"Maaf Va, tapi benar-benar perutku mual," ucap Riska."Nggak apa-apa." Aku mendorong kursiku kemudian mendekati Riska. Aku pijat tengkuk lehernya, agar dia merasa lebih baik. "Jangan-jangan dia hamil," ucap seseorang yang duduk di meja sebelahku."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku padanya."Ya nggak apa-apa. Sekarang lihat deh, dia muntah-muntah di pagi hari, bukankah pas sama ciri-ciri orang hamil?""Kalau ngomong disaring dulu mulutnya! Nggak tau apa-apa udah ngomong hamil!""Loh, kok kamu nggak terima?!""Kirim aja nggak gimana aku mau terima? Dasar aneh, kenal juga nggak udah main tuduh!" Ingin aku menyiram muka perempuan itu dengan teh yang ada diatas meja, tapi tanganku malah ditarik oleh Riska."Va … aku pulang aja ya," ucap Riska."Aku anterin ya," usulku pada Riska."Nggak usah, aku naik taksi online aja, kamu kan ada kelas pagi," tolak Riska."Udah, nggak usah dipikirin," jawabku.Aku kemudian membantu Riska untuk berdiri dan memapahnya."Maaf Va, ngrepotin kamu," u
Setelah dilakukan cek darah, dia terkena tipes dan itu sudah lumayan parah," jelas Dokter. "Dia harus rawat inap di rumah sakit," imbuh Dokter."Lakukan yang terbaik untuk putri saya Dok," ucap Ayah Riska."Rawat dia di ruang VVIP, akan aku booking satu lantai untuk dia," ujar suamiku."Tuh, Ris, ucapan adalah doa. Kamu kan dulu pengen booking satu lantai sekarang kesampaian." "Ya kali harus sakit dulu kaya gini," elak Riska. "Ehm, aku cancel deh buat booking satu lantai, mending pulang aja. Boleh nggak, Dok?" pinta Riska."Nggak bisa. Apa kamu mau sakitmu tambah parah?" Riska akhirnya pasrah harus opname di rumah sakit. "Terimakasih Pak Bambang, sudah sangat peduli dengan anak kami," ucap Ayah Riska saat aku dan suamiku hendak pulang."Tidak apa-apa. Riska adalah sahabat baik istriku, dia sudah saya anggap sebagai—""Stop Pak Bambang!" sergah Riska. "Jangan anggap aku sebagai istrimu!" Mendengar ucapan Riska, Ibu Riska langsung memukul kaki Riska."Astaga! ini bocah kalau ngomong
Perhatian kini tertuju pada perempuan itu, ah iya aku ingat namanya Mayang.Mbak Nisa berbalik, karena perempuan itu datang dari arah belakang Mbak Nisa."Enak banget kamu mau melamar dia?!" pekik Mayang.Ivan yang tadinya berlutut kemudian berdiri menghampiri Mayang."Apa ada yang salah, Mayang?" tanya Ivan."Tentu saja ada!" jawab Mayang dengan nada tinggi. "Kalau kamu melamar dia, apa arti kedekatan kita selama ini?" "Kedekatan? Apa maksudmu? Bukankah dari awal aku sudah memberitahu tentang rencana ini?" tanya Ivan."Kalian selesaikan dulu masalahnya, aku pergi dulu," ucap Mbak Nisa."Tunggu, Nisa!" cegah Ivan."Ada apa lagi? Sudah jelas kan kalau dia berharap lebih pada kamu?""Tapi aku tidak ada maksud apa-apa sama Mayang, aku hanya mencintaimu Nisa ….""Aku juga," jawab Mbak Nisa lirih. "Tapi aku tidak mau ada orang lain yang sakit hati dengan hubungan kita.""Katakan sekali lagi Nisa, apa kamu mencintai Ivan?" tanya Mayang."Maaf, kalau aku salah. Aku memang masih sangat menci
Aku cukup kaget mendengar perintah suamiku, dan Seno pun terlihat langsung menunduk."Darimana kamu belajar nyetir?" tanya suamiku."Dari Bapak," jawab Seno lirih."Maaf Mas Mantu, Seno sebenarnya sudah ada satu tahun belajar nyetir, kadang dia yang antar pesanan ketring, tapi tetap dalam pengawasan bapak. Hanya saja, setelah bapak meninggal, Seno bawa sendiri. Kalau keberatan nanti biar mobilnya ditinggal disini," imbuh Ibu."Apa Kanda marah sama Seno?" tanyaku pada suamiku."Siapa yang marah?""Itu tadi minta mobil di tinggal disini.""Memangnya nggak boleh kalau ditinggal disini?" "Satu minggu lagi kan Seno tujuh belas tahun, bisa buat SIM sama KTP kenapa harus ditinggal disini mobilnya? Kalau ditinggal disini Ibu gimana anter pesanan ketring?" "Dinda jangan marah-marah dulu, belum selesai ngomong udah di protes." "Terus?""Itu mobil yang dibawa Seno udah ketinggalan model, masa anak muda kaya Seno bawa mobil kaya gitu, niatnya mau dibelikan yang baru …," jelas suamiku. "Tapi ka
"Ehm, Pak Agus kalau pulangnya naik taxi online nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa sih, Nona Bos, tapi mobilnya mau dibawa kemana?""Mau dibawa buat momong aki-aki," gurauku."Gimana Bos?" Pak Agus meminta persetujuan dari suamiku."Perintah istriku mutlak wajib dikabulkan," jawab suamiku. Pak Agus kemudian menyerahkan kunci mobil pada suamiku namun sebelum suamiku menerimanya aku sudah terlebih dahulu merebutnya."Aku yang nyetir," ucapku sambil berlalu menaiki mobil."Jangan lupa pasang safety belt ya Kek," candaku saat suamiku duduk di kursi penumpang sebelahku."Mohon maaf Cu, Kakek lupa cara pasangnya." Lah malah suamiku balik ledek."Oke, kita berangkat. Sesuai aplikasi ya," ucapku menirukan driver taxi online. Kemudian aku pacu mobil sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berwarna hitam dengan kecepatan sedang."Kita mau kemana, Sayang?" tanya suamiku."Gimana kalau nonton bioskop?" usulku."Boleh, bentar Kanda booking dulu.""Eh, jangan donk, jangan main asal booking. Kita biasa a
Aku terus memantau Bude Ratmi dari balik kaca jendela mobilku.Tiin tiin!Ah sial! Kenapa sih mobil dibelakang harus menggangguku. Aku kembali melajukan mobilku, kemudian di depan toko yang parkirannya cukup luas aku menepikan mobilku.Aku kemudian mengambil ponselku, menghubungi bodyguard di mobil belakangku.Tuuut'Ya Nona Bos''Kalian lihat Bude Ratmi?''Lihat Nona Bos! Sekarang sedang bersiap-siap pergi menaiki motornya''Laki-laki dengan jaket hitam dan topi dimana?''Masih ada Nona Bos''Bagus! Kalian awasi laki-laki itu. Cari informasi tentangnya''Siap Nona Bos'KlikAku matikan sambungan telepon dan kembali melanjutkan perjalanan ke kampus.***"Hai, Va," sapa Zaky saat baru turun dari mobil."Hai," jawabku singkat."Ada kelas?""He eh."Aku tak terlalu memperdulikannya, menjawab pertanyaannya juga karena merasa nggak enak kemarin sudah menolong Riska."Ada baksos nanti, kamu ikut ya," pinta Zaky."Maaf, aku nggak bisa.""Apa karena kamu orang kaya jadi nggak mau bergaul deng
Aku berusaha melepas cekalan tangan Zaky, tapi tenaganya begitu kuat. "Lepaskan tangan Nona Bos!" Terdengar suara dari arah belakangku, kemudian tangan Zaky yang tadinya mencekalku dilepas paksa oleh bodyguardku. "Nona Bos nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa." Aku bernafas lega, ketika tiga orang bodyguardku sudah ada disampingku. "Ayo kita pulang!""Apa perlu saya bereskan laki-laki ini?""Tidak usah, biarkan saja." Aku kemudian berlalu pergi, meninggalkan Zaky yang terlihat kecewa, tak kupedulikan tatapan pengunjung kafe yang melihat adegan tadi sebagai tontonan gratis untuk mereka.***"Bagaimana kalian ada disini? Bukankah kalian aku beri tugas untuk mengawasi laki-laki yang bersama Bude Ratmi?" tanyaku saat aku sudah di mobil SUV hitam bersama bodyguardku."Tuan Bos menyuruh kami agar tidak pernah meninggalkan Nona Bos. Kemanapun Nona Bos pergi kami harus mengawasinya.""Lalu bagaimana dengan tugas yang aku berikan?""Tuan sudah mengetahuinya, sudah ada orang yang menyelidikinya."A
"Pakde Parmin …" lirih aku memanggil laki-laki itu. Mengetahui ada tamu yang langsung masuk, para bodyguard langsung siaga. Mereka mencekal tangan pakde. Sementara tiga orang yang lain sudah berbaris di depanku sebagai benteng perlindungan. "Tolong saya Seva, cucuku demam tinggi," ucap Pakde Parmin tersengal. Nafasnya memburu efek lari dengan kencangnya. Aku menghampiri Pakde Parmin tapi suamiku melarangnya. "Kenapa dengan bayi itu?" tanya suamiku. "A—aku tidak tau, tadi dia nangis terus, aku cek keningnya ternyata suhunya sangat tinggi. Aku berusaha memberikannya susu tapi dia malah muntah," jelas Pakde Parmin. Naluriku sebagai seorang ibu membuatku mengalahkan rasa takutku pada Pakde Parmin. Aku menepis tangan suamiku dan maju melewati barisan bodyguard. "Boleh aku melihatnya Pakde?" ucapku kala sudah di depan pakde. Pakde Parmin mengangguk. Aku kemudian melihat bayi itu, wajahnya sudah pucat bahkan masuk ke biru. Aku mencoba mengecek suhu tubuhnya dengan menempelk
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa