Kinan, sekarang Mas Reza, apa yang sebenarnya terjadi? Batinnya. Namun dia tidak berani bertanya, karena itu bukan ranahnya. "Permisi ya, Mas. Bibi mau menyiapkan makan malam." "Ya," jawab Reza singkat. Sementara itu, di kamar Kinar nampak gelisah. Dia enggan bertemu dengan suaminya. Belum siap, lebih tepatnya. Setelah apa yang dia lihat siang tadi. Istri mana yang tidak murka dan sakit hati. Tapi, bagaimana dengan Farraz. Anak itu pasti akan bertanya banyak hal jika sesuatu tidak seperti biasanya. Pada akhirnya Kinar memilih ke kamar anaknya untuk menghindari Reza. Karena sebentar lagi, Reza pasti akan masuk kamar untuk membersihkan diri. Kinar mengetuk pintu pelan, walau pintu kamar Farraz tidak tertutup sepenuhnya. Dia mengajarkan anaknya untuk mengetuk pintu dulu sebelum masuk kamar. Jadi, dia pun harus bisa melakukan itu, meskipun dia orang tua Farraz. Ya, karena anak akan lebih mudah untuk meniru apa yang dia lihat. Tari membuka pintu kamar Farraz agar Kinar masuk. "Mas Farraz sudah saya mandikan, Mbak!" ucapnya sambil tersenyum. Dibelakangnya Farraz menyusul dan langsung memeluk Kinar. "Aku sudah wangi, Mama!" ucapnya dengan sangat menggemaskan. Kinar berjongkok untuk menyamakan tinggi, lalu mencium gemas pipi gembil Farraz. "Jagoan Mama, gantengnya." "Boleh ditinggal aja, Mbak. Kamu boleh istirahat. Nanti kalau perlu sesuatu saya panggil." "Baik, Mbak. Saya permisi!" Setelah Tari pamit, Kinar gegas masuk ke kamar Farraz. Menemani anaknya apa saja. Kadang menanggapi celotehannya yang lucu membuat Kinar bisa melupakan sedikit rasa sakitnya. Reza duduk termenung, sesekali menyesap kopi buatan Bi Sumi. Dan akhirnya memilih beranjak dari sofa. Berniat membersihan diri. Dengan langkah gontai menaiki tangga. Saat sudah di depan kamar, Reza seolah ragu untuk masuk. Tangannya sudah menggantung di udara bersiap untuk mengetuk, tapi dia urungkan, dan menurunkannya lagi. Dengan perlahan membuka pintu kamar yang tidak dikunci. Reza hanya bisa mendesah, mendapati kamar itu kosong. Sudah pasti Kinar menghindarinya. Dia lalu duduk di tepi ranjang. Merenung. Menoleh pada bantal dan selimut yang tertata rapi. Menutupi wajah dengan kesepuluh jarinya. Pikirannya benar-benar kusut. Dia lalu bangkit dan meninju udara karena kesal. "Huft ... semoga ada jalan keluar!" gumamnya lalu berjalan ke kamar mandi. Jam tujuh malam Kinar dan Farraz turun ke bawah untuk makan malam. Ibu dan anak itu bergandengan tangan, memamerkan senyum mereka. Sesekali bercanda, dan terdengar gelak tawa. "Ehemm ...." Reza berdehem saat sudah sampai meja makan, dan duduk di kursinya. Kinar hanya melirik sekilas dengan muka datar. Namun akan berbanding terbalik saat menanggapi celotehan Farraz. Senyum hangatnya akan langsung dia tunjukkan. Untungnya Kinar berhasil mengalihkan perhatian Farraz dengan terus menanggapi celotehannya sambil menyuap nasi. Alhasil, Farraz pun tidak terlalu memperhatikan sikap Kinar dan Reza yang tidak saling berinteraksi. "Selesai makan ke kamar, belajar ya!" perintah Kinar. "Kali ini Mama akan temani Mas Farraz sampai bobo," sambungnya. Reza langsung menghentikan kunyahannya saat mendengar ucapan Kinar. Dia meletakkan sendok dan menatap istrinya itu. Namun yang ditatap hanya cuek. "Pamit dulu sama Ayah!" ujarnya lagi, lalu beranjak dari kursinya. "Aku sudah selesai makan ayah. Aku mau belajar terus bobo!" ucap Farraz dengan tangan kiri sudah menggandeng tangan kanan Kinar. Dia lalu menciun pipi Ayahnya saat Reza sedikit menyondongkan badannya, dan menyodorkan pipinya minta dicium. Reza menyentak napas kasar sepeninggal istri dan anaknya. Napsu makannya hilang seketika. Dia memilih meninggalkan meja makan dan pergi ke teras. Duduk sambil menghisap rokoknya. Jam sembilan malam, setelah memastikan Farraz tertidur Kinar kembali ke kamarnya. Membuka lemari brangkas, yang letaknya hanya dia yang tau. Dia merapikan berkas penting yang disimpan di kotak itu. Setelah menemukan apa yang dicari, Kinar menutup dan menguncinya lagi. Dia berjalan menuju ranjang dan mengambil ponsel yang tergeletak di kasur. Duduk sambil mengamati dokumen di pangkuannya. Sedikit ragu, akhirnya Kinar memencet nomor telpon di ponselnya itu. Didering yang ketiga, panggilan diterima. "Halo selamat malam, Pak saya ingin menanyakan beberapa hal dengan Anda. Apa besok bisa bertemu?" ucap Kinar langsung pada intinya saat telpon sudah tersambung. "Ada apa Bu Kinar? Apa ada masalah, kok tumben sekali?" tanya orang di seberang telpon. "Ahh, iya, hanya ... sedikit masalah saja, Pak. Besok saya akan ke kantor." "Oke, baik Bu Kinar." Kinar meletakkan ponselnya di meja samping ranjang, dan memasukkan dokumen di laci bawah meja. Saat hendak membaringkan badan, pintu terbuka. Kinan menoleh, dan seketika mengurungkan niatnya. Mendadak dadanya kembali bergemuruh.MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 8"Kinar, kita harus bicara!" ujar Reza setelah menutup pintu kamar dan berjalan mendekati Kinar yang mengurungkan niatnya merebahkan badan.Kinar tersenyum sinis dari tempat duduknya. Entahlah, saat ini dia sudah sangat muak dengan tingkah laku suaminya.Tidak ada niatan untuk meladeni Reza. Melihatnya saja membuat hati Kinar tambah sakit. Sungguh hatinya begitu rapuh, tapi tidak ingin itu semua terlihat, terlabih di hadapan suaminya.Kinar turun dari ranjang, berniat keluar. Saat ini dia hanya ingin sendiri. Itu saja. Namun tangannya segera di tahan Reza saat hendak membuka pintu."Lepas, Mas!" ucapnya dengan dingin, tapi tak dihiraukan Reza."Aku bilang, lepas!" ucap Kinar dengan penuh penekanan, dia berusaha meredam emosinya sendiri. Tidak ingin meninggikan suara di depan suami.Entah apa yang dipikirkan Reza, dia malah makin mempererat genggamannya. Matanya lekat menatap Ki
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 9Tangan Kinar yang sudah terulur pun urung. Dia lalu menegakkan badannya lagi. Menghela nafas kasar, lalu membalikkan tubuhnya. Menatap malas suaminya."Mas, aku lelah. Aku ingin sendiri. Tolong mengertilah," ucap Kinar sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada."Tapi, kita belum selesai bicara!" Reza terus memaksa."Apa lagi yang harus dibicarakan. Tak sadarkah kamu sudah menorehkan begitu banyak luka hari ini. Belum puaskah kamu, Mas!" ujar Kinar penuh kekesalan."Sungguh, aku minta maaf!" Reza berlutut di hadapan Kinar, kini matanya mulai berkabut.Kinar muak melihat ini semua. Hatinya seakan mati. Dia lelah, ingin rasanya menyerah, tapi ada malaikat kecil tak berdosa yang selalu jadi pertimbangannya.Dia akhirnya menjatuhkan bobot tubuhnya di tepi ranjang. Memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya menahan isak tangis yang sulit dia kendalikan. Tangan kanan dan kirinya m
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 10Pagi ini, Kinar terlihat lebih segar. Setelah minum obat dan meminta Bi Sumi memijatnya sebentar. Dia memakai makeup untuk menyamarkan wajah dan matanya yang sembab dan sedikit bengkak.Di meja makan sudah ada Farraz, saat Kinar turun untuk sarapan. Anak itu sudah rapi dengan seragam sekolahnya."Pagi, jagoan Mama," sapa Kinar menghampiri Farraz dan mencium pipi gembilnya."Pagi, Mama. Apa, Mama mau pergi? Kok cantik sekali," tanya Farraz sambil memuji Mamanya.Penampilan Kinar memang sedikit berbeda dari biasanya. Dia menggunakan pakaian kerja formal. Celana panjang hitam dipadu padankan dengan blouse warna peach dengan aksen tali pita di kerahnya, blazer hitam menambah paripurna penampilannya. Rambutnya dia kuncir kuda dengan gaya sedemikian rupa, memperlihatkan leher jenjangnya.Tak lupa tas jinjing ukuran sedang senada dengan warna blousenya. Jam tangan mewah melingkar di pergelan
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 11"Tunggu, ini, apa?" gumam Kinar. Dia melihat nominal uang keluar berubah-ubah tiap bulannya. Dan semakin kesini semakin besar."Pak, apa selama ini ada kegiatan di luar yang dilakukan perusahaan?" tanya Kinar, matanya masih awas mengamati laptop."Ahh, iya. Beberapa kali memang ada semacam, study banding, dengan perusahaan lain. Kadang kegiatannya di luar kota. Ibu bisa lihat laporan rincinya. Tunggu biar saya bukakan filenya," ujar Pak Bagas menjelaskan apa yang dimaksud Kinar, dia lalu meminta laptopnya kembali untuk membuka file yang lain."Ini." Pak Bagas kembali memberikan laptopnya kepada Kinar. "Di situ rinciannya, semua ada."Kinar hanya mengangguk. Dia baca dengan teliti. Lalu teringat beberapa kali suaminya pergi keluar kota urusan kantor."Uangnya diserahkan ke siapa, Pak?""Ada rekening sendiri, Bu. Atas nama kantor, yang pegang Pak Reza. Nanti biasanya yang handle semua sekretarisnya. Laporannya juga ada."Keterangan dari Pak
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 12"Pak, aku buatkan kopi, karena sudah mau bersusah payah dari pagi buat aku," ucap Kinar menghampiri meja Pak Bagas dengan secangkir kopi buatannya.Pak Bagas mendongak, dan tersenyum menatap Kinar. "Ternyata saya bosnya di sini," candanya."Ini, laporannya sudah selesai, bisa Anda periksa lagi, Bu Kinar. Dan terima kasih untuk kopinya." Pak Bagas menyodorkan map berisi laporan keuangan yang diminta Kinar, lalu dia menggeser kopinya, ingin mencicipi.Kinar tersenyum mengangguk. Dia bergegas mengambil laporan itu. Berniat duduk di sofa untuk melihatnya.Uhuk uhukTerdengar suara batuk setelah Pak Bagas menyemburkan kopinya. Kinar yang baru melangkah tiga langkah dari mejanya pun sontak menengok. Terlihat Pak Bagas mengelap kemejanya yang terkena tumpahan kopi."Sepahit inikah kehidupan anda, Bu Kinar!" sindir Pak Bagas. Tidak menyangka kopi buatan Kinar rasanya sangat tak karua
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 13"Mas, aku nggak mau!""Hanya sementara, aku tidak mau rumah tangga aku sama Kinar hancur," ucap Reza tegas. Susah sekali menasehati Niken agak menjaga jarak untuk sementara ini."Kamu sudah janji mau menikahi aku, Mas!" Niken berucap dengan berlinang air mata.Reza menyugar rambutnya dengan kasar. Dia mendesah frustasi. Saat ini mereka sedang di taman yang cukup sepi siang itu. Setelah di kantor sempat bertengkar dan Niken mengancam akan menemui Kinar.Niken kalut, juga takut di tinggalkan oleh Reza. Terlebih dia sudah menyerahkan kehormatannya setelah terbuai janji dan rayuan Reza. Hampir enam bulan mereka bermain sangat rapi. Bahkan Kinar maupun orang kantor tidak curiga. Hanya Ayu yang tau.Dengan Reza, Niken seolah mendapat cinta juga harta. Niken dekat dengan Kinar karena orang tuanya dekat dengan Kinar, mereka juga berkerja di sanggar milik Kinar.Awalnya memang dia kagum dengan Kinar. Perempuan yang pintar, cantik, juga sangat berun
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 14"Memang kamu ada perlu apa sama Bu Asih, Ndre?" tanya Kinar penasaran."Beberapa barangnya ada yang cacat akhir-akhir ini. Cuma pengen ingetin aja sih, biar lebih teliti lagi, apa lagi sekarang buat ekspor," jawab Andre dengan mata fokus pada motif caping yang sedang dia buat."Hanya itu?"Andre menoleh, menatap Kinar dengan seksama. Entah kenapa Kinar jadi salah tingkah. Padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti itu."Kenapa?" tanyanya."Hah, apanya yang kenapa?" balas Kinar gelagapan."Kenapa, kamu kepo banget sih sama, Bu Asih?""Ouhh ... i-itu, ya mau tau aja," jawab Kinar sambil mengusap-usap lehernya karna salah tingkah."Apa ada yang kamu sembunyikan, Kinar?" Andre seperti aneh dengan tingkah temannya itu."Ehh ... nggak ... nggak ada kok. Aku ke dalam dulu!"Kinar justru tidak fokus. Dia yang memberi pertanyaan, tapi justru dia ya
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMI DAN SAHABATKU 15"Ini." Andre tersenyum, menyerahkan paperbag berwarna cokelat kepada Kinar."Barang aku nggak ada yang ketinggalan, kok," sahut Kinar sambil tangan kanannya terulur menerima paperbag dari Andre yang belum dia tau apa isinya."Berikan itu pada Bu Asih, besok. Katanya kamu mau ke sana, biar kamu nggak usah mampir sanggar dulu besok," ucap Andre tenang."Ohh," desis Kinar. "Yaudah, aku balik, ya!" sambungnya lalu menutup kaca mobil perlahan.Andre hanya tersenyum, lalu melambaikan tangan saat mobil yang di naiki Kinar mulai berjalan meninggalkan halaman sanggar.Hufft, terdengar helaan panjang setelah mobil itu tak terlihat lagi. Andre memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana tiga perempatnya. Melangkahkan kaki ke dalam sanggar yang sudah mulai sepi karena di tinggal pulang oleh pengunjungnya. Hanya ada beberapa pekerja yang sudah bersiap pulang dan masih duduk mengobrol di atas jok