Intan menelan air liurnya kasar. 'Aduh, kenapa ayah bisa ada di sini? Bisa gawat ini. Semoga ayah tidak menyapa aku,' batin Intan. Meeting yang dilaksanakan oleh para petinggi perusahaan akhirnya usai juga. Disaat Lingga sedang sibuk berbincang dengan para relasi bisnisnya, Intan milih untuk mendekati sang ayah. "Yah, kenapa Ayah bisa ada di tempat ini juga? Kemarin, waktu Intan bilang akan pergi, Ayah tidak mengatakan apa-apa," tanya Intan. "Ayah sengaja, Ayah mau melihat langsung kinerja kamu bagaimana? Apa sudah pantas, jika nanti harus menggantikan Ayah. Bagaimana kabar bos kamu? Apa dia memarahi kamu selama di sini?" tanya sang ayah. Intan melirik Lingga yang berada jauh, lalu kembali lagi menatap sang ayah. "Pak Lingga baik kok, Yah. Dia tidak memarahiku. Yah, nanti jangan bilang siapa-siapa, ya!" pinta Intan. "Bilang apa?" Ayah Intan mengerutkan keningnya bingung. "Itu Yah, jangan bilang kalau aku ini putri Ayah!" bisik Intan. "Iya, ga
Lingga berjalan ke sana ke sini mencari keberadaan sekretaris magangnya--Intan. Lama mencari, akhirnya Intan ditemukan juga. Intan masih berdiri mematung di tempatnya. Walaupun sang ayah sudah lama pergi, tetap saja penyesalan itu membuat Intan tidak bisa beranjak dari tempatnya. "Kamu di sini? Dari tadi saya cari ke mana-mana, ternyata santai di sini!" omel Lingga, memegang pundak Intan. Intan tersadar, kemudian menormalkan ekspresi wajahnya. "Ada apa Pak?" tanya Intan, berbalik ke arah Lingga. "Ada apa kamu tanya? Dari tadi saya bicara panjang lebar, kamu cuma tanya itu? Keterlaluan sekali kamu," Wajah Lingga memerah menahan emosi. "Apa meetingnya sudah mau dimulai Pak?" tanya Intan, mengalihkan pembicaraan. Tangan Lingga terkepal menahan emosi. "Tidak jadi meeting, saya mau kembali ke hotel saja. Kamu berdiri di sini saja, tidak usah ikut!" geram Lingga, melenggang pergi meninggalkan Intan yang menatapnya bingung. "Bos mesum itu kenapa? Marah?"
Intan yang baru satu hari berada di kota itu, ternyata tidak tau menahu tentang rute dari angkutan umum yang dirinya tumpangi. Lama berada di dalam angkutan umum, Intan baru sadar saat dirinya hanya tertinggal sendiri di dalamnya. Angkot yang ditumpanginya ternyata tidak melewati jalan menuju hotel. "Mang, berhenti Mang!" Intan mulai panik sendiri. "Ada apa Neng?" Supir angkot itu berbalik. "Ini ke arah mana ya, Mang? Saya mau ke hotel pelangi," ujar Intan. "Waduh Neng, ini bukan angkot jurusan hotel pelangi. Neng salah naik angkot," sahut supir itu, menepikan angkot. Jantung Intan berdegup kencang. Perjalanannya sudah jauh, tapi ternyata salah naik angkot. "Terus saya gimana, Mang? Apa Mamang tidak bisa putar balik? Saya bayar lebih deh Mang," tawar Intan, ketakutan. "Adug, gimana ya, Neng? Ini memang sudah rute saya., jurusan angkot yang saya bawa. Sekalian jalan pulang juga Neng. Jadi maaf, saya tidak bisa Neng," tolak supir itu dengan sopannya
Lingga menatap tajam Intan. "Lebih baik saya pergi saja, dari pada disalahkan seperti ini," rajuk Lingga, berbalik menghadap mobilnya. "Eh, Pak... Tunggu!" Tahan Intan, gegas beranjak dari duduknya menghampiri Lingga. "Ada apa? Mau menyalahkan saya lagi?" ketus Lingga, menoleh. "Bu-bukan begitu Pak. Jangan tinggalkan saya di sini! Saya takut Pak," Intan terlihat memohon. Lingga menatap Intan sejenak, keningnya tampak berkerut seperti memikirkan sesuatu. Dalam diam Lingga, jantung Intan berdetak cepat. "Hem, apa saya mau? Tadi kamu menyalahkan saya, enak saja menahan saya. Cari saja jalan pulang sendiri," ketus Lingga. "Kan saya sudah minta maaf Pak? Ayolah Pak, kalau saya kenapa-napa, Bapak harus bertanggung jawab!" desak Intan, gegas melangkah menuju mobil Lingga. "Hei, kamu mau ke mana?" teriak Lingga, melihat Intan sudah masuk ke dalam mobil. "Mau pulang ke hotel Pak. Ayo masuk!" sahut Intan, mengeluarkan sedikit kepalanya melalui kac
Lingga yang masih merasa bingung, hanya bis menuruti kemauan Intan saja. "Ingat, ini semua tidak gratis!" bisik Lingga, menormalkan ekspresinya. Pundak Intan sedikit bergidik mendengar kata-kata Lingga. Ingin rasanya menolak, namun keadaan tidak memungkinkan. Akhirnya, dengan berat hati Intan mengangguk setuju. "Intan?" Ekspresi wajah Panji berubah pias saat melihat penampilan Intan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Intan tak menghiraukan Panji, kakinya terus melangkah sambil mengeratkan gandengannya. "Tan, tunggu sebentar!" Panggil Panji, hatinya kembali bergetar menatap mantan kekasihnya. Lila yang tidak terima Panji memanggil Intan, langsung menarik tangan Panji. "Apa-apaan sih kamu? Untuk apa memanggilnya?" geram Lila. "Lepaskan! Ada yang harus aku katakan pada Intan," ujar Panji, menghempaskan tangan Lila. Intan mendengar semua percakapan mantan kekasih dan mantan sahabatnya. Dua orang pengkhianat, yang beberapa hari lalu sudah memporak
Di dalam kamar hotel, Intan dengan cepat melepaskan gandengan tangannya pada Lingga. Sandiwara hari ini benar-benar membuat tubuh dan pikirannya letih. Pertemuan tak disengaja itu, membuat hati Intan merasa muak, sekaligus sakit. "Kenapa kamu melakukan sandiwara ini?" tanya Lingga, menatap Intan dengan tatapan mengejek. "Apa kamu mau memanasi mantan kekasihmu itu? Dan, aku yang kamu jadikan target atas semua rencana dadakan ini? Hehehe... Ini tidak gratis, ada bayaran mahal untuk ini semua," Lingga menatap Intan tajam. "Maaf Pak, saya tidak bermaksud melakukan ini. Seperti kata Bapak, ini semua dadakan. Saya hanya tidak mau terlihat menyedihkan saja di depan mereka," bela Intan, jantungnya berdetak kencang, gugup memikirkan bayaran yang Lingga katakan. "Memangnya apa masalah kamu dengan mereka? Kalau sudah mantan itu, tidak usah dipikirkan lagi. Terlebih dia juga sudah ada gandengan baru, santai saja!" Entah kenapa, Lingga merasa penasaran dengan jalan percintaa
Malam kedua Intan tidur satu kamar dengan Lingga, membuat Intan merasa was-was. Apalagi setelah mendengar soal bayaran yang Lingga inginkan. "Kenapa kamu tidur di ujung sekali? Kalau jatuh, jangan salahkan saya!" ujar Lingga memperingati. "Tidak apa-apa Pak, kebetulan sedang mau di ujung sini," sahut Intan berbohong, kenyataannya Intan terlalu takut dekat-dekat dengan Lingga. "Kamu tenang saja! Aku tidak akan macam-macam. Sudah aku katakan, tadi hanya bercanda saja, aku tidak tertarik sama sekali," ujar Lingga, lagi-lagi meyakinkan Intan. "Iya Pak, saya tenang kok. Santai saja Pak!" Intan tersenyum kikuk. 'Dasar mulut tidak ada akhlak, bisa-bisanya dia mengatakan itu. Sekarang boleh jadi bilang tidak tertarik, hanya bercanda. Coba saja tadi sore aku mau, pasti kata-katanya lain lagi,' batin Intan, menatap Lingga sinis. "Kenapa menatapku seperti itu? Kamu sedang mengata-ngatai aku dalam hati? Kamu tidak percaya?" tanya Lingga, seolah bisa membaca
Intan dan Lingga baru saja menyelesaikan sarapan lagi mereka. Sarapan yang seharusnya dilakukan di restauran hotel, malah berpindah jadi di dalam kamar. "Sudah selesai? Kalau sudah, kita berangkat sekarang. Ingat, jangan sampai seperti kemarin. Kalau saya cari, kamu tidak ada. Lihat saja nanti, saya tinggal pulang duluan!" ujar Lingga, memperingati Intan. "Iya, saya mengerti," sahut Intan, merasa kesal. "Baguslah kalau mengerti. Saya tunggu di lobby!" ucap Lingga, melangkah keluar. Intan melempar kasar remote televisi ke atas tempat tidur. "Huh, dia yang bertanya, malah dia yang menjawab sendiri. Dasar tidak jelas!" gerutu Intan, berjalan menuju meja rias. Kali ini Intan benar-benar memperhatikan dirinya di depan cermin. Merasa penampilannya sudah oke, Intan bergegas mengambil tas kecil miliknya dan tas berkas milik Lingga. "Ini baru tiga hari, masih ada empat atau lima hari lagi di sini. Aku sudah merindukan kamarku, kapan aku boleh pulang? Tidur
Agung masuk tanpa persetujuan Lingga. Asisten pribadi Lingga itu langsung menghampiri keduanya yang sudah tertangkap basah ingin berciuman. "Gila, ini kantor Bos," ledek Agung. Intan langsung mendorong Lingga menjauh. Wajahnya memerah menahan malu. Tanpa mengatakan atau membela diri, Intan bergegas keluar dari ruangan Lingga. "Kenapa kamu masuk tidak ketuk pintu dulu?" Lingga menatap tajam Agung yang terlihat santai "Aku sudah mengetuknya, kamu saja yang tidak dengar. Saking fokusnya ingin berciuman, kamu sampai tidak tau," sindir Agung, menyerahkan satu map berwarna coklat kepada Lingga. "Ini jadwal kamu besok sampai satu minggu ke depan, aku hanya mau menyerahkan ini saja," lanjut Agung, tersenyum mengejek. Lingga tidak menerima map itu, hanya matanya yang melirik sinis. "Kamu hanya memberikan ini saja? Cepat keluar sana! Lain kali, kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!" usir Lingga, mendorong tubuh Agung, menuju pintu. Agung terkekeh mendapa
Intan duduk termenung di kursinya. Kata-kata Agung membuatnya bingung. "Masa iya di kantor besar seperti ini ada kodok sih? Apa benar? Terus, dari mana Pak Agung tau, kalau tuh kodok berjenis betina?" "Aku seperti orang bodoh saja memikirkan ini. Apa jangan-jangan, pak Agung membohongi aku?" lanjut Intan bermonolog sendiri.Sibuk dengan pemikirannya. Telepon kantor di ruangannya berdering. Dengan tergesa-gesa Intan meraih gagang telepon di atas mejanya. "Hello selamat pagi, di sini Intan Sasmita, sekretaris dari perusahaan Lingga Mahendra," "Tidak perlu diberitahu! Cepat keruangan saya sekarang!" titah seorang pria, yang tidak lain adalah Lingga. Intan langsung meletakkan kembali gagang telepon ke tempat asalnya. "Huh, ternyata bos gila itu. Sudah bicara lembut, ternyata bukan orang penting yang menelepon," umpat Intan, dengan malas beranjak dari duduknya. Intan berjalan gontai menuju ruangan Lingga. Terlalu malas jika harus bertemu atasan yang selalu s
Dengan sangat terpaksa Lingga hanya bisa menuruti kemauan Agung saja untuk tidak memotong gajinya. Ancaman dari asistennya itu, benar-benar membuat Lingga tak berdaya. "Sana keluar! Kerja yang benar, awas saja kalau ada yang salah!" "Kamu tenang saja Bos, semua kerjaan aman di tangan asisten handal seperti aku," sahut Agung, dengan penuh percaya diri. "Eh, tapi apa Bos yakin, tidak mau melihat sekretaris baru yang sesuai kriteria perusahaan?" tanya Agung, menggoda Lingga. "Keluar atau aku pecat kamu!" Lingga benar-benar dibuat kesal pagi ini. Agung langsung berlari keluar dari ruangan Lingga sambil terus tertawa. Mengerjai atasan itu, benar-benar ada kebahagiaan tersendiri, apalagi atasan yang seperti Lingga. Lingga melemparkan pena ke arah pintu yang baru saja Agung tutup, lalu memutarkan kursinya ke arah belakang. "Aduh!" Intan mengusap keningnya yang sakit. Mendengar suara yang familiar, Lingga langsung memutar kembali kursinya menghadap
Tak jauh berbeda dengan Intan. Lingga hanya bisa berbohong untuk saat ini. Tidak mungkin dirinya menceritakan kejadian saat di kamar mandi, saat dirinya tidak sengaja memegang satu diantara gunung kembar milik Intan karena lampu padam. "Bukannya tidak mencari kamar lain Ma, tapi saat itu memang semua kamar sedang penuh. Mama dan Papa kan tau sendiri kota itu bagaimana? Kota itu tempat wisata, pasti banyak yang datang," jelas Lingga, memberi alasan yang masuk akal. "Banyak alasan kamu Ga. Memangnya di kota itu cuma ada satu hotel saja? Masih banyak hotel lainnya, belum lagi penginapan, tidak mungkin semuanya penuh. Kalau mau memberi alasan, yang masuk akal sedikit. Memangnya kamu pikir, Mama dan papa ini bodoh?" omel sang mama. "Sudahlah Ma, semuanya juga sudah terlanjur. Tapi, kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa kan, Ga? Jangan macam-macam kamu Ga! Reputasi kamu bisa hancur kalau sampai punya skandal dengan sekretaris. Itu juga akan ber
Cukup lama Intan terdiam, gadis bermanik hitam itu akhirnya mendongakkan kepalanya. "Tidak Yah, Intan memang sempat masuk ke kamar pak Lingga waktu itu. Tapi bukan karena tidur satu kamar. Ada berkas yang Intan ambil untuk persiapan meeting," ujar Intan berbohong. Sang ayah menghela nafas lega. "Syukurlah kalau begitu. Kalau sampai kalian tidur satu kamar, Ayah pastikan kalian menikah saat itu juga," sahut ayah Intan. Intan menelan air liurnya kasar. "Ah, Ayah, tidak mungkin Intan satu kamar," "Hem, iya. Besok kamu mulai masuk kerja lagi? Apa kamu betah kerja di sana?" tanya ayahnya. "Betah kok Yah, besok Intan kerja lagi. Memangnya kenapa Yah?" "Baguslah kalau kamu betah. Kalau tidak betah, kamu kerja di perusahaan Ayah saja. Tidak kenapa-kenapa sih, Ayah cuma khawatir saja. Apa kamu tidak mendengar berita di kantor itu, bagaimana Lingga memimpin. Ada banyak karyawan dan sekretaris yang dia pecat, karena ti
Tak terasa, pekerjaan luar kota Lingga dan Intan akhirnya selesai. Setelah kejadian pegang memegang beberapa hari lalu, Intan seolah menjaga jarak, walaupun Lingga beberapa kali meledeknya. "Kamu kenapa sekarang pendiam sekali? Apa kamu masih marah karena kejadian itu?" tanya Lingga, merasa tidak nyaman diabaikan. Intan menggeleng sambil membenahi kopernya. "Saya sudah melupakan kejadian itu. Jadi, saya mohon jangan diungkit lagi! Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa!" Kopernya sudah siap, Intan berdiri memegang kopernya. "Saya sudah siap," ujar Intan, sudah tidak sabar ingin segera pulang. Lingga tidak melanjutkan percakapannya lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, Lingga langsung berjalan menyeret koper besar miliknya keluar dari kamar hotel. Perjalanan pulang kali ini tidak terlalu lama seperti saat mereka datang. Keduanya sudah sampai di bandara, menunggu pesawat yang membawa mereka sebentar lagi berangkat. "Apa kita makan dulu?" tanya Lingga,
Lingga sudah berpakaian, walaupun pakaiannya terlihat acak-acakan. Genggaman tangan Intan di area terlarangnya masih belum bisa Lingga lupakan. Darahnya seakan mendidih mengingat setiap sentuhan itu. Intan yang merasa kesal telah dituduh oleh Lingga, menyusul keluar kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk. "Bapak keterlaluan!" Suara Intan terdengar nyaring, matanya menatap tajam Lingga. "Siapa yang keterlaluan? Jangan asal bicara kamu! Kamu yang bersalah, kenapa kamu yang marah?" Balas Lingga, menatap Intan tak kalah sengit. "Kenapa jadi saya? Sudah jelas-jelas Bapak yang masuk ke kamar mandi. Bapak sengaja melakukan ini? Apa begini cara atasan seperti Bapak memperlakukan bawahannya? Mengambil kesempatan dalam kesempitan?" cecar Intan. Lingga melangkah mendekati Intan. Merasa takut Lingga melakukan hal yang tak senonoh lagi. Intan dengan sigap memundurkan langkahnya. "Mau apa? Jangan macam-macam Pak!" Wajah Intan terlihat menegang. "Siapa yang mau
Intan berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam kamar hotel. Dikerjai oleh sang atasan saat suasana hatinya sedang kacau, membuatnya kesal setengah mati. "Hei, sekretaris magang!" Panggil Lingga, tidak terima dirinya diabaikan. Intan menghentikan langkahnya menoleh ke arah Lingga. Tatapan matanya tajam. "Saya punya nama Pak!" sentak Intan, masih dalam suasana kesal. "Oh iya, saya lupa nama kamu. Kamu kenapa jalannya cepat begitu? Kebelet pipis atau buang air besar?" ledek Lingga, padahal dirinya tau benar kalau Intan sedang dalam kondisi marah karena keusilannya di parkiran restauran tadi. Intan mendengus kesal. "Memangnya kalau jalan cepat harus itu alasannya?" ketus Intan, memilih masuk daripada harus berdebat. Lingga terkekeh memandang punggung Intan yang semakin menjauh. Setelah bertemu dengan Intan, sifatnya yang dulu dingin dan terkesan cuek pada wanita, kini berangsur hilang. "Sepertinya aku ada mainan baru. Kalau begini ceritanya, seharian di
Intan berusaha mengejar langkah Lingga yang lumayan cepat. Entah apa yang sedang ada dipikiran Lingga, hingga dengan mudahnya membatalkan kerjasama, hanya karena permasalahan Intan--sang sekretaris magang. "Pak, tunggu sebentar!" Panggil Intan, nafasnya sudah mulai tersengal. Lingga terus berjalan, walaupun tidak berhenti. Tapi, Lingga memilih memperlambat langkahnya sampai Intan bisa menyusul. "Ada apa?" tanya Lingga. "Bapak yakin mau membatalkan kerjasamanya? Bukannya tadi Bapak bilang ini penting?" tanya Intan, kali ini langkahnya sudah sejajar. "Tidak perlu membahas masalah itu lagi. Saya sudah membatalkannya, dan tidak mau membahasnya," "Tapi, kenapa Pak? Apa semua ini gara-gara kejadian kemarin? Apa semua ini karena saya, Pak?" Intan merasa bersalah, sebab karena dirinya, Lingga harus membatalkan kerja sama penting. Seketika Lingga menghentikan langkahnya. "Jangan terlalu percaya diri jadi orang! Saya membatalkan kerjasama ini, b