“Gimana? Ganteng enggak?” Rachel bertanya, mengelap tangan setelah ia cuci bersih kemudian meminta sang asisten untuk melanjutkan pekerjaannya memasukan adonan ke dalam oven.Rachel memang pintar membuat kue mungkin menurun dari Oma buyutnya, itu kenapa ia berkecimpung di dunia kuliner seperti sang Papa, mungkin bakat itu ia dapatkan secara turun temurun.Arsha mengangkat bahunya sebagai jawaban, ia tampak kurang bersemangat.“Yuk, ke ruangan gue!” ajak Rachel seraya merangkul lengan Arsha.Di ruangan Rachel yang berada di lantai dua, Arsha menjatuhkan tubuh di sofa, berkali-kali mengembuskan nafas seolah dengan begitu beban yang saat ini ia rasakan akan menghilang seiring hembusan nafas tersebut.Bagaimana tidak menjadi beban, bila calon suaminya adalah si bumblebee yang ternyata pria perenggut kesuciannya juga begitu kentara membencinya.Rachel terkekeh. “Cerita donk, ganteng enggak cowok yang di jodohin sama lo tuh?” “Cowok itu ternyata yang merawanin gue, Rachel ... dan gue kenal
“Mana kopernya?” Suara seorang pria menyentak telinga Arsha.Bukan suara sang Kakak kembar melainkan suara seorang pria dingin, miskin ekspresi yang sialnya selalu tampan di setiap kesempatan.Seperti saat ini, pria itu tengah berjalan santai menyebrangi kamar Arsha dengan memasukan kedua tangan ke dalam saku celana.Kemeja lengan panjangnya di masukan ke dalam celana, belt dari merk rumah mode ternama dunia melingkar di pinggang Kama.Sepatu fantovel dan rambut di tata rapi membuat Kama tampak lebih dewasa.“Mau kemana dia pake baju rapih gitu?” Alih-alih menjawab, Arsha malah memindai Kama dari atas hingga bawah kemudian bertanya di dalam hati.“Arsha!” Kama berseru membuat Arsha terkejut bukan main, mengerjapkan mata ia mengalihkan pandangannya dari Kama.“Be ... lom, sedikit lagi!” balas Arsha yang sedang duduk bersimpuh di lantai sambil memasukan pakaian ke dalam koper.“Tinggalin aja ... aku ada meeting setelah jam makan siang ... kita pergi sekarang!” Bagaikan sebuah perintah,
Kama tersentak, mengalihkan tatapan dari layar canggih yang ia genggam, menatap tajam Arsha yang baru saja menendang kakinya.“Sorry ... gue enggak sengaja,” ucapnya santai kemudian memejamkan mata kembali.Luar biasa, baru tiga puluh menit saja privat jet milik keluarga Kama lepas landas, Arsha sudah terlelap dan terjaga ketika turbulance terjadi kemudian kembali terlelap dengan mudahnya.Ketika menaiki pesawat tadi, seperti ada yang ingin Arsha bicarakan dengan Kama, itu sebabnya Arsha mengambil duduk di depan pria itu.Akan tetapi Kama begitu sibuk dengan Macbooknya membuat Arsha enggan dan malah tertidur di kursi yang berada tepat di depan sang pria.Kama mengembuskan nafas, kembali mematuti layar pipih yang menampilkan banyak angka kemudian hatinya tergelitik untuk mengetahui wajah Arsha saat sedang tidur.Menahan tawa, ia menduga bila wajah tidur Arsha pasti akan sangat kocak dengan mulut yang terbuka lebar.Untuk memenuhi rasa penasarannya, Kama pun akhirnya mengintip dengan se
“Tuan Kama meminta saya membelikan makan siang untuk anda,” ujar Nufaira seraya memberikan satu kotak berisi makan siang. “cảm ơn bạn,” balas Arsha, menerima kotak makan siang tersebut dari tangan Nufaira.Ucapan terimakasih dengan bahasa Vietnam yang diungkapkan Arsha mampu membuat Nufaira menaikan satu alisnya, pasalnya Arsha melafalkannya begitu fasih dengan nada bicara yang tinggi terlebih dahulu, lalu menurun secara bertahap.“Anda bisa bahasa kami?” Nufaira yang masih berdiri di samping Arsha bertanya demikian menggunakan bahasa Inggris, seperti pertama kali ia berbicara dengan Arsha ketika tadi memberikan makan siang.“Tentu, untuk menjadi pendamping Tuan Kama sudah seharusnya saya pandai Tiếng Việt,” balas Arsha tanpa tersenyum bahkan terkesan ketus.Tidak ada yang tau jika sehari semapam Arsha belajar bahasa Vietnam hingga tidak sempat mengepack pakaiannya.“Apaan sih lo, Ca ... sok-sokan ngomong pendamping Bang Kama, kege’eran banget, mewek entar lo,” batin Arsha mengingatk
Kama menelan saliva kelat, matanya melirik ke arah Arsha yang berjalan mendekat kemudian beralih pada nasi goreng yang sedang ia masak lalu kembali lagi pada Arsha dan detik berikutnya kembali memusatkan perhatian pada nasi goreng, terus saja begitu. Ia gugup.Mengumpat berkali-kali karena tadi malah mengijinkan Arsha memilih sendiri pakaian dari dalam lemarinya.Kamar Kalila terkunci, Kama tidak mengerti kenapa adiknya harus mengunci kamar padahal hanya dirinya dan pelayan yang masuk ke apartemen ini, itu pun sang pelayan tidak tinggal di sini, para pelayan hanya akan datang siang hari untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian.Kama jadi tidak bisa meminjam pakaian Kalila untuk Arsha, akhirnya Arsha memilih sendiri pakaian Kama yang nyaman untuk ia kenakan dan pilihan jatuh pada kemeja putih yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya.Pasalnya baju dalam Arsha yang berwarna hitam tampak jelas menerawang menembus kemejanya.Dengan santai Arsha duduk di kursi tinggi meja bar, menopang
“Pagi Tuan Putri ... .” Langkah Arsha terhenti ketika mendengar sapaan seorang pria berbahasa Indonesia.Di ruang makan telah duduk Kama di ujung meja dan seorang pria yang menyapanya tadi duduk di samping sang Tuan rumah.Kedua bola mata mereka menatap Arsha membuat Arsha menengok ke kiri dan ke kanan kemudian ke belakang.Mencari orang yang dipanggil Tuan Putri oleh pria tersebut.Tidak mungkin dirinya, kan? Karena Tuan putri tidak akan memakai hotpan seperti yang ia kenakan pagi ini.Mesin cuci Kama sangat canggih bisa mencuci sekaligus mengeringkan pakaiannya dengan cepat sehingga pagi ini ia bisa memakai pakaiannya sendiri tanpa harus meminjam pakaian Kama lagi.Pria tersebut tergelak. “Lucu ya dia,” ucapnya kepada Kama.Kama tidak menanggapi, mengalihkan tatapannya pada roti sandwich yang dibuatkan pelayan“Hallo Arsha ... gue Fabian, yang hari ini akan menemani kemanapun lo pergi,” ujar pria tersebut seraya mengulurkan tangan.Arsha menarik kursi meja makan tepat di depan Fabi
Arsha membuka dus kecil berisi ponsel baru yang dibelikan Fabian, di dalamnya sudah ada provider yang dapat ia gunakan selama di Vietnam.Memasukan beberapa nomor keluarga dan sahabatnya untuk kemudian menghubungi mereka.Dalam sekali panggilan video, Arsha dapat menjangkau kedua orang tua bersama kedua Kakak kembarnya.Berturut-turut ke empat keluarganya menjawab panggilan Arsha. Hari sudah sore di Jakarta, Daddy dan kedua Kakak kembarnya tampak sedang berada dalam perjalanan pulang namun tidak dengan sang Mommy yang sedang sibuk di dapur, memasak untuk makan malam orang-orang tercinta.“Hai Caca sayang,” sapa Daddy.“Hallo sayang Mommy, udah makan?” Mommy selalu khawatir Arsha terlambat makan.“Betah enggak di sana, Ca?” Belum apa-apa Aarash sudah bertanya demikian.“Gimana Ca? Udah sampe mana naklukin gunung esnya?” Pertanyaan Aarav lebih parah.Wajah Arsha memberengut membuat kedua Kakak kembarnya tertawa.Tapi tidak berlangsung lama, raut wajah Caca berubah ceria tatkala melihat
Langkah Arsha terhenti ketika hendak memasuki ruang makan, seorang gadis cantik yang mirip dengan Kama sedang duduk menikmati sarapan pagi dengan gerakan anggun.“Itu pasti Kalila, kapan dia pulang?” gumam Arsha.Si gadis menoleh, menatap Arsha tanpa senyum kemudian mengembalikan tatapannya pada mangkuk sup yang sedari tadi ia tekuni.“Si dingin lainnya,” batin Arsha bicara.“Duh!” Arsha berseru, maju selangkah karena Kama menyenggolnya.“Jangan ngelamun depan pintu,” kata pria yang sudah lengkap dengan stelan jas dan wangi masculin yang menyeruak ke dalam indra penciuman Arsha.Bibir Arsha mencebik, perasaan ia tidak berdiri di depan pintu. Masih banyak ruang untuk Kama lewati tapi kenapa pria itu malah menyenggolnya.“Bilang aja pengen pegang-pegang,” tuduh Arsha di dalam hati.Langkahnya ia lanjutkan, menarik kursi di depan Kalila.“Pagi Mbak,” sapa Arsha sambil tersenyum.Kalila menggerakan bola matanya hingga bertemu dengan netra Arsha, lima detik kemudian ia tersenyum samar nyar