POV RARA
"Mas, aku nggak ikut jalan-jalan, hari ini, kepala tiba-tiba pusing, perut mual, badan lemas. Apa masuk angin, yah?" ucapku tidak semangat. Badan rasanya tidak karuan. Sepertinya aku merasa tidak bisa ikut menikmati liburan kali ini. "Tapi badan kamu nggak panas, Yang," ucap Mas Bima sambil memegang kening dan tengkukku."Iya sih, Mas. Aku juga heran, nggak demam tapi pusing dan mual. Apa mabuk kendaraan yah?" Aku mengerutkan kening dengan bibir sedikit cemberut."Kalau mabuk kendaraan harusnya pas di atas mobil. Lah ini kita sudah beberapa hari di hotel," balas Mas Bima."Mas, aku pengen makan manggis dan rambutan, Mas, ada jual gak ya, Mas?" Entahlah, aku bayangkan menikmati dua buah segar itu sangat enak. Bahkan meski hanya dalam hayalanku saat ini. Aku seperti dapat merasakan rasa manis asemnya. Pasti seger banget. Tuh kan aku sampai hampir menelan ludahku sendiri."Kalau manggis mungkin"Tampan Mas, makanya anaknya cantik," ucapku sambil mencubit pipi Mas Bima.Dengan riang kami melanjutkan perjalanan menuju hotel. Ingin segera memberitahukan kabar gembira ini kepada semua orang terutama Eyang dan Mama.***Setelah sampai dan masuk ke hotel, aku segera mengumpulkan seluruh anggota keluarga yang ikut liburan termasuk Gara di taman hotel bagian belakang yang ada bangku-bangku taman berderet."Rara, ada apa ini mengumpulkan kami semua. Gak jadi apa kita jalan-jalan mengelilingi kota Bandung sore ini?" tanya Mama."Gak jadi, Ma, kita pulang ke Jakarta hari ini," jawabku. Tampak mereka kaget mendengar keputusanku untuk pulang lebih awal dari jadwal liburan ke Bandung yang rencananya akan selama satu Minggu dan berlanjut ke kota lain hingga satu bulan lamanya."Kenapa Ra?" tanya Eyang Uti heran."Karena kami akan mengadakan acara makan-makan di rumah mengundang anak yatim sekaligus
POV ASTASeperti yang sudah dijanjikan oleh Mas Lingga. Akhirnya aku dibawa ke kantor untuk bertemu Mas Adi. Ya rencananya mau magang jadi sekretaris pribadinya."Kak Adi, ini Asta, seperti yang sudah aku bilang kemarin. Dia mau ikut berkarir katanya," ucap Mas Lingga setelah bertemu Adi. Kami pun berjabat tangan."Oh, boleh, kebetulan memang sekretaris saya undur diri karena mau fokus ke anaknya. Kamu sudah pernah bekerja jadi sekretaris sebelumnya?" tanya Mas Adi kepadaku.Duh sorot matanya menghujam ke hatiku. Kakak beradik ini memang bak pinang dibelah dua kegantengannya. Tajir lagi, tapi lebih tajir lagi ayah mereka. Wah, aku bakal dapat ikan kakap tiga sekaligus nih, eh empat sama Bima kalau nanti aku bisa mendekatinya. Kayaknya gak sulit deh mendekati Bima apalagi Adi, jelas nanti aku jadi sekretarisnya. Pasti kemana-mana bareng. Tugas luar kota juga pasti bareng. Kalau tugas luar kota pasti nginap dihotel. Wah,
Setelah sampai di meja resepsionis kami memesan kamar hotel yang satu kamar dengan Bad dua terpisah. Memang aku yang mengusulkan agar sekamar saja tapi Bad dua. Meski awalnya keberatan tapi aku merayu Mas Adi agar menyetujuinya. Setelah itu, kami langsung berjalan menuju restoran romantis yang berdampingan dengan hotel ini.Kami masih berjalan secara beriringan. Dalam perjalanan itu aku berpikir cara jitu agar Mas Adi juga masuk dalam perangkapku. Aku yakin sekali Mas Adi akan jatuh kepelukanku. Secara ia selalu menuruti kemauanku sedari tadi.Akhirnya aku punya ide.Aku pura-pura terpeleset hingga tubuhku hampir jatuh. Reflek Mas Adi menangkap tubuhku. Yah seperti inilah aku. "Aduh! Aduh!...." Kini tubuhku berada dalam rengkuhan Mas Adi."Kamu gak apa-apa?" tanyanya."Gak, apa-apa Pak, cuma sakit sedikit," ucapku kembali berdiri melepas tubuhku dari rengkuhannya, dan kali ini jalanku pura-pura pincan
"Ini sudah tujuh bulan kamu berpura-pura tidak tahu atas perselingkuhan suamimu dan Asta, Dil," ucap Radit. Dila hanya tertunduk. Bingung ingin melakukan apa. Gara menjadi senjata Lingga supaya Dila urung membuka kedok perselingkuhannya. Meskipun hubungan keduanya sudah sangat merenggang. Demi Gara Dila masih bertahan menjadi istri Lingga."Bagaimana lagi? Alat yang kita taruh di sana seperti tidak ada fungsinya. Ponsel kamu sama aku juga hilang bukan? Semua bukti ada di sana. Bukti rekaman perselingkuhan mereka. Hilang semua!" keluh Dila prustasi."Sepertinya nasib baik memang belum berpihak padaku, Dit," lirihnya tertunduk karena kecewa."Tapi kita masih punya foto terbaru Asta bersama Adi bukan?" ucap Radit. Dila mengangguk.Malam itu saat Radit dan Dila ingin pergi memergoki Asta yang terlihat berjalan dengan Ayah mertuanya, justru mereka mengalami pembegalan segerombolan orang. Anehnya mereka tidak mengambil mobil
Hati Tami bergemuruh. Malu kesal marah bercampur menjadi satu. Air mata menetes membasahi pipi tanpa suara. Dengan tatapan tajam dia menghampiri anak lelaki kebanggaannya."Ma," lirih Lingga berjalan mundur. Sementara dia terus berjalan maju.Plak!Sebuah tamparan keras dari sang Mama melayang cukup kencang di pipinya. Hingga meninggalkan jejak merah bercap tangan di sana.Dila keluar bersama Gara. Begitupun dengan Keyla, Rahma juga Ica."Jelaskan apa ini?!" teriak Mama Tami. Belum sempat Lingga menjawab ucapan Mamanya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumah cukup kencang. Bergegas Keyla pun membuka pintu. Alangkah terkejutnya ketika melihat banyak wartawan sudah berdiri di pagar rumah. Pak Seno yang menjadi satpam keluarga Bram pun merasa kewalahan karena mereka memaksa untuk masuk. Nampak terlihat Pak Seno tengah berusaha menutup pintu gerbang dengan penuh keramah tamahan."Nyah, wartawan i
"Mama, kenapa Papa sama Kakek pukulin Mama?" tanya Gara sambil mengusap Wajah Mamanya."Mana yang sakit, Ma. Sini biar Gara obati," ujarnya. Anak lelaki itu menangis dan terus mengusap wajah Mamanya yang bengap."Mama nggak apa-apa, Sayang. Cepat kita lari sebelum Kakek bisa mengejar kita," titah Dila. Dia tahu betul mertuanya itu. Dia tinggal menekan nomor penjahat atau semacamnya, kemudian menyuruhnya mengejar Dila. "Sial memang, tasku tertinggal," batinnya.Tin ….!"Gara awas!" teriak Dila karena hampir saja sebuah mobil mewah menabrak anaknya. Mobil itu langsung menepi. Kemudian, penumpangnya langsung turun dan berjalan mendekati keduanya."Papa, ampun Pa. Biarkan Dila pergi," pintanya. Mobil yang hendak menabrak Gara ternyata berisi penumpang yang sangat mirip dengan mertuanya."Kakek! Jangan sakiti Mama!" ucap Gara dengan tangis khas anak-anaknya."
"Oh, jadi Mbak Sheila ini bukan putri kandung Pak Bagas ya? Aku paham, jadi maksud kalian datang ke kota ini, karena ingin mencari keluarga Pak Bagas begitu?" tanya Dila. Sheila mengangguk."Saat kecelakaan itu, Papa sepertinya terbawa arus sungai. Sebab, Nenek bercerita, menemukan Papa tersangkut tumpukan sampah yang berada di pinggir sungai. Bingung apa yang mau Nenek perbuat, saat sadar, Papa tidak mengenali namanya sendiri. Jadilah diberi nama Poerwa sama Nenek.""Dua Minggu yang lalu, Papa terpeleset tangga dan kepalanya kembali terbentur. Saat sadar, Papa mengingat semuanya. Terlepas dari apapun, aku akan tetap menjadi anak Papa. Karena Nenek sudah tiada. Sementara keluarga yang aku miliki, hanyalah Papa," terang Sheila sambil memegang tangan Paka Bagas yang memang sudah dianggap seperti Ayah kandungnya sendiri.Dua puluh lima tahun, sejak usia Sheila tiga tahun, Sheila tinggal bersama Nenek dan Pak Bagas. Jadi wajar kalau dia
Pov DilaTiga hari berlalu, keadaan hatiku masih begitu pelik. Masih sakit jika teringat perlakuan Lingga dan keluarganya. Rasa cinta yang dulu begitu besar berubah jadi rasa benci yang sangat dan sangat. Lingga, sungguh aku tidak pernah menyangka dengan semua ini.Berita media sosial juga masih heboh. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, banyak pengusaha yang enggan bekerja sama dengan perusahaan Pak Bram. Jelas semua itu kutahu karena berita itu masuk Jajaran trending topik di media Masa juga media sosial. Dari beberapa juga ada yang menarik sahamnya dan membatalkan kontrak kerja sama. Ini sama saja memberi efek luar biasa. Entah, mungkin karena berawal dari perusahaan Mas Bima yang menarik kerja sama dengan perusahaan Pak Bram, hingga mempengaruhi perusahaan lain, sebab perusahaan Mas Bima adalah perusahaan besar yang juga menjadi sorotan.Aku tidak tahu bagaimana keadaan keluarga mereka. Betul-betul mereka saat ini menguasai pemberitaan. S
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su