"Terima kasih, Mas. Kalau nggak ada Mas, aku pasti masih ada di dunia hitam itu," ucap Gunawan pada Dumadi temannya yang akhirnya dia temui setelah sekian lama."Eh, kenapa harus minta maaf kepadaku?" tanya Dumadi lalu terkekeh.Pertemuan itu akhirnya jadi pertemuan yang manis karena Gunawan memang sudah lama tidak melihat sosok teman yang selalu saja membantunya selama hidup.Gunawan juga berterima kasih pada dukun yang dia tau masih berhubungan dengan Irawan, yang masih menjadi misteri andilnya di kehidupan baru mereka ini."Kamu pasti lelah, kenapa tidak tidur dulu," potong Dumadi lalu melirik ke arah Jaka yang nampak bingung di tengah percakapan ayah dan temannya ini."Tidur?" Jaka menghela nafas panjang sebelum akhrinya bangkit dari tempat duduknya. "Ya, aku akan tidur. Sebentar saja.""Lama juga nggak papa," imbuh Gunawan yang memang ingin bertanya banyak pada teman dukunnya itu."Oh," Jaka lalu melangkah menuju kamar dan mulai membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur nyaman y
"Baik, kalau begitu aku akan segera pergi ke pabrik,"Dumadi tersenyum mendengar perkataan Jaka yang begitu bersemangat setelah dia menuturkan apa yang akan terjadi hari ini.Dia bisa tau semuanya, karena pria tua ini memiliki kemampuan meramal hingga tidak sulit baginya membaca apa yang akan dihadapi Jaka sejam yang akan datang.Setelah bersiap, Jaka bergegas pergi ke pabrik bersama Dumadi dengan berjalan kaki. Setiba di pabrik, dua orang pria berbaju polisi nampak berdiri di gerbang pabrik kemudian mencegat Jaka yang datang dengan mengendarai sepedah motornya."Selamat pagi," Pria berbaju polisi itu kemudian memasang posisi hormat ke arah Jaka membuat kening pemuda ini berkerut."Pagi, ada apa ya, Pak?" tanya Jaka lalu menghentikan motornya."Kami dari kepolisian. Semalam ada pencurian di pabrik sehingga pabrik di tutup untuk sementara selama proses penyelidikan," jelas polisi tadi dengan wajah yang begitu serius."Astaga," gumam Dumadi yang berdiri di samping Jaka. "Setahuku tempat
"Tidak, Pak. Dia datang untuk membantuku saja." jawab Jaka sambil menggaruk tengkuknya. "Jangan marah,""Tidak, aku tidak marah. Hanya merasa aneh saja, kenapa ada mahluk astral di sini," Danu lalu menarik tangan Jaka menuju ruangannya lalu mempersilahkan bawahannya itu duduk di kursi seberang mejanya. "Ada apa?" tanya Jaka yang tidak mengerti maksud dari Danu."Begini," Danu lalu mengatakan maksud hatinya sambil berbisik agar teman kerja Jaka yang lain tidak mendengarkan perkataan mereka. "Jadi aku rasa dia ada main di pabrik ini," tutur Pak Danu dengan suaranya yang marah."Astaga, dia lagi,""Benar," Danu menghela nafas berat lalu menoleh ke arah kantor tempat seseorang masuk dan mengacak-ancak tempat itu malam tadi. "Entah apa maksudnya,"Saat Danu nampak begitu marah, Dumadi nampak mendekat. Dia lalu duduk di samping Danu yang hanya terdiam meski tau kedatangan Dumadi untuk membantunya menyelesaikan masalah yang belum terpecahkan itu."Aku rasa Bapak lebih baik pergi dari pabrik
"Jangan, Mas. Kita tidak boleh melawannya sendirian," pinta Bowo pada temannya. "Kalau kamu lawan sendiri, aku takut dia akan semakin beringas,"Jaka manggut-manggut mendengar perkataan Bowo. Dia tau temannya ini sangat baik hingga rela melakukan apapun untuk membantunya. "Jadi kamu mau membantuku?""Ya, tentu saja. Aku sudah sampai di sini, jadi sudah layak rasanya aku membelamu sampai selesai,""Ok,"Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka mengantarkan peti mati untuk hari ini. Memang kalau Bowo tidak mengantarkan barang, itu sama saja dengan dia tidak dapat upah hari ini, karenanya dia akan tetap pergi meski sebenarnya dia enggan.Setiba di halaman rumah duka, mata Jaka segera menyapu sekeliling. Dia berusaha tau rumah siapa ini sebelum turun dari mobil yang dia kendarai."Kamu kenal rumah ini?" tanya Bowo saat mata Jaka terus saja mencari tau siapa empu dari rumah mewah berlantai dua yang cat rumahnya sudah pudar.Jaka tidak menjawab, dia hanya memarkirkan saja mobil yang di
Brak!"Buka pintunya!" Teriakan dari luar ruangan itu membuat Jaka benar-benar kehilangan akal untuk menghadapi masalah ini. Dia benar-benar tidak meyangka jika perintah saudaranya itu justru membuatnya dalam masalah."Hey, kami tau kamu ada di dalam!" "Astaga!" Jaka terperanjak mendengar perkataan yang terdengar di luar ruangan tapi hal yang lebih membuatnya kaget karena dia mengelai suara itu adalah suara Irawan, si polisi yang jahat itu."Jadi ini benar-benar rumah Irawan?" tanya Jaka pada Rani yang menatap tajam ke arah pintu."Memangnya sejak tadi kamu pikir ini rumah siapa?" ketus Rani pada Jaka yang dia anggap begitu lambat memahami masalah yang sedang mereka hadapi. "Aku sudah bilang kan kalau itu sesajen milik orang jahat yang selalu berlaga seperti orang yang tersakiti. Dia itu penyebab kematianku, ayahmu dan kerabat kita yang lain!" jelas Rani dengan penuh penekanan."Dia sejahat itu!" Jaka meremas jemarinya, menatap ke arah pintu dan mulai melangkah.Rasanya ingin sekali
"Ada apa lagi?" tanya Jaka dengan senyum tipis berharap bisa lepas dari dugaan yang sedang ada di kepala sepupunya."Kamu orang yang menghancurkan ruang sesajenku, kan?" tanya Irawan sambil melangkah mendekati Jaka yang masih saja memutar matanya mencari jalan keluar."Apa? Aku cuma datang untuk antar peti saja, kok. Ini sudah selesai jadi aku bisa pulang sekarang," tutur Jaka."Hahahaha! Pintar sekali kamu menyembunyikan kebohonganmu, Jaka!"Jaka menyipitkan matanya kemudian memutar padangannya ke arah sesosok tubuh kaku yang berada di ruang tamu tempatnya kini berada. Sesekali matanya menajam ke sosok itu untuk tau siapa lagi yang meninggal di keluarga aneh ini. "Siapa dia?" tanya Jaka sambil menunjuk arah sorot matanya. Pertanyaan singkat itu membuat Irawan terlihat goyah dengan pertanyaannya. Matanya berputar ke sekeliling ruangan seakan kini dialah yang sedang disidang oleh Jaka. "Mhhh!" Tenggorokan Irawan terasa kering seperti sedang dicekik oleh dua tangan Jaka yang terlihat m
"Apa?" tanya Bowo tapi Jaka tidak menjawab.Wajahnya datar lalu bangkit dari tempatnya terduduk kemudian berdiri dengan tegap. Dia memutar badannya ke arah mobil diikuti Bowo yang masih tidak mengerti maksud dari perkataan temannya ini.Jaka masih saja terdiam saat mobil yang mereka kendarai bergerak meninggalkan rumah Irawan. Sesekali Jaka terlihat tersenyum lalu kembali datar seakan tidak mau Bowo tau isi kepalanya.Lama saling diam, Bowo jadi penasaran juga. Dia lalu menyenggol bahu Jaka dengan ujung telunjuknya lalu melirik tajam ke arah pria yang sedang menyetir itu. "Kamu mikirin apa? Masa aku nggak boleh tau,""Itu," jawab Jaka singkat."Ahh! Kenapa sih harus misterius gitu. Aku tuh nggak ngerti maksud Mas,"Hahahaha!Jaka menertawakan wajah Bowo yang begitu bingung dengan perkataannya lalu menggangguk sebelum akhirnya memutar stir mobil ke lajur kiri tanda mereka sudah hampir tiba di tujuan. "Nanti aku cerita di rumah. Pokoknya kamu tenang aja,"Bowo kembali duduk dengan bersa
"Roro?" Jaka kaget bukan kepalang ketika menyadari suara itu benar berasal dari istrinya yang sedang hamil tua. Roro berjalan sambil memegangi punggungnya yang semakin pegal dengan bobot calon bayinya yang semakin besar lalu berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan kekagetan di wajah suaminya.Wanita hamil itu lalu melangkah perlahan menuju kamar lalu menutup pintu perlahan tanpa mengucapkan sepatah katapun."Dia pulang?" tanya Jaka masih tidak percaya jika Roro tiba di rumahnya."Iya, Mas. Istrimu pulang," jelas sambil menelan salivanya."Aduh, gimana istrimu ini, Ka. Sudah bagus dia tinggal di kampung ayahnya. Kenapa pake pulang?" Gunawan menghela nafasnya lalu menunggu sampai Jaka memutar badannya menuju kamar barulah Gunawan mengikuti langkah putranya."Tapi aku bilang apa sama dia?" tanya Jaka masih tidak tau apa yang harus dia lakukan."Suruh dia pulang ke kampung ayahnya," tutur Gunawan dengan wajah yang tidak kalah cemas dengan wajah putranya."Tapi..." Tangan Jaka me
Meski tawa Dumadi begitu sinis tapi Jaka tetap harus mendengarkannya. Mereka terus berada di rumah Irawan sampai akhirnya langit perlahan gelap dan Jaka sadar kalau ini saatnya pulang.Dia bersama Bowo kemudian memasuki kembali mobil pick up tua yang berjalan begitu lambat menyusuri jalan pulang yang hari itu terlihat lebih lengang.Sesekali mata Jak terlihat sayu karena lelah dengan semua kejadian barusan dan kembali terang begitu tiba di jalan kampung yang berarti dia semakin dekat dengan rumahnya."Aku turun di sana aja," ucap Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang tegap."Oh!" Sedetik kemudian Jaka sudah menyalakan lampu sein dan mobil perlahan bergerak ke kiri.Tangan Bowo segera membuka pintu lalu melambai begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah yang basah, sepertinya hujan turun beberapa saat lalu. "Ah, sudah sampai," ucapnya lalu menutup pintu dengan tangan kirinya."Yok!" jawab Jaka singkat lalu kembali menginjak pedal gas sebelum Bowo menyampaikan salam perpisahan.Entah men
Serpihan itu perlahan terbang meninggalkan rumah mewah milik perwira polisi itu meski Jaka dan Bowo terus mengamatinya.Butiran-butiran itu terbang begitu bebas kemudian menghilang tersapu angin."Itu!" teriak Bowo menyadari ada yang salah dari diamnya mereka. "Kemana mereka?" Pertanyaan itu membuat Jaka tersadar, Irawan yang ada di kamar tiba-tiba menghilang. Entah kapan dia pergi, mungkin saat Red menghilang atau mungkin saat mereka lengah.Gila!Teriak Jaka lalu melangkah masuk ke dalam kamar milik sepupunya itu dengan wajah penuh kesedihan. "Bagaimana aku bisa melupakannya," desis Jaka lalu masuk ke dalam kamar untuk memastikan apa yang dia lihat. "Dia benar-benar hilang," ulang Jaka setelah memastikan jika kamar itu memang sudah kosong."Sudah! Sudah!" Tiba-tiba dari dinding yang bisa terlihat sesosok cahaya yang kemudian dikenali Jaka sebagai Gunawan, ayahnya. "Aku tau ini pasti terjadi. Mereka pasti punya rencana jahat hingga kamu harus hati-hati padanya.""Ayah, tapi dia meng
"Diam!" teriak Marni yang sudah sejak tadi ingin menghabisi adik ipar Jaka itu. "Kamu tidak akan bisa lari lagi. Sekarang aku akan menghabisimu!" Darma yang mendengar perkataan Marni langsung berdiri karena ternyata tadi yang melilit tubuhnya tidak berfungsi. Dia lalu menatap wajah Marni yang ketakutan kemudian menepis tangan pelayan Irawan itu kuat-kuat hingga pisau yang ada di tangannya terpetal jauh."Kee--napa kamu bisa sekuat ini?" tanya Marni tidak percaya."Mas, habisi dia. Dia ini setan. Dia akan mudah kamu taklukkan sekarang!" teriak Darma lalu memutar lehernya ke arah Jaka.Tidak perlu menunggu, Jaka langsung mendekat ke arah Marni. "Tenyata mudah mengalahkanmu!" teriak Jaka lalu meremas jemarinya untuk siap membogem wanita paruh baya itu.Plas!Tangannya melayang dan wajah sedetik kemudian wajah Marni remuk karena bogemannya itu. Ah!Marni terkapar di atas lantai lalu melirik ke arah kamar dimana Irawan sudah jadi mayat hidup yang tidak kunjung dijemput sang malaikat maut
"Aku tau kelemahan mereka," desis Darma lalu melirik ke arah Jaka.Hah!Jaka terbelalak mendengar perkataan adik iparnya itu merasa tidak mungkin tapi wajah Darma nampak begitu yakin dengan apa yang dikatakannya."Lalu apa yang kamu tau soal mereka?" tanya Bowo dengan wajah kebingungan. "Kalau bisa kita habisi saja sekarang,"Mendengar perkataan Bowo wajah Darma yang awalnya begitu yakin sontak berubah tertunduk. Dia lalu melirik ke arah Jaka yang masih duduk di sampingnya kemudian berkata. "Tapi aku tidak tau caranya,"Mmm!Jaka yang tadinya yakin pada Darma dengan kesal berkata. "Kamu ini kayak kentut. Tadi yakin banget, sekarang ragu. Sebenarnya mau kamu apa, sih?""Ada sosok yang terang di saat aku mau masuk ke gerbang kematian, Mas. Dia bilang kamu adalah orang yang kuat, hanya saja ketidakyakinan itu membuatmu lemah."Deg!Jantung Bowo berdegup kencang, dia teringat pada perkataan Nenek Manda soal kekuatan Jaka yang tersembunyi. Dia lalu menarik tangan Jaka kuat-kuat hingga kepa
"Kalian harus ijinkan Darma tetap di rumah itu dan membantu Jaka dari rong-rongan Irawan," bisik Nenek Manda dengan suara yang tiba-tiba jadi lantang. Tidak cuma suaranya yang jadi lantang, mata Nenek Manda berubah jadi merah dan rambutnya seperti terkibar angin yang datang dari sekeliling rumah.Bowo yang tidak mengerti tentang perubahan diri wanita tua itu hanya terdiam memandangi sorot mata yang begitu asing baginya. Dia terus mencoba mengartikan apa gerangan maksud dari nenek sakti ini. "Apa yang kamu maksud sebenarnya?" tanya kernet baik itu berharap Manda mau menjelaskan lebih detail maksud perkataannya."Aku tau ini terdengar aneh, tepi kamu harus biarkan Darma di sana. Hanya itu tugas terakhir Darma di hidupnya,""Apa?" Bowo terbelalak. Dia kembali teringat cerita ibu warung kalau adik ipar Jaka itu saat ini sedang dalam keadaan koma dan bisa kapan saja meninggal.Bowo berusaha menenangkan diri karena kabar ini bukan kabar bagus baginya, dia terus berharap apa yang dia pikirk
"Tidak ada!" teriak Bowo setelah memastikan dua sosok itu sudah pergi dari tempat yang mereka duga adalah tempat persembunyian mereka."Iya, tapi aku yakin dia akan kembali ke rumah ini. Mereka berdua masih mau Mas mati," tambah Darma lalu mendekat ke arah Jaka. "Mas tau kan kenapa aku tidak mau Mas jadi korban mereka?""Apa?" tanya Jaka semakin penasaran dengan keputusan adiknya yang tidak mau meninggal padahal saat ini dia sedang ada di gerbang antara hidup dan mati."Karena Rio, Mas. Anakmu masih butuh kamu dan aku lihat tenagamu semakin hari semakin tipis saja. Sepertinya ada sesuatu denganmu hingga tenaga pemberian nenak sakti itu tidak semuanya bisa kamu dapatkan!"Jaka mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Darma sore itu. Semenjak beberapa hari lalu tenaganya sudah tidak sebesar sebelumnya. Dia kembali jadi penakut seperti tidak berdaya apa lagi saat pelayan Irawan yang notabene adalah seorang wanita menyerangnya saja dia tidak bisa mengelak.Mendengar cerita Darma tentang
Tentu kabar yang baru sampai di telinga Jaka bukanlah kabar baik hingga dia memutuskan untuk buru-buru pergi dari warung dan menyalakan mesin mobil untuk terlebih dulu menyelesaikan tugasnya hari ini.Sama seperti Jaka, Bowo juga tidak punya rencana lain kecuali menyelesaikan tugas hari ini dan kembali ke rumah Jaka untuk bertanya pada Darma apa yang sebenarnya terjadi.Setelah tugas selesai cepat-cepat keduanya menuju rumah kontrakan Jaka dan menemui Darma yang sore itu berada di ruang tengah sambil menikmati rokok yang dibawa Jaka dari Kediri.Wajah adik Roro itu terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Ya, kalau Jaka tidak tau ceritanya, tentu wajah Darma sore itu biasa saja, tapi setelah tau apa yang terjadi pada adik iparnya, Jaka jadi penasaran juga untuk bertanya. "Sudah makan?" tanya Jaka dengan suara bergetar sambil duduk di samping Darma yang jelas dia tau sedang dalam keadaan buruk di rumah sakit."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Darma merasa risih dengan tata
Setelah perbincangan panjang pagi itu, Jaka kembali ke pabrik untuk memulai aktifitasnya. Dia melupakan sejenak masalah adik iparnya untuk fokus dengan tugas yang diberikan Danu hari ini.Tugasnya tidak berat, hanya mengantarkan dua buah peti mati ke Surabaya tepatnya di daerah Waru dekat Terminal Bungurasih. Untuk urusan antar peti ke Surabaya memang baru bagi Jaka tapi tidak untuk Bowo yang nampak begitu siap duduk di samping Jaka yang terlihat bingung akan memilih jalan yang mana mengingat jalan menuju Surabaya adalah hal asing baginya.Karena merasa Jaka tidak akan mampu menyetir hingga tujuan dan terlalu riskan memberikan tugas ini pada Jaka akhirnya Bowo sepakat untuk memengang kemudi sembari Jaka mengingat-ingat jalan ke titik tujuan.Sepakat duduk di samping kemudi, Jaka mulai terlihat nyaman dengan joknya. Dia juga mengeluarkan sekotak rokok pemberian rumah duka di Kediri agar tidak mengantuk saat mobil mulai melaju."Mas, tadi kata Mas kan mau sarapan dulu. Jadi nggak nih?"
Jaka berlari sekencangnya dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Kakinya sempat beberapa kali tersandung kerikil tapi dia buru-buru menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh di saat yang genting ini.Sama seperti kakak iparnya. Darma juga berlari dibelakang Jaka tanpa mau menoleh ke belakang dan baru berhenti saat akhirnya mereka berdua tiba di depan halaman masjid."Alhamdulillah," Jaka yang terengah-engah langsung duduk di tangga masjid yang mulai dipadati para jamaah. "Kamu dengar kan tadi itu, Ma?" tanya Jaka pada Darma yang mengikutinya duduk di tangga."Iya, Mas. Jelas banget. Udah kita sholat aja. Jangan pikirin yang tadi,"Keduanya kemudian kompak berdiri dan melangkah masuk ke dalam masjid. Setelah mendapat posisi sholat yang mereka rasa paling tepat, Jaka dan Darma perlahan khusuk dalam ibadah pagi mereka.Selama sholat hingga melantunkan doa, Jaka dan Darma terlihat tidak sedikitpun menoleh ke belakang. Mereka masih takut kalau sosok asing itu akan mendekati mereka meski me