Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Wajah Diva berubah sendu. Apalagi saat ditatapnya wajah Rakha yang terlihat masam. Laki-laki itu tak terlihat bahagia saat bertemu dengannya. Rakha malah terlihat muak.Diva mengembuskan napas berat, seolah setiap pijakan adalah hukuman yang tak terhindarkan. Diva merasa aliran udara di kafe itu terasa seperti racun. Napasnya terasa semakin pendek dan dadanya terasa sesak."Aku nggak punya banyak waktu. Cepat katakan apa maumu," ucap Rakha dingin, suaranya datar, namun tajam.Senyum samar yang coba ditunjukkan Diva memudar sedikit, tapi ia tetap berusaha tenang meki batinyya bergemuruh."Kamu selalu buru-buru. Apa kita nggak bisa duduk santai sebentar? Aku mau bicara sesuatu yang penting.""Aku bilang cepat," potong Rakha tegas, membuat Diva tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali, tapi ia menelan semua protes yang hampir keluar dari mulutnya."Aku... aku butuh tempat yang lebih tenang. Ini penting banget, Rakha."Rakha mendesah panjang. Kesabarannya hampir habis. "Di sini cukup t
Diva masih terduduk di lantai di depan pintu apartemen Rakha. Tangisnya tak kunjung reda, namun ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Napasnya terengah-engah saat ia bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Dengan langkah terseok, ia menuju lift di ujung lorong. Air matanya mengalir deras, meskipun ia mencoba menyekanya.Tiba di depan lift, Diva memencet tombolnya dan menunggu. Suasana sunyi lorong hanya dihiasi suara isakannya yang tertahan. Pintu lift terbuka perlahan, dan saat itu juga dunia Diva serasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu.Di dalam lift, berdiri seorang wanita dengan gaun elegan berwarna merah tua. Wajahnya cantik, bersih, dan bercahaya seperti biasanya. Evanna, adik tirinya.Diva menelan ludah, tubuhnya seketika tegang. Ia buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, meskipun jejak tangis masih jelas terlihat di wajahnya. Evanna memandangnya, awalnya dengan kebingungan, tapi kemudian matanya menyipit, seolah ia ingin tahu apa yang sedang terjadi."Diva?" p
Pagi itu, Diva melangkah memasuki gedung kantor Khandra. Sekarang atau tidak sama sekali. Diva tak mau hanya meratapi nasib dan merasa kalah telak dari Evanna.Gaun hitam di atas lutut yang ia kenakan tampak rapi, meski raut wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang entah mengapa kini semakin merayapi hatinya.Memasuki lobi kantor, ia melihat para pegawai yang berlalu-lalang. Tak ada yang meliriknya. Mereka hanya berlalu dan memasuki pintu lift yang akan membawa mereka ke ruangan yang dituju.Diva melangkah menuju meja front office untuk menyampaikan maksud tujuannya. Dan berbekal hubungan keluarga yang ditegaskannya berulang kali, akhirnya Diva dapat sampai di depan pintu ruangan Khandra. Sekretaris yang seusia dengannya mempersilakan ia masuk setelah memperoleh persetujaun Khandra.Diva menyiapkan senyum paling manis yang selalu dapat memikat kaum Adam. Dilihatnya, Khandra yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya mendongak dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka d
Khandra pulang kantor menjelang malam. Mood-nya sangat buruk hari itu. Lebih-lebih dengan kekacauan yang terjadi akibat ulah Rakha, adik tiri sialannya itu.Khandra melihat Evanna tengah duduk di ruang santai lantai dua. Khnadra mengempaskan tubuh penatnya di sofa dengan wajah gelap. Membuat Evanna yang tengah menonton acara televisi berjengit kaget.."Ada apa?" tanya Evanna, menyadari ekspresi suaminya yang jelas-jelas sedang kesal.Khandra menghela napas panjang, meraih cangkir teh Evanna yang masih mengepulkan uap dan menyeruput isinya."Kakak tirimu, Diva, datang ke kantorku tadi pagi."Evanna tertegun, ia menatap wajah Khandra lekat-lekat, "Oh? Untuk apa dia ke sana?"Khandra menatap istrinya seolah mencari informasi yang Evanna ketahui tentang Diva. Nada suaranya tegas saat menjawab pertanyaan Evanna."Dia datang dengan membawa masalah pribadinya. Tentang Rakha. Dia pikir aku bisa menyelesaikan kekacauan yang mereka buat."Evanna mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi it
Evanna menatap bayangan dirinya dalam cermin. Ia tersenyum, tapi bukan senyum bahagia yang terpancar. Bibirnya membentuk lengkungan ke atas tapi sorot matanya yang sayu membuat senyumannya itu terlihat menyedihkan.“Cantik sekali!” puji make up artist yang merias Evanna sore itu.Memang benar ia terlihat cantik. Siapa saja juga tahu kalau Ganda Rasena memiliki dua putri cantik. Sayangnya yang satu diperlakukan seperti putri kesayangan, sedangkan yang lainnya hanya serupa bayangan yang tak terlihat.Evanna mengenakan gaun pengantin sutra yang indah dengan garis pinggang yang pas memeluk pinggang hingga pinggulnya. Lehernya melebar dengan lipitan yang saling menumpang. Gaunnya melebar secara lembut hingga ke bawah dengan ekor menjuntai di bagian belakang. Detail renda halus menghiasi bagian bahu dan punggungnya.Sekuat hati Evanna menahan air mata yang sedari tadi menumpuk di kelopak matanya dan berlomba hendak jatuh di sepanjang pipinya yang tirus.Ketika periasnya memakaikan kerudung,
Evanna terperangah mendengarnya. Tunggu dulu, apa ia tidak salah dengar? Benarkah laki-laki yang berdiri angkuh di sampingnya ini yang akan menjadi suaminya? Kalau begitu calon suami Evanna bukan laki-laki tua itu?“Tu..tunggu dulu! Jadi, bukan Fandy yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni terbata-bata.Diva yang berdiri di belakang ibunya, malah tampak lebih syok lagi.Bagaimana tidak, sudah sejak bulan lalu ia mengejek Evanna tentang calon suaminya yang tua bangka. Ia kerap kali menghina Evanna dan paling suka melihat adik tirinya itu terpuruk.Namun, sekarang yang berdiri di samping Evanna bukan laki-laki setengah baya dengan rambut beruban dan kaca mata tebal. Yang berdiri di samping Evanna adalah laki-laki tampan dengan badan tegap dan tinggi menjulang. Matanya yang tajam dibingkai alis lebat. Wajahnya seperti pahatan patung dewa Yunani dengan dagu terbelah.“Mama,” bisik Diva pelan di telinga ibunya,”ini benar calon suami Evanna. Apa enggak salah?” lanjutnya.Mata Diva mena
Khandra pulang kantor menjelang malam. Mood-nya sangat buruk hari itu. Lebih-lebih dengan kekacauan yang terjadi akibat ulah Rakha, adik tiri sialannya itu.Khandra melihat Evanna tengah duduk di ruang santai lantai dua. Khnadra mengempaskan tubuh penatnya di sofa dengan wajah gelap. Membuat Evanna yang tengah menonton acara televisi berjengit kaget.."Ada apa?" tanya Evanna, menyadari ekspresi suaminya yang jelas-jelas sedang kesal.Khandra menghela napas panjang, meraih cangkir teh Evanna yang masih mengepulkan uap dan menyeruput isinya."Kakak tirimu, Diva, datang ke kantorku tadi pagi."Evanna tertegun, ia menatap wajah Khandra lekat-lekat, "Oh? Untuk apa dia ke sana?"Khandra menatap istrinya seolah mencari informasi yang Evanna ketahui tentang Diva. Nada suaranya tegas saat menjawab pertanyaan Evanna."Dia datang dengan membawa masalah pribadinya. Tentang Rakha. Dia pikir aku bisa menyelesaikan kekacauan yang mereka buat."Evanna mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi it
Pagi itu, Diva melangkah memasuki gedung kantor Khandra. Sekarang atau tidak sama sekali. Diva tak mau hanya meratapi nasib dan merasa kalah telak dari Evanna.Gaun hitam di atas lutut yang ia kenakan tampak rapi, meski raut wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang entah mengapa kini semakin merayapi hatinya.Memasuki lobi kantor, ia melihat para pegawai yang berlalu-lalang. Tak ada yang meliriknya. Mereka hanya berlalu dan memasuki pintu lift yang akan membawa mereka ke ruangan yang dituju.Diva melangkah menuju meja front office untuk menyampaikan maksud tujuannya. Dan berbekal hubungan keluarga yang ditegaskannya berulang kali, akhirnya Diva dapat sampai di depan pintu ruangan Khandra. Sekretaris yang seusia dengannya mempersilakan ia masuk setelah memperoleh persetujaun Khandra.Diva menyiapkan senyum paling manis yang selalu dapat memikat kaum Adam. Dilihatnya, Khandra yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya mendongak dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka d
Diva masih terduduk di lantai di depan pintu apartemen Rakha. Tangisnya tak kunjung reda, namun ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Napasnya terengah-engah saat ia bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Dengan langkah terseok, ia menuju lift di ujung lorong. Air matanya mengalir deras, meskipun ia mencoba menyekanya.Tiba di depan lift, Diva memencet tombolnya dan menunggu. Suasana sunyi lorong hanya dihiasi suara isakannya yang tertahan. Pintu lift terbuka perlahan, dan saat itu juga dunia Diva serasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu.Di dalam lift, berdiri seorang wanita dengan gaun elegan berwarna merah tua. Wajahnya cantik, bersih, dan bercahaya seperti biasanya. Evanna, adik tirinya.Diva menelan ludah, tubuhnya seketika tegang. Ia buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, meskipun jejak tangis masih jelas terlihat di wajahnya. Evanna memandangnya, awalnya dengan kebingungan, tapi kemudian matanya menyipit, seolah ia ingin tahu apa yang sedang terjadi."Diva?" p
Wajah Diva berubah sendu. Apalagi saat ditatapnya wajah Rakha yang terlihat masam. Laki-laki itu tak terlihat bahagia saat bertemu dengannya. Rakha malah terlihat muak.Diva mengembuskan napas berat, seolah setiap pijakan adalah hukuman yang tak terhindarkan. Diva merasa aliran udara di kafe itu terasa seperti racun. Napasnya terasa semakin pendek dan dadanya terasa sesak."Aku nggak punya banyak waktu. Cepat katakan apa maumu," ucap Rakha dingin, suaranya datar, namun tajam.Senyum samar yang coba ditunjukkan Diva memudar sedikit, tapi ia tetap berusaha tenang meki batinyya bergemuruh."Kamu selalu buru-buru. Apa kita nggak bisa duduk santai sebentar? Aku mau bicara sesuatu yang penting.""Aku bilang cepat," potong Rakha tegas, membuat Diva tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali, tapi ia menelan semua protes yang hampir keluar dari mulutnya."Aku... aku butuh tempat yang lebih tenang. Ini penting banget, Rakha."Rakha mendesah panjang. Kesabarannya hampir habis. "Di sini cukup t
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re