Sebenarnya Sonia ini orangnya cantik, tapi aku merasa tidak sreg saja sama dia. Apalagi saat melihat gayanya yang terlalu agresif kepada suamiku. Sonia bahkan menyangka, kalau aku ini adalah adiknya Mas Andre. Memangnya, wajah dan penampilanku kelihatan seperti anak kecil? Sehingga, aku dianggap adiknya Mas Andre oleh Sonia. Padahal, umurku dan Mas Andre hanya berbeda dua tahun. Bahkan sepertinya umurku sama sonia sepantaran, bisa jadi juga umur Sonia berada di bawahku.
"I ... ini," Mas Andre menggantung ucapannya, sebab ia keburu disela oleh Sonia."Ya sudahlah, Mas. Kamu nggak perlu menjelaskan siapa dia, sebab itu nggak penting juga buat aku. Aku hanya minta sama kamu, mumpung saat ini kita ketemu. Aku mau, kita membahas masalah kita. Karena waktu itu sempat tertunda, apalagi aku lihat, kalau kamu sepertinya sedang bersantai saat ini. Benar 'kan, Mas, apa yang aku katakan?" Sonia bertanya kepada Mas Andre, sambil bergelayut manjDaripada aku menjadi brutal dan kemungkinan juga aku bisa mencakar muka Sonia, yang pasti bisa menjadi, memperbaiki aku yang mengalah. Aku akan pergi dari hadapan mereka, daripada aku harus melihat kemesraan mereka berdua. Apalagi, jika harus berbicara dengan mereka, yang mungkin isinya tentang apalah-apalah. Aku lebih baik pergi dan menghindari emosi ini memuncak. Aku pun berdiri dan meminta izin kepada Mas Andre. Aku bilang itu, kalau aku akan pergi ke toilet."Mas, aku mau pergi ke toilet dulu!"
"Maaf mengganggu waktunya, Mbak. Jadi begini, Mbak. Aku cuma mau kasih ucapan selamat sama, Mbak. Soalnya waktu acara pesta pernikahan Mbak kemaren, aku tidak sempet hadir, Mbak. Karena aku pulang kampung dan baru pulang semalam, jadi aku minta maaf ya, Mbak. Aku telat ngasih ucapan selamat nya," ungkap Roni."Oh, kamu mau mengucapkan selamat padaku, terima kasih ya, Roni. Aku kira kamu mau ngomong soal apa? Ya sudah, maaf ya, aku lagi buru-buru nih, Ron. Aku kebelet," sahutku, sambil memegang perutku, berpura-pura sakit perut."Oh iya silahkan, Mbak Mira. Maaf ya, Mbak. Karena aku telah mengganggu, Mbak Mira." Roni meminta maaf kepadaku.Setelah itu, aku pun kembali membuka pintu, kemudian aku segera masuk ke kamarku. Sesampainya di kamar, aku langsung menangis menumpahkan air mata kekesalanku. Aku merasa kecewa kepada pria, yang kini telah bergelar suamiku itu. Aku sangat kecewa, terhadap
"Ini, Mas, tadi aku tiduran terus spreinya jadi berantakan. Jadi sekarang aku beresin lagi," ujarku. Aku berkata bohong, kepada Mas Andre, suamiku. Supaya Mas Andre tidak curiga padaku."Tadi, kamu bilang, katanya kamu mau ke toilet. Tapi kenapa kamu nggak datang lagi, Nis? Aku tadi nungguin kamu lho, Nis. Tapi kamu nggak kembali, makanya Mas sengaja, menyusul kamu ke sini." Mas Andre pun bertanya, alasan kenapa aku tidak kembali ke taman."Iya, Mas, tadinya aku mau ke toilet yang ada di bawah, tapi nggak jadi. Tadi kepalaku merasa pusing, jadi aku kembali ke kamar saja, Mas. Aku juga malah tiduran untuk menghilangkan rasa pusing itu," ujarku. Aku beralasan karena malas berdebat.Aku berbohong, supaya Mas Andre tidak tahu, tentang perasaanku yang sebenarnya. Karena aku merasa gengsi, jika dia tahu kalau aku cemburu padanya."Oh, begitu ya, Nisa. Terus bagaimana ke
Aku tidak menyangka, jika Mas Andre akan serius melakukannya. Andai dia tahu, kalau aku tidak dapat berenang dan mempunyai trauma kedalaman. Apa mungkin, dia akan tetap melakukannya? Dalam keadaanku, yang tenggelam dan kemudian muncul lagi ke permukaan aku berdoa, semoga aku bisa di selamatkan. Aku terus-terusan minta tolong. Sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menceburkan diri ke kolam untuk menyelamatkanku.'Jburrr!' suara orang menceburkan diri, kedalam kolam.Ia kemudian mengangkat tubuhku, saat aku merasakan tubuhku ini mulai melemas karena kekurangan oksigen dan kebanyakan minum air kolam. Aku pun segera di bawa ke bibir kolam olehnya dan di tidurkan di pinggir kolam renang tersebut. Aku masih tersadar saat itu, walaupun tubuhku begitu lemas, aku masih dapat melihat siapa orang yang menceburkan diri tersebut, serta menyelamatkanku. Orang tersebut tiada lain dan tiada bukan adalah Mas Andre, suamiku yang telah tega menjatuhkanku ke dalam kol
"Iya, Nisa. Kamu tadi berada di pinggir kolam sebelum kamu pingsan. Mas, yang bawa kamu ke kamar. Maafin Mas ya, Nisa. Mas, nggak tahu, kalau akan seperti ini. Mas, nggak tahu, kalau kamu nggak bisa berenang. Tadinya, Mas cuma iseng ingin mengajak kamu bercanda, tapi malah membuatmu hampir celaka." Mas Andre memberitahukan alasannya, aku bisa sampai ada di dalam kamar."Maafin, Mas ya, Nisa! Terserah deh, kalau kamu mau ngapain saja untuk membalas kesalahan, Mas. Walaupun kamu mau pukul, Mas, silahkan, Nisa! Asalkan kamu mau memaafkan semua kesalahan Mas," ucap Mas Andre.Ia, meminta maaf kepadaku, sambil menggenggam tanganku. Permintaan maafnya pun begitu tulus kepadaku, hingga membuatku tidak bisa marah kepadanya. Rupanya, Mas Andre begitu mengkhawatirkan aku, saat melihat keadaanku saat ini. Nada bicaranya pun terdengar lembut, tidak seperti biasanya yang selalu sinis dan datar. Dia juga sudah menyebut dirinya, Mas. Tidak berkata aku seperti
"Em ... itu, anu, Nisa. Maafin, Mas ya, Nisa. Karena Mas nggak tega, saat melihat kamu pingsan, serta memakai pakaian yang basah. Jadi, pakaianmu Mas yang gantikan! Maaf Mas ya, Nisa. Karena Mas telah lancang," ucapnya.Mas Andre meminta maaf terus dan terus kepadaku. Ia berkata jujur, kalau dirinya lah yang telah mengganti pakaianku. Tapi aku merasa lucu, kenapa ia harus minta maaf. Toh kami sekarang telah resmi menjadi pasangan suami istri, yang sah menurut agama dan juga negara. Jangankan hanya mengganti pakaianku, bahkan kalau Mas Andre mau menuntut haknya dariku pun ia layak. Aku merasa jika di balik, sifat Mas Andre yang jutek dan juga sinis. Namun, ia memiliki hati yang lembut, jujur dan apa adanya."Tapi ... Mas, kamu nggak ngapa-ngapain aku 'kan? Awas saja ya, Mas, kalau sampai kamu memanfaatkan situasi. Aku nggak akan maafin kamu," ucapku mengancam. Aku bicara sambil, melihat wajah Mas Andre. Mataku awas menelisik w
"Lagian, kamu ini lucu. Aku harus bertanggung jawab bagaimana lagi, coba? Kamu itu sudah menjadi istriku halal bagiku, jika mau melakukan apapun, meskipun kamu menolaknya. Namun, aku tidak akan memaksamu karena, aku mau melakukan kewajiban itu, sampai kamu sudah merasa siap. Aku mau melakukan hubungan itu, atas dasar suka sama suka, bukan karena keterpaksaan." Mas Andre berkata dengan sangat gantleman. Ia mau menungguku, sampai aku sudah siap.Mendengar penuturan Mas Andre, membuat aku menjadi percaya padanya. Aku juga merasa lega, sebab Mas Andre tidak akan memaksakan kehendaknya, sebelum aku siap"Terima kasih ya, Mas, kalau kamu mau menungguku sampai aku siap." Aku berterima kasih kepada suamiku itu."Iya, Nisa, kamu tenang saja. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah kamu sudah mendingan?" tanya Mas Andre.Mas Andre bertanya, kini ia menanyakan keadaanku sekarang. Aku merasa senang mendapat perhatian walaupun cuma sek
Dia bukannya menuruti mauku, malah terus-terusan ngomel padaku. Mas Andre membujukku, kalau memang aku mau menonton. Aku harus makan dulu, supaya akunya cepat sembuh. Aku sekarang, sudah dianggap anak kecil oleh Mas Andre."Ya, Mas, kok kamu begitu sih!" kataku tidak senang."Tunggu, Anisa, sampai kamu benar-benar pulih. Baru kita nonton," ucapnya. Mas Andre memberi keputusan, dan perkataannya itu tidak bisa diganggu gugat.Setelah sekian lama terdiam, aku pun teringat tentang Sonia. Aku penasaran dan ingin menanyakannya kepada Mas Andre, tentang siapa Sonia itu dan ada hubungan apa, antara Mas Andre dengannya. Sungguh aku merasa penasaran, serta hati ini merasa tidak tenang, sebab aku ingin mengetahui yang sebenarnya."Mas ... sebenarnya, Sonia, itu siapa sih? Apa hubungannya denganmu? Apa dia itu pacarmu ya, Mas?" Aku bertanya kepada Mas Andre, tentang Sonia. Perempuan yang tadi Pagi ketemu di taman.Ak
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k