Pov Riyanti
"Mas Andi, siapa perempuan itu? Lalu mobil sport itu milik Mas Alfa kah?"
Mas Andi sepertinya sudah menduga reaksiku atas kejadian barusan. Dia mengangkat kedua tangannya seakan menyerah tak mau menjawab tanyaku.
"Maaf Riyanti, kali ini bukan kapasitasku untuk menjawab. Biar Alfa aja yang jelasin ya." Mas Andi berlalu ke dalam meninggalkanku yang tenggelam dalam lamunan. Beberapa menit kemudian teman-temanku datang. Aku tak ingin ketahuan sedang banyak pikiran. Fokusku sekarang mengajar Niko. Sesekali aku melamun saat mengajar Niko, membuat Amel melihat ke arahku. Namun karena dia juga sedang mengajar, akupun bebas dari rasa penasarannya untuk bertanya.
Senja tiba menandakan aktivitas mengajar les kami selesai. Bersamaan dengan Mas Alfa yang datang denagn menenteng beberapa cup warna-warni ternyata jus. Aku segera membantunya menaruh di meja dan dia pun menyilahkan kami meminumnya. Aku memilih jus alpukat kesukaanku. Satu kali
Pov Alfa"Kenapa muka kusut gitu?" tanya Andi padaku yang kembali ke kontrakan dengan tak semangat."Aku bingung dengan jawaban Riyanti. Sudah kujelaskan kalau Lily sepupuku, tapi responnya biasa aja.""Memang respon apa yang kamu harapkan, Al?""Ya, aku pikir dia cemburu gitulah ternyata enggak. Dia masih nampak marah bukan karena cemburu.""Kamunya aja kepedean. Btw, dia tahu nggak mobil sport itu milikmu, haah.""Enggaklah, aku bilang pinjam tiap aku pakai mobil.""Nah itu...Al, pasti dia marah karena merasa kamu bohongi.""Apa... Darimana dia tahu, mobil itu punyaku, Ndi?""Pikir aja sendiri, katanya pinter."Andi memukul bahuku sambil berlalu ke kamarnya. Dasar Lily bikin onar aja nih, baru juga mau dekat eh masalah datang.Riyanti pasti marah kalau tahu aku membohonginya.'Hufh, gimana caranya menjelaskan padanya.'Seminggu berlalu, tak ada perubahan sikap Riy
Pov Alfa "Al, sepertinya gadis yang tadi Riyanti." "Mana mungkin, dia libur nggak ngeles kok. Lagian Riyanti kan pakai sepeda, gadis yang tadi pakai motor." "Sepertinya motornya mogok, kalau benar Riyanti gimana?" "Kenapa jadi kamu yang berhalusinasi,Ndi?" "Bukan gitu, Al. Menolong orang kan tidak boleh pilih kasih? Ayolah kita putar balik, Riyanti atau bukan kita tetap harus menolongnya. Tu, bener kan Al. Ada orang yang nggangguin kasihan. Cepat Al" Andi sudah cerewet dari tadi membuat telingaku pedas. Aku ragu kalau gadis tadi Riyanti karena dia tidak mungkin berada dijalan jam segini. Dia sudah ambil cuti part time dan fokus belajar persiapan olimpiade. "Tolong...,tolong" teriak gadis itu beberapa kali. Aku semakin memacu mobil sportku untuk putar balik. Sempat kulihat gadis itu berebut tas dengan seorang laki-laki mungkin penjambret. Segera kuparkir mobil di pinggir jalan dekat p
Pov Riyanti Satu bulan persiapan bimbingan olimpiade berjalan lancar. Hari itu tiba juga, tim olimpiade mewakili universitas sebanyak 15 orang terdiri 10 mahasiswa dan 5 dosen pendamping untuk 5 bidang akan terbang ke Jerman. Negara dengan teknologi maju, tempat presiden BJ Habibie menimba ilmu. Aku dan Galang menjadi wakil untuk bidang Matematika. Aku merasa bersyukur menjadi bagian dari tim, aku bisa menginjakkan kaki di kampus ternama tempat Pak Habibie belajar. Aku tetap harus fokus dengan kompetisi ini meski tak bisa dipungkiri aku masih terngiang ucapan Mas Alfa saat menolongku malam itu. Aku tidak bisa berpikir panjang dengan pernyataannya, yang terlintas dalam otakku hanya keinginan membahagiakan bapak ibuku. Aku berusaha keras gimana caranya bisa meraih impianku hingga tak terpikir olehku memikirkan cinta. "Kenapa dari tadi melamun sih, Ti? Mikirin apaan sih?" "Hmm, mikirin perjuangan kita." "Kita, kamu kali. Aku sudah
Pov RiyantiAkhirnya kami mendarat di Düsseldorf yang sudah terpisah 16 jam jarak perjalanan udara Jakarta-Aachen. Dari bandara kami menuju Stasiun kereta api Aachen Hauptbahnhof untuk naik kereta menuju kota Aachen. Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang kami bisa menginjakkan kaki di Jerman. Kami sampai di kota pelajarnya Jerman tepatnya di sebuah kampus ternama RWTH Aachen. Kompetisi yang kami ikuti kali ini bertempat di kampus ternama dimana (Pak Habibie Presiden RI ke 3) pernah menimba ilmu.Jerman mendapat julukan Das Land der Dichter und Denker yang berarti ‘negara penyair dan pemikir‘. Banyak tokoh pemikir dan seniman sastra yang berasal dari Jerman, seperti Albert Einstein dan Goethe.Jerman punya segala macam roti dan sosis yang jenisnya bisa mencapai puluhan. Untuk Makanan Halal, di Jerman juga banyak makanan yang telah berasimilasi dengan kuliner khas Turki yang dibawa oleh pen
POV Riyanti Aku bernafas lega menginjakkan kaki di kota Yogya dengan selamat setelah 16 jam perjalanan. Pun juga bahagia terasa di kalbu ini karena sebuah amplop coklat. Ya, amplop berisi berlembar-lebar yang bisa ditukar dengan barang. Ini merupakan sebuah hadiah besar yang baru pertama kali kudapat. Aku sudah tak sabar ingin memghadirkannya dihadapan bapak, ibu, mbak Ratih juga dik Amar. Namun niat ini hanya sebatas angan-angan dulu karena maaih jet lag. Badan ini lelah dan merindukan bantal guling di kamar kos. Sampai kos, aku teringat coklat oleh-leh dari Aachen. Segera aku minta Amel membuka tas berisi oleh-oleh dan kuminta dia membagikan ke beberapa teman kos. Tak lupa kusisihkan untuk Putri dan teman-teman kuliah. Sementara Amel membereskan coklat, aku memilih merebahkan diri di kasur yang kurindukan. "Maaf ya, Mel merepotkanmu." "Tenang aja, Ti. Kamu itu kayak sama siapa aja. Btw, ini coklat banyak banget
POV RiyantiHari-hari berlalu semakin mengobarkan semangatku untuk segera lulus dan mencari kerja.Pak Alfa masih bersikap baik, namun sudah tidak begitu gencar mendekatiku. Dia hanya memantau dari jauh seperti ucapannya yang akan menungguku.Sebenarnya tak enak hati juga, tapi menurutku ini lebih baik.Aku menyelesaikan skripsi dengan baik dan tinggal sidang saja. Aku selalu berdoa pada Allah semoga datang rejeki pekerjaan yang pantas untukku atau sebuah beasiswa untuk lanjut ke luar negeri. Terlalu tinggi memang, tapi selama bermimpi itu gratis tidak apa-apa bukan. Selalu berprasangka baik sama Allah merupakan hal yang membahagiakan.Selama seminggu ini aku mengurus administrasi untuk sidang skripsi. Di ruang bagian akademik aku melihat ada sosok pegawai baru yang cantik mempesona.Beberapa mahasiswa berbisik-bisik sepertinya sedang membicarakannya."Riyanti.""Eh iya Mbak. Hmm maaf Bu." Aku jadi ngomong belepot
POV AlfaSejak mendengar ucapan Riyanti yang ikut-ikutan menjodohkanku dengan Nana dosen fisika baru, aku mendiamkannya.Marah pastinya, dia tahu aku sedang berusaha mendapatkan hatinya. Kenapa malah menyuruhku menjalin hubungan dengan Nana.Saking marahnya, aku terpaksa mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakitinya. Aku memancing Riyanti apakah sungguh rela jika Nana dan aku jadian. Benar sekali dia memang berkata iya tapi yang kulihat dari sorot matanya menampakkan kesedihan.Aku biarkan saja waktu berjalan semestinya. Biarlah Riyanti tahunya aku benar-benar serius dengan Nana.Aku memang sering bertemu dan ngobrol dengan Nana saat di kampus untuk membuat Riyanti cemburu.Tapi sepertinya itu tidak begitu berpengaruh. Riyanti sibuk mengurusi sidangnya. Aku tidak akan mengganggunya sampai dia lulus.Hari ini sidang Riyanti dan pastinya dia lulus mengingat prestasinya yang tidak diragukan lagi. Niatku memberi ucapan se
POV Riyanti"Hai, Mas Andi apa kabar?""Eh Riyanti, lama ga ketemu ya.""Iya nih, Mas. Aku cuma hari ini aja ngajar di sini karena Niko sekalian ke toko buku sepulang sekolah.""Oh ya, santai saja mumpung bosnya lagi sibuk pulkam.""Maksudnya?" Aku pura-pura mengernyitkan dahi untuk menggali informasi tentang Pak Alfa."Alfa lagi sibuk ngurusin lamaran dan nikahan. Kamu nggak dikasih tau ya?"Aku sontak kaget mendengar berita ini. Ada nyeri di dada mengetahui kenyataan Mas Alfa akan menikah. Pupus sudah harapan yang jauh kupendam. Aku hanya seseorang yang tidak punya keberanian. Beginilah akhirnya, kecewa yang kurasakan."Ti, kenapa murung? Nggak usah sedih, justru kami harusnya senang nggak diganggu sama Alfa bukan?" ucapan Mas Andi menambah kesedihanku. Apa benar aku kelihatan menganggap Mas Alfa sebagai pengganggu.Aku berusaha untuk tidak sedih. Sepucuk kertas putih dalam amplop bunga-bunga sudah kusiap
Bab 63C "Terima kasih, Sayang. Sudah bersedia mendampingiku, menjadi ibu dari anak-anakku." Aryo mengecup puncak kepala Nay yang tertutup pasmina hingga membuat hati Nayla mengembang. "Terima kasih juga, Mas." Lima bulan kemudian. Nay mengenakan baju toga untuk menghadiri wisuda sarajananya. Perutnya sudah terlihat membuncit karena HPL tinggal beberapa haru lagi. Suami dan keluarganya mendampingi acara wisudanya. Pun teman-temannya bersiap dengan buket bunga ditangan mereka. "Selamat dan sukses atas wisudanya, Nay," ucap ketiga sahabatnya. Menyusul juga ucapan selamat dari orang tua dan keluarga Aryo. "Selamat ya, Sayang. Maafkan mama! Kamu memang pantas menjadi pendamping Aryo. Jaga putraku ya, Sayang. Sebagai orang tuanya, mama memang kurang memberinya kasih sayang." "Tidak, Ma. Mama selalu menyayangi Mas Aryo meski jauh di negeri orang. Nay dan Mas Aryo selalu merindukan mama dan papa." Nay mencium pipi mertuanya lalu teringat ibunya. Wanita yang sudah mengandung dan melah
Bab 63B"Mereka kan mau menghadiri acara ini, Mas.""Apa?! Sebenarnya ini acara apa sih, Nay?" Aryo bergantian menatap Nay juga keluarganya yang tak ada angin tak ada hujan muncul di rumah istrinya."Hai, Aryo! Oma mau nengok calon buyut tahu, nggak? Kamu tuh malah bengong."Aryo kembali terkesiap. Merasa di prank, Aryo mendekati keluarganya. "Mama, papa, kapan pulangnya? Tante juga katanya nganter oma ke luar kota.""Kamu tuh, Yo. Sama istri mbok ya dijagain yang baik. Untung calon bayinya nggak kenapa-napa. Bisa-bisa kamu tak jewer sini.""Ampun, Oma." "Iya, ini tante sama orang tuamu nganter oma ke luar kota buat mengisi tausiyah, Yo," pungkas tante Maya. Aryo masih terbengong.Semua yang hadir melihat tingkah keluarga Aryo akhirnya tertawa, ada juga yang menahan senyum, seperti Nayla yang saling pandang dengan Andra. Semua itu skenario Andra untuk mengerjai Aryo. Andra tidak mau Nay disakiti oleh suaminya. Saat di Daejeon, dokter mengatakan Nay hampir keguguran karena tindakan
Bab 63A"Nay, ini tanda kasihku untukmu." Nay tertegun melihat apa yang dibawa suaminya.Aryo membuka kotak kecil berlapis beludru. Ia mengeluarkan benda yang terpasang cantik di tempatnya. Sebuah kalung pertanda kasih sayangnya untuk sang istri tercinta. Ada liontin bunga matahari di kalung itu. Aryo berharap mentari akan selalu bersinar menerangi langkah mereka mengarungi biduk rumah tangga.Bukan tidak mungkin akan datang kerikil yang menghadang. Sebisa mungkin mereka saling menggenggam tangan untuk melalui jalan yang harus ditempuh. Apa yang menjadi tujuannya menggapai keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah, warahmah).Aryo memakaikan kalung dengan liontin matahari ke leher Nayla. Pasmina Nay angkat hingga kalung itu terpasang sempurna di lehernya. Aryo mengecup kepala Nay dari belakang. Rasa yang membuncah mengisi rongga dada keduanya. Senyum manis pun terukir di wajah masing-masing, hingga sepasang lengan kekar Aryo melingkar di perut Nayla. Tatapan hangat di wajah Aryo terli
Bab 62B"Sudah saya bilang Pak Aryo jangan menyakitinya. Dua kali Bapak sakiti Nay, maka...""No, big No, Ndra. Saya harus bicara sama Nayla. Pokoknya kamu nggak boleh melamar sebelum hubungan kami jelas, oke!" Andra hanya mengedikkan bahu, dalam hati tertawa penuh kemenangan.Aryo meninggalkan Andra membereskan tempat yang akan dipakai untuk acara. Entah acara apa sebenarnya Aryo tidaklah tahu. Ia mendekati Pak Rusdi, meminta maaf atas kesalahannya karena membuat Nay sakit hati.Aryo juga bercerita tentang kesalah pahamannya dengan Nay yang melihat dirinya bersama Tika. Waktu itu Tika ingin berpamitan yang terakhir karena mau tinggal di luar negeri. Pak Rusdi yang sudah tahu duduk perkaranya langsung menyilakan Aryo masuk dan duduk di ruang tamu. Bu Ranti terkejut melihat kedatangan tiba-tiba menantunya. Gegas wanita paruh baya itu membuatkan minuman dan menyuguhkan cemilan."Nay baru selesai mandi, Nak. Tunggulah sebentar. Tolong sabar ya Nak Aryo, menghadapi Nay yang anak tunggal
Bab 62AAryo berjalan tergopoh menuju rumah Nay. Mendengar obrolan tetangga Nay tentang acara syukuran membuat hatinya berkecamuk. Menyesakkan."Apa maunya Nayla? Apa dia benar-benar menginginkan perpisahan?" Aryo mendengkus kesal seraya kakinya menendang kerikil di jalan.Sementara itu,di kamar, Nayla merapikan penampilannya di depan cermin. Ingatannya terlempar saat tidur siang di kos Cika. Bisa-bisanya ia mimpi buruk."Nay, maaf. Aku tidak tega membuat Tika sedih," ungkap Aryo membuat Nay mencelos."Lalu?" Tatapan nyalang Nay tujukan pada suaminya. Napasnya memburu menanti perkataan selanjutnya dari sang suami."Ada yang ingin aku katakan padamu. Mama memintaku menikahinya. Tika bersedia menjadi istri kedua.""Untung hanya mimpi. Kalau beneran, aku nggak yakin bisa menerima kabar itu."Nay menghela napas panjang, seulas senyum tersungging di bibir bergincu pinknya. Kedua tangan mengusap perutnya lembut. Sebuah ketukan pintu megusik kegiatan asyiknya di depan cermin."Masuk!" Nay me
BAB 61B"Astaghfirullah. Aryo kenapa?""Aryo bersalah, Oma. Aryo sudah menyakiti hati Nayla. Dia pergi karena Aryo yang nggak sabaran. Saat di Daejeon Aryo menyakitinya fisik juga batin. Lagi-lagi pulangnya pun Aryo menambah lukanya kembali menganga."Oma dan Tante Maya tertegun melihat pengakuan Aryo. Keduanya menasehati Aryo supaya lebih sabar menghadapi masalah. Yang telah berlalu biarlah berlalu, jangan terulang lagi kesalahan yang sama. Manusia tidak ada yang sempurna. Memilih pasangan bukan untuk mencari yang sempurna tetapi yang bisa saling melengkapi hingga mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Rabbnya."Makasih, Oma, tante. Aryo mau bernagkat dulu ke Solo.""Apapun yang terjadi jadikan ini belajaran berharga untukmu dan Nayla, Yo. Oma tidak berharap kalian berpisah. Tetapi kalau mengharuskan kalian berpisah, kamu harus mengikhlaskannya.""Oma, Aryo tidak akan membiarkan Nay pergi. Oma dan tante doakan hubungan kami membaik!" pinta Aryo dengan penuh permohonan."
Bab 61ASehari tinggal di kos Cika, Nay akhirnya pulang ke Solo. Ia bertemu bapak ibunya, melepas rindu yang bersemayam di dada. Tangis haru nan bahagia mengiringi pertemuan keluarga sederhana itu."Kamu kurusan, Nay. Makan yang banyak, Nak!" Nay meraup wajahnya kasar. Sejatinya bukan hanya rindu yang ingin tersampaikan. Lebih tepatnya, Nay ingin mendapatkan pelukan. Support yang menguatkan hatinya karena masalah rumah tangga sedang menghampiri."Yang penting sehat kan, bu. Nanti Nay makan yang banyak soalnya kangen masakan ibu. Di sana makannya aneh-aneh," terang Nay dengan kelakarnya membuat orang tuanya tergelak.Pak Rusdi dan Bu Ranti tidak menyadari putrinya sedang dilanda masalah. Nay memang pandai menyembunyikan kesedihannya. Ia sibuk membantu ibunya membereskan jahitan seperti biasa."Pak, Bu. Ini ada sedikit rejeki, Nay ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan karena sudah diberi kesehatan saat belajar di negeri orang. Juga Nay selamat sampai pulang ke rumah.""Tapi suamimu a
Bab 60B"Sebenarna ada apa sih, Nay? Pasti kamu dan suamimu lagi berantem, ya?"Nay tidak menjawab justru tergugu seraya memeluk guling di atas kasur Cika. Sahabatnya segera mengambilkan segelas air untuk diminum supaya Nay lebih tenang.Setelah Nay terlihat tenang, Cika mulai menanyakan dengan hati-hati. Ia tidak mau Nay menangis lagi."Kalau sudah bisa cerita, aku siap ndengerin, Nay," ujar Cika."Aku tadi sudah sampai rumah. Tapi..." Nay menjeda kalimatnya seolah ada duri yang menancap di tenggorokan. Ia susah payah mengatakannya. Menarik napas panjang, Nay merasakan tepukan halus di punggungnya"Ada Mbak Tika di sana." "Hah, Bu Tika? Dosen fakultas yang baru?" Cika memasang raut keheranan kenaoa Tika bisa pagi-pagi di rumah Aryo."Kamu ingat, kan? Mbak Tika itu wanita yang dijodohkan sama Pak Aryo."Cika mendengarkan dengan sabar cerita Nayla."Tapi kamu jangan berpikiran buruk dulu, Nay. Tenanglah, kamu harus berpikir dengan kepala dingin biar nggak runyam masalahnya."Nay menga
Bab 60A EgoisNayla masih tergugu di dalam taksi yang membawanya memutari kota Bandung. Sedari tadi sopir menanyakan kemana tujuan, tetapi Nayla tidak menjawab. Sekutar satu jam, Nay baru sadar saat perutnya berdendang. Ia teringat telah melewatkan sarapan."Astagfirullah, sampai mana ini, Pak?!" pekiknya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sopir segera menepi dan menghentikan laju taksinya."Kita sudah memutari kota Bandung. Mbak mau ke mana lagi?" jawabnya seakan ingin protes tapi penumpang adalah raja. Sopir hanya memberikan pelayanan terbaiknya."Maaf, Pak. Tunggu sebentar, saya telpon teman dulu," pinta Nay. Ia mencari nomer kontak Cika."Halo, Ci. Kamu di kos atau kampus? Aku udah di Bandung.""Nay, kapan pulang?!" Nay menjauhkan ponselnya karena suara teriakan Cika dari seberang mengusi telinganya."Aku di kampus. Bentar lagi balik kos. Hanya ada kuliah pagi saja. Mika sama Ryan baru ke ruang dosen, nih. Kita ketemuan di kosku aja ya!""Ya, Ci. Tapi tolong kalau ketemu Pak Ary