Zola tertegun sejenak. Meskipun dia memang tidak ingin Boris tinggal di sini, dia tidak pernah berpikir tidak mau merawat pria itu.Namun, Zola tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Boris dan berkata dengan nada acuh tak acuh, “Kalau nggak mau pergi ke rumah sakit, suruh dokter datang untuk infus saja. Kalau dibiarkan demam terus bisa kena radang paru-paru.”“Kalau begitu suruh Dokter Guntur ke sini.” Usai berkata, Boris memejamkan matanya lagi.Zola keluar dari kamar dan menelepon Guntur. Setengah jam kemudian, Guntur tiba di sana. Boris sedang baring di tempat tidur, tampak lemah dan tidak bertenaga. Guntur memeriksanya sebentar, lalu berkata, “Banyak istirahat, juga harus banyak minum air putih.”“Jadi nggak apa-apa, Dok? Seharusnya bisa segera sembuh, kan?” tanya Zola prihatin.Guntur menganggukkan kepala, lalu menatap pria di tempat tidur dan berkata, “Bangun dan makan sesuatu dulu. Kalau nggak, daya tahan tubuh menurun, kamu benar-benar harus diberi infus.”Boris tidak bergera
Zola mengerutkan kening. “Kamu bisa minum obat dulu, nggak? Kalau kamu nggak minum obat, lap badan tetap saja nggak ada gunanya.”“Kamu nggak mau?”Zola terdiam. Boris berkata lagi, “Kamu kesal banget sama aku, ya? Kakek bilang dia mau kenalkan kamu ke Sandy. Kamu mau?”Zola tersentak. Bukankah sekarang dia sedang menyuruh Boris minum obat? Mengapa pembicaraan mereka malah jadi mengarah ke Sandy? Sejujurnya, Zola sudah lama melupakan masalah itu. Karena dia merasa kakek Boris pasti hanya bercanda. Sekalipun sang kakek ada niat seperti itu, dia pasti akan meminta persetujuan Zola dulu.Zola sangat tidak berdaya, dia pun berkata, “Boris, kamu yakin mau bicarakan hal ini sekarang?”“Kalau kamu nggak ingin bicara, lap badanku saja.”Zola menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi di dalam hatinya. Boris malah berkata lagi, “Aku demam karena berendam dalam air dingin sepanjang malam. Kamu bahkan nggak mau bantu lap badanku untuk turunkan demamku?”Zola mengerutkan bibir dan ber
Jadi Zola diam-diam menata kembali perasaannya. Sesaat kemudian, dia baru pelan-pelan mengantuk hingga akhirnya terlelap.Begitu mendengar suara nafas perempuan yang teratur di sebelahnya, wajah Boris terlihat sedikit serius. Dia melirik punggung Zola sebentar. Tiba-tiba, ada emosi yang tak terlukiskan mengalir ke dalam hatinya.Malam itu berlalu dengan tenang. Saat Zola bangun keesokan paginya, Boris masih tidur. Zola tidak membangunkannya. Dia bangun dari tempat tidur dan langsung pergi mandi. Selesai mandi, Zola memasak bubur dan dua jenis sayuran. Setelah dia selesai sibuk di dapur, jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Namun, Boris masih belum bangun juga. Saat memasak, Zola diam-diam menyentuh kening pria itu. Demamnya sudah turun, tidak panas lagi.Awalnya Zola ingin membangunkannya, tapi dia takut mengganggu tidur pria itu. Selain itu, dia juga khawatir pria itu akan demam lagi. Jadi Zola tidak pergi ke perusahaan.Boris baru bangun ketika menjelang tengah hari. “Mau makan bubu
Mahendra mengerutkan kening. Wajah tampannya tampak tercengang. Sorot matanya penuh dengan keterkejutan dan rasa tidak percaya.Boris semakin menyipitkan matanya ketika melihat perubahan drastis ekspresi di wajah Mahendra.“Kami nggak butuh barang-barang yang dibawakan Pak Mahendra. Sekarang kami juga nggak leluasa undang kamu masuk. Kalau begitu, silakan pergi,” kata Boris dengan dingin.Usai berkata, dia hendak langsung menutup pintu. Namun, Mahendra tanpa sadar spontan menahan pintu dengan kakinya.“Zola .... Kamu ada di dalam, nggak?”Suara Mahendra sangat keras. Tentu saja Zola mendengarnya. Awalnya Zola mengira dia sedang berhalusinasi. Karena dia menyalakan alat penghisap asap, sehingga dia tidak bisa mendengar suara di luar dapur. Setelah mendengar suara Mahendra, dia pun keluar dari dapur.Zola melihat Boris yang hendak menutup pintu, serta Mahendra yang menahan pintu dengan kakinya. Zola spontan membelalakkan matanya dan bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”Boris berdiri diam
Zola tetap diam. Boris mencengkeram dagu Zola, lalu menyipitkan mata dan berkata sambil menggertakkan gigi, “Jawab aku, Zola. Kamu usir dia, nggak?”“Boris, sekalipun dia hanya teman biasa, aku nggak bisa usir dia. Apalagi Mahendra bukan hanya sekadar teman, dia juga partner kerja yang sudah banyak bantu aku.”“Jadi nggak peduli apa pun yang aku katakan, kamu tetap nggak mau jaga jarak darinya?” Sorot mata Boris menjadi dingin. Cengkeraman tangannya di dagu Zola juga mengencang. Dia menundukkan kepala semakin mendekat ke arah Zola. Hembusan napas yang panas menerpa wajah dan leher Zola.Zola hanya menatap Boris acuh tak acuh. “Aku nggak mengerti apa yang kamu maksud dengan jaga jarak. Apakah aku harus putus kontak dengan semua lawan jenis? Meskipun mereka hanya teman atau rekan kerja juga nggak boleh? Kalau begitu, apakah itu artinya aku harus berhenti kerja di perusahaan dan kerja sendiri di rumah?”“Aku nggak minta kamu jaga jarak dengan semua orang, hanya dengan mereka yang punya ma
Zola tidak menyembunyikan apa pun, tapi dia juga tidak banyak bicara. Dia bisa membicarakan banyak hal dengan Jeffry, tapi tidak dengan Mahendra. Karena Zola tahu, perasaan Mahendra terhadapnya tidak hanya sekadar teman. Namun, Zola tidak mungkin bersatu dengan Mahendra. Oleh karena itu, dia tidak akan pernah memberikan kesempatan.Setelah Mahendra selesai masak, jam sudah menunjukkan pukul 12. Mahendra tidak tinggal untuk makan.“Pak Boris nggak senang kalau aku tetap di sini. Kehadiranku juga akan pengaruhi hubungan kalian berdua. Aku nggak mau menyulitkan kamu.”Zola mengerutkan kening. “Nggak apa-apa. Dia hanya mau cari masalah denganku. Karena aku sudah buat dia demam dan sakit.”“Kebetulan aku juga ada janji dengan orang lain di dekat sini. Sekarang ke sana waktunya juga pas,” kata Mahendra.Mahendra bersikeras untuk pergi tanpa makan. Setelah berusaha menahannya sebentar, Zola pun tidak memaksanya lagi. Dia mengantar Mahendra sampai ke depan pintu, lalu berkata, “Mahendra, lain
“Kenapa kamu selalu libatkan orang lain? Bukannya kamu sendiri bilang kalau urusan kita ya urusan antara kita berdua, nggak usah libatkan orang lain?”“Dia yang datang sendiri. Aku nggak libatkan dia secara paksa.”“Tapi kamu selalu ungkit soal dia, bukan?”Nada bicara Zola sangat tenang. Boris sendiri yang terus menekankan padanya untuk tidak melibatkan Tyara dalam urusan di antara mereka. Lantas, kenapa sekarang Boris terus melibatkan Mahendra?Boris menatap Zola. Dia juga menggosokkan tangannya yang memegang dagu Zola. Tidak jelas emosi yang terkandung dalam suaranya.“Jadi kamu mau jaga jarak dengannya, nggak? Aku nggak suka kamu terlalu dekat dengannya. Aku juga nggak suka lihat dia dekati kamu dengan maksud lain. Dia punya niat lain. Lebih baik jangan terlalu sering berhubungan dengan orang seperti itu.Zola mengerutkan kening, merasa Boris sangat keterlaluan. Zola juga merasa sangat tidak senang. Namun, tanpa menunggunya bicara, pria itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Bibir tip
“Nggak lakukan apa pun. Aku hanya ganti lauk,” kata Boris dengan enteng.Zola mengerutkan alis. “Boris, kamu nggak merasa keterlaluan bilang kamu hanya ganti lauk? Kalau kamu nggak mau makan makanan ini, kamu boleh makan bubur. Tapi jangan sia-siakan kebaikan orang lain, oke?”“Nggak ada yang suruh dia datang ke sini. Dia yang datang sendiri tanpa diundang. Aku biarkan kamu undang dia masuk sudah termasuk beri kamu muka. Sekarang kamu kira aku izinkan kamu makan makanan yang dia masak?”“Kamu nggak izinkan pun aku juga sudah makan.”“Sudah makan ya sudah makan.”Usai berkata, Boris langsung memberikan isyarat mata kepada Jesse, menyuruh Jesse bergerak lebih cepat. Jesse melirik Zola dengan hati-hati, lalu cepat-cepat ganti piring dan masukkan semua makanan itu ke dalam rantang. Jesse pun langsung pergi tanpa menunggu lebih lama.Suasana di ruangan tersebut seketika menjadi sunyi senyap, udara terasa berat. Namun, itu bagi Zola sendiri. Boris malah tetap bersikap tenang, seolah tidak pe
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me