Gendis memijat pelipisnya ketika pening begitu terasa menyiksa kepalanya. Dengan mata yang masih terpejam, perempuan itu tak tahu dimana dirinya berada saat ini.
Minuman alkohol yang ia minum semalam mulai menunjukkan efeknya. Dan Gendis benci halal seperti ini.
Ia yang memulai. Harusnya Gendis tahu resiko dari perbuatannya. Nyatanya, ia masih nekat menenggak minuman panas tersebut.
Lalu jika sudah merasakan hangover seperti ini siapa yang patut disalahkan?
"Duh, ini kenapa pusing banget sih?" gumam Gendis pelan, entahlah pada siapa pertanyaan itu ditujukan.
Gendis mencoba meraba meja di samping ranjang tuk mencari minyak angin yang tak pernah pindah dari tempatnya. Saat tak kunjung menemukan apa yang ia cari, Gendis mulai membuka matanya perlahan.
Lemari besar berwarna hitam menjadi banda pertama yang tertangkap oleh netranya. Saat itulah Gendis mulai sadar dan menemukan kejanggalan di kamar yang ia tempa
"Al, sebenarnya—" Alea langsung menarik Gendis masuk ke dalam apartemennya sesaat setelah ia membuka pintu. Gendis sampai terkejut karena perbuatan Alea yang tiba-tiba dan terkesan darurat tersebut. Padahal Gendis baru saja akan bertanya mengapa Alea menyuruhnya untuk segera ke The Hamilton tower—apartemen Alea yang berada di daerah Jakarta Selatan itu. Wajah Alea terlihat sedikit pucat. Napasnya pun juga terkesan ngos-ngosan. Gendis sempat berpikir apakah Alea baru saja selesai berolahraga. "Akhirnya kamu sampai tepat waktu, Dis," ujar Alea, wajahnya menyiratkan kelegaan. Gendis memutar bola matanya. Ia sedang tak bisa berpikir atau menebak hal apa yang sedang terjadi pada sahabatnya tersebut. "Sebenarnya ada apa sih, Al? Jangan bikin kepalaku pusing, deh!" salak Gendis kesal. Efek alkohol masih sedikit terasa di tubuh Gendis sehingga ia menjadi mudah sensi. Kepala pening dengan hidung yang
Ada pepatah yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Gendis sempat percaya akan hal itu. Ia percaya jika duka yang ia alami akan menghadirkan bahagia di kemudian hari.Sayangnya, Gendis telah mengubah mindsetnya akal hal tersebut. Gendis yang masih berharap akan terbukanya pintu hati sang mama nyatanya harus mengubur asanya begitu saja.Semua tak lain dan tak bukan karena... sebuah perjodohan.Gendis masih tak percaya jika Fatma begitu tega memisahkan dirinya dengan Gala. Bahkan perempuan yang ia hormati tersebut telah menyiapkan 'hati lain' tempat untuknya singgah.Secepat itu?Rasanya tak mungkin jika Gendis bisa berpindah dari hati Gala ke hati laki-laki lain. Ia menjalin hubungan dengan Gala bukanlah hanya dalam hitungan jam.Dan sekarang, di depan Gendis telah ada sesosok laki-laki yang menatapnya dengan penuh minat."Lho, kok cuma diem-diem aja, sih?"Suara Fatma yang
Gendis adalah perempuan yang selalu bersemangat dalam melakukan segala hal. Terlebih lagi jika hal tersebut adalah kegiatan yang sangat ia senangi.Perempuan itu akan selalu menikmati waktu demi waktu dalam menjalani harinya. Bahkan dalam mengerjakan hal tersulit pun ia akan tetap berusaha menikmati setiap prosesnya.Sayangnya, semua itu berbeda di hari ini. Gendis terkesan malas. Ia seolah tak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup. Jika bisa memilih, Gendis akan memilih berpusing-pusing ria dengan laporan keuangan Onilicius yang terkadang tidak sinkron."Kamu emang hobi banget bikin kue, ya?"Gendis melirik sekilas pada Jalu yang tangannya bergerak gesit memegang kemudi mobilnya. Berbeda dengan Gendis, lelaki itu malah terkesan sangat menikmati waktunya bersama Gendis saat ini."Hhmm, bisa dibilang begitu." Gendis menjawab dengan malas-malasan. Kepalanya menatap ke arah jalanan lewat kaca pintu di sampingnya.
Gala menerbitkan senyumnya kala ia masuk ke dalam apotek. Senyumnya terkesan biasa. Namun, karena wajahnya yang teduh nan rupawan, senyumnya yang biasa saja mampu membuat perempuan menjerit histeris.Lelaki itu memang ramah terhadap siapapun. Sering mengobral senyum bak tumpukan baju di keranjang diskonan. Gala adalah sosok laki-laki idaman sejuta perempuan.Sebenarnya Gendis beruntung menjadi kekasih Gala. Namun, itu dulu sebelum negara Api bernama restu Fatma merusak tatanan hatinya."Mbak, saya beli vitamin kayak di foto ini dong," kata Gala kepada seorang Apoteker.Perempuan itu masih menatap Gala tanpa berkedip. Gala sampai bingung dibuatnya. Adakah yang salah dengan penampilannya, batinnya dalam hati.Gala melambaikan tangannya ke arah penjaga apotek yang ia ketahui bernama Puri. Ya, Gala tentu saja tahu dari name tag yang tersemat di dada kanan perempuan itu."Halo, apa Mbak baik-baik aja?" tanya Ga
Ada yang hilang dalam diri Gendis. Semangatnya. Sudah sejak pertemuan tak sengaja dengan Gala ia mencoba menghubungi lelaki itu. Namun, tak ada satupun panggilannya diterima oleh Gala. Pun dengan rentetan pesan yang tanda ceklisnya masih berwarna abu-abu. Bukan tanpa alasan Gendis melakukan hal tersebut. Ia hanya ingin menjelaskan pada Gala jika apa yang Gala lihat bukanlah seperti apa yang Gala pikirkan. Gendis hanya ingin mengantisipasi kesalahpahaman meski hal tersebut tetap saja terjadi. Hidup Gendis kacau dalam satu kedipan mata. Padahal ia ingat betul bagaimana kemarin hubungannya dengan Gala masih baik-baik saja. "Cowok tadi siapa sih, Babe?" tanya Jalu penasaran. Lelaki itu menjadi sasaran kemarahan Gendis sebab sejak masuk mobil perempuan itu tak mau membuka suaranya. Jalu bisa melihat raut wajah Gendis yang berubah menjadi sendu nan murung. Ia tak buta akan hal tersebut. Maka
"Kemarin gimana? Gendis nggak bikin ulah, kan, Mas?" Senyum terbit di wajah Jalu ketika Fatma bertanya mengenai 'kencan' dadakan yang mereka lakukan tadi. Jalu kembali mengingat-ingat kejadian yang tak terduga hingga membuat perempuan bernama Gendis itu marah padanya. Sebenarnya Jalu tak mau ambil pusing dengan kemarahan Gendis. Toh, ia sudah mengantongi tiket emas tuk tetap bisa mendekati perempuan itu. Jalu memang berencana menginap di rumah Fatma atas permintaan perempuan itu sendiri. Katanya Fatma tak tega jika harus membiarkan Jalu langsung pulang ke Bandung. Ya, Jalu Satria memang berdomisili di Bandung. Kota yang juga disebut sebagai Paris Van Java itu adalah kota kelahirannya. Meski miliki aliran darah Sunda, namun jika di suruh menggunakan bahasa daerahnya Jalu akan angkat tangan. Aneh memang. Semua itu disebabkan karena sejak berada sekolah dasar hingga menaiki jenjang perkuliahan, Jalu berada di Jakarta. 
Gendis menatap bangunan di depannya dengan gamang. Perasaannya tak menentu. Akan tetapi ia juga tak mungkin terus berdiam diri dan membiarkan kesalahpahaman tetap membahana.Jika tak ia luruskan, Gendis takut jika Gala membenci dirinya. Bahkan ia takut kalau sampai lelaki itu meninggalkan dirinya.Dengan langkah pelan tapi pasti, Gendis mulai masuk ke dalam gedung yang merupakan kantor Gala. Senyumnya terbit ketika berpapasan dengan karyawan.Sudah menjadi rahasia umum jika Gendis adalah kekasih Gala. Tak heran jika banyak yang mengenal perempuan itu."Pagi, Bu."Gendis mengangguk seraya tersenyum tipis. Ia tengah menunggu di depan pintu lift dan beberapa pasang mata menatap ke arahnya secara terang-terangan.Meski demikian Gendis tak mau ambil pusing. Ia selalu bersikap masa bodoh dengan penilaian orang lain. .Pintu lift terbuka dan Gendis memutuskan untuk segera masuk. Perempuan itu menekan tombo
Gala berjalan beriringan bersama para petinggi Manggala Group. Mereka baru saja menyelesaikan meeting terkait ekspor produk yang akan dilakukan 3 hari lagi.Seperti biasa, semua akan berjalan lancar dengan keputusan yang diambil dengan banyak pertimbangan."Kalau begitu saya akan crosscheck lagi jumlah barang yang ada di gudang, Pak," Kata leki-laki bernama Hendra yang merupakan kepala gudang.Gala mengangguk sebagai bentuk persetujuan. Mengelola perusahaan bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, Gala selalu mewanti-wanti pada karyawannya agar lebih teliti lagi."Kalau sudah clear, Pak Hendra tolong follow up ke Angga. Atau kalau ada kendala bisa juga diskusi sama dia," kata Gala tegas.Gala bukanlah tipe Bos yang otoriter. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perusahaan yang tentunya juga menyangkut orang banyak, Gala memang sangat disiplin jika menyangkut soal pekerjaan.Lelaki itu memang tegas tapi
"Bisa nggak kalau permintaan kamu nggak aneh-aneh kayak gitu?"Gendis mengerucutkan bibirnya saat Gala mengatakan jika permintaannya aneh-aneh. Padahal menurutnya permintaannya cukup sederhana. Pergi bersama Gala sepertinya adalah hal lumrah. Tapi Gala malah menyebutnya seolah adalah hal yang tak bisa dikabulkan."Permintaanku itu simpel tahu, Mas," elak Gendis tak mau disalahkan. "Emangnya kamu beneran bisa terima kenyataan kalau aku nikah sama orang lain?"Pertanyaan Gendis begitu sarat akan ancaman. Semua itu bukanlah gertakan Gendis belaka. Nyatanya, perempuan itu memang akan menikah dengan laki-laki lain yang merupakan pilihan ibunya.Gala tahu itu. Lantas Gala bisa apa? Gala memang pernah mendengar pepatah yang mengatakan jika sebelum janur kuning melengkung seseorang masih milik semua orang. Namun, apakah Gala bisa berbuat suatu hal yang menurutnya sangat menyimpang dari prinsipnya.Sekalipun rasa sakit menghujam hatinya, mau tak
"Bukannya kamu tahu semuanya tentang aku bahkan lebih dari diriku sendiri?"Perkataan itu terus saja terngiang di kepala Gendis. Apa yang dikatakan Gala memang tak sepenuhnya salah. Namun, Gendis tak mau termakan oleh pemikiran yang bisa saja salah. Sekalipun Gala masih menunjukkan rasa perhatiannya. Pun dengan panggilan sayang yang Gala berikan untuknya. Semua itu tak serta merta membuat Gendis bisa membumbungkan rasa kepercayaan diri jika Gala.... masih menginginkannya. Dalam hal ini, Gendis ingin jawaban yang konkret. "Aku memang tahu semuanya tentang Mas Gala tapi aku kan nggak selamanya bisa tahu isi hatimu, Mas," kata Gendis setelah sekian lama terdiam. Sejak Gala memberi jawaban yang cukup ambigu, keduanya memang tak terlibat dalam percakapan apapun. 15 menit setelah mereka selesai makan, Gala mengajak Gendis dan mengatakan jika akan mengantar perempuan itu. Selama itu pula Gendis hanya menurut kemauan Gala dan Gala hanya akan berbicara seper
(Hollaaa, maaf banget buat yang udah baca bab sebelumnya dan menemukan banyak kata yang keulang. Tapi udah aku revisi pas ngerasa ada yang aneh sama bab yang aku upload) ***Gala tak menyangka Gendis masih mengingat apa yang ia suka dan apa yang tak ia suka. Rasanya ia seperti dihadapkan pada waktu ketika hubungan mereka masih terasa hangat. Saling memiliki satu sama lain dan terasa membahagiakan. Gala sadar jika Gendis memahami semua tentang dirinya melebihi diri Gala sendiri. "Kamu... gimana kabarnya, Dis?" tanya Gala setelah hanya tinggal mereka berdua. Senyum terkembang di wajah Gendis. Perempuan itu sedikit menundukkan tuk menyembunyikan kesedihannya. "Aku baik, Mas," sahut Gendis menipiskan bibirnya skeptis, "tapi nggak dengan hatiku," lanjutnya dalam hati. Gala mengangguk paham. Suasana saat ini cukup canggung. Gala yang merasa bersalah karena mengajak Gendis yang notabenenya adalah tunangan orang lain dan Gendis yang merasa jika Gala sedikit me
Ada perasaan yang tak bisa Gendis ungkapkan saat ini. Entah mengapa ia merasa gugup. Kedua kakinya seolah tak bisa diam begitu saja ketika ia sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu- Manggala Yuda. Gendis merasa seperti abg yang sedang dilanda kasmaran. Terlalu konyol untuk sikap seseorang yang pernah menjalin hubungan selama 5 tahun. Gendis tahu jika pertemuan ini tak sesimpel yang ada dalam bayangan kepalanya. Ini bukanlah sebuah pertemuan ‘kencan’ seperti pasangan pada umumnya. “Kamu udah lama datengnya, Dis?” Gendis mendongak ketika suara berat menyapa indra pendengarannya tuk mendapati Gala-seseorang cyang tengah ia tunggu dan membuatnya merasa gugup berdiri di depannya. Lelaki yang terlihat tampan dengan kemeja maroon yang lengannya digulung sampai siku itu menarik kedua sudut bibirnya ketika mata mereka saling bertemu. Tampan. Satu kata itulah yang seketika terlintas dalam benak Gendis. Ya, hal itu sepertinya sudah tak diragukan lagi. Gala m
Setiap orang tua pasti mau anaknya bahagia. Sekalipun itu bertentangan dengan 'keinginan' sang Anak. Hal itu adalah perasaan yang Dea rasakan. Setelah pertemuan pertama dengan Shiren, ia merasa jika perempuan yang merupakan teman kerja Dana adalah perempuan yang cocok untuk Gala. Shiren adalah perempuan baik, santun, dan cantik. Rasanya tak ada satupun hal yang membuatnya untuk tak menyukai Shiren. "Kamu udah pulang, Mas?" tanya Dea begitu Gala memasuki ruang keluarga di mana saat ini perempuan itu tengah menikmati reality show yang disiarkan salah satu TV swasta. Gala berhenti dan menoleh ke arah sang Mama. Lelaki itu tersenyum seraya mengangguk kecil. "Mama belum tidur?" tanya Gala balik. Ia melirik ke arah jam yang terpajang cantik di dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia cukup tahu kebiasaan mamanya yang selalu tidur jam 9. Untuk itu Gala pun tentu merasa heran saat melihat Dea masih berada di ruang keluarga ketika ia baru saja pula
"Dis, Abang pinjem charger laptop—LAH, kamu nangis?"Januar baru saja masuk ke kamar Gendis tanpa mengetuk pintu terlebih dulu dan tertegun saat mendapati Adiknya sedang duduk sambil memeluk boneka Panda kesayangannya. Januar melihat air mata mengalir di pipi Gendis dan hal itu selalu membuatnya tak suka. Ia memang bukan kakak yang baik karena selalu jahil dengan adiknya. Namun, melihat bagaimana Gendis mengeluarkan air mata tentu bukanlah hal yang ia sukai. Sekalipun mereka sering bertengkar, Januar mau Gendis selalu tersenyum setiap saat. Gendis hanya melirik ke arah Januar yang berdiri di tengah kamarnya. Ia merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu sehingga siapapun bisa masuk ke kamarnya dan melihat fakta ini. Selain itu, rasanya Gendis juga ingin menjawab pertanyaan Januar dengan suara lantang. "UDAH TAHU NANGIS, MASIH NANYA LAGI!" Mungkin seperti itulah Gendis akan menjawab pertanyaan sang Kakak. Akan tetapi saat ini, ia merasa malas unt
"Aku kemarin ke Onilicius, Mas."Gala tak bisa menahan diri untuk tak menoleh dengan cepat sampai tulang lehernya terdengar berderak. Namun, ia hanya menatap si Pembicara selama satu menit tuk kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan di depannya. Gala sendiri tak tahu harus menanggapi apa dan bagaimana karena jujur saja ia masih selalu ingin tahu dengan segala hal yang berhubungan dengan... Gendis Ayu Paradista. Dengan menyebut Onilicius–yang merupakan juga bagian daripada Gendis, Gala tahu jika ia tak bisa mengabaikan pembicaraan itu begitu saja. Gala berdeham pelan tuk melegakan tenggorokannya. "Oh, ya?"Sebab bingung, pada akhirnya Gala hanya menanggapi dengan dua kata tersebut. Ia pikir tak mungkin jika langsung bertanya pada Shiren mengenai apakah ia bertemu Gendis dan segala sesuatu mengenai gadis itu. Lagipula, Gala juga belum mengerti maksud pembicaraan Shiren yang menurutnya begitu tiba-tiba. Lewat ekor matanya Gala melihat S
Shiren pernah mendengar sebuah pepatah Jawa yang berbunyi Dudu sanak dudu kadang (Meskipun tidak ada ikatan darah, namun terasa sudah seperti bagian dari keluarga). Shiren tak pernah mempercayai hal itu sebab di mana ia akan menemukan 'hal' di dunia ini. Namun, pemikirannya berubah ketika sekarang di sini—di rumah Gala ia merasakan hal tersebut. Rasanya ia ingin menangis mendapati perlakuan keluarga Gala yang baik luar biasa. Ia tamu tapi tak seperti tamu sebab Dea–perempuan yang tak lain adalah Ibu Gala dan Dana memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Shiren tak memungkiri jika hatinya terasa menghangat mendapati perlakuan baik dari Dea. Ia pun bisa merasakan jika Dea memang benar-benar tulus terhadapnya. "Lauknya dipakai dong, Ren," kata Dea lembut. Shiren sedikit membersit hidungnya mendapat perhatian tersebut. Ia sedikit mendongak agar genangan di pelupuk matanya tak tumpah seketika. Kedua sudut bibir Shiren melengkung membentuk sebuah senyuman, "
Gala menghentikan langkahnya setelah mendengar satu nama yang disebut Mamanya. Dalam diam, ia seolah ingin mengulang waktu beberapa menit yang lalu tuk memastikan jika telinganya benar-benar tak salah mendengar. "Oh, iya, Gal. Tolong nanti ajak Dana dan Shiren sekalian ya."Itulah ucapan Dea yang mencatutkan satu nama. Shiren. Apa perempuan itu ada di rumahnya saat ini? pikir Gala. Untuk apa? Gala berbalik dengan alis terangkat sempurna, "Shiren, Ma?"Dea yang tak sadar jika Gala masih berada di sana (dengan rasa penasaran yang tinggi) mendongak. Tak ragu, perempuan itu mengangguk sebagai jawaban. "Iya, dia ada di kamar Dana sekarang.""Oh, pantas," gumam Gala hanya dalam hati. Saat ia masuk ke rumahnya, Gala tak menemukan satupun orang atau adanya tamu di rumahnya. Ia hanya menemukan Dea yang sedang mengatur hidangan yang kemudian di bawa ke meja makan. "Oke, Ma." Gala merujuk pada perintah Dea tuk memanggil Dana dan Shiren bersam