Dari arah luar, Karin menatap tempat acara dengan hati penuh sesak, dulu dia bermimpi akan berada di sana sebagai pendamping Aji, namun kenyataannya dia datang sebagai tamu undangan, dari lelaki yang pernah menjanjikan indah ikatan pernikahan, meski tanpa kata cinta yang terucapkan. Aji memintanya menunggu, tapi kepastian hubungan hanya jadi harapan semu. Karin mengeratkan genggamannya pada tangan Roni, meminta kekuatan untuk bisa mengucapkan selamat, meski hati tercabik kuat. Semampu yang dia bisa, Karin melupakan masa lalu, membuka hubungan baru dengan Roni yang sudah mengikrar namanya di depan penghulu. "Kita masuk?" tanya Roni setelah mengisi buku tamu. Karin menoleh, lalu tersenyum mencoba tegar. "Kita masuk." "Kamu istriku. Ingat itu," bisik Roni menguatkan. "Ya. Aku istrimu, dan aku mencintaimu," balas Karin yakin. "Bagus. Angkat kepala, dan lihat dia sebagai sahabat kita saja. Setuju?" "Yuk!" Karin melangkah mengikuti langkah suaminya. Aji yang tanpa sengaja melihat,
Rara memilih mengangguk saja, lagi pula dia belum menjawab rasa Lee untuknya, biarlah hanya dia saja yang tahu tentang Lee saat ini. "Jangan dipaksa dan memaksa. Bapak hanya ingin kamu jaga diri, carilah pengalaman, tapi tetap pegang teguh apa yang sudah kami--orang tuamu ajarkan. Ingat, Nak," pesan Soleh dan langsung diangguki Rara. "Pasti, Pak. InsyaAllah Rara akan selalu mengingat pesan Bapak dan ibu, juga menjalankannya. Doakan Rara ya, Pak." Rara memeluk Soleh, Arya hanya menyimak dengan sesekali menatap wajah Aisha, yang seakan tengah menatapnya juga, satu saat nanti dia pun akan berlaku sama pada anak gadisnya saat dia dewasa kelak. Ah, rasanya Arya tak ingin waktu cepat berlalu, agar dia bisa menikmati masa-masa seperti ini lebih lama. "Iya, Ra. Pasti Bapak akan selalu mendoakan kamu. Semua anak-anak Bapak selalu Bapak doakan, semoga kalian semua bahagia, dan sukses." Soleh mengusap punggung Rara. Lee dengan ragu mendekat melihat Rara memeluk bapaknya, meski tak urung lang
Rara menatap jalanan yang kini dilewatinya, jalan yang akan mengantarnya kembali menapaki hari, di tempat yang sudah hampir sebulan menjadi tempatnya tinggal, juga mencari pengalaman. Pengalaman yang membuatnya bertemu dengan laki-laki yang dengan tenang melajukan roda empatnya, memburu waktu agar bisa dengan cepat sampai tujuan. Laki-laki yang sudah mengatakan, kalau dia mempunyai satu rasa cinta untuknya, satu harapan agar dia sudi membuka hati, juga memberi kesempatan untuk memilikinya. Laki-laki pertama yang dengan lantang menyatakan pada orang tua, juga pada keluarga kalau dia ingin menjaganya. Laki-laki ... yang bahkan mengaku tak percaya akan Tuhan. Tugu penanda batas desa sudah terlewati, namun belum ada pembicaraan di antara mereka, Lee juga seakan kehabisan bahan bicara, setelah tadi dengan yakin mengatakan akan menjaga Rara. Hingga akhirnya suara dering ponsel Rara mengalihkan perhatian gadis itu, merogoh saku untuk melihat siapa yang menghubungi. Seruni, nama itu yang t
Rara langsung membuang pandangan, tak ingin pesona Lee semakin membutakan nurani, hingga lupa pada prinsipnya yang tidak ingin merasakan romansa pacaran, seperti anak muda pada umumnya. Dia tidak tahu, kalau Lee telah lebih dulu tak bisa menutup keterpukauan atasnya. Telah tercuri hati, terampas ketenangan oleh pesonanya, hingga berlaku tak biasa seperti sifat aslinya. Jadi penguntit, pengintai, bahkan dengan rela berjam-jam hanya memantau CCTV lewat laptop, hanya untuk melihat apa saja yang gadis cantik itu lakukan. "Yuk!" ajak Lee lagi saat Rara hanya diam. "Tapi ...?" "Kenapa? Masih sore ini, baru juga jam setengah tujuh." Lee menunjukkan pada jam digital di dashboard. "Ah, kamu belum sholat, ya? Maaf, aku lupa. Kita cari masjid dulu kalau begitu." Lee dengan cepat menghidupkan kembali mesin mobilnya. "Oppa!" refleks tangan Rara menyentuh lengan Lee, hingga si pemilik tangan membeku merasakan tangan itu. Ada aliran listrik di sana, padahal tentu saja itu bukan sentuhan pertama
Rara menghela napas pasrah, dia pun membuka aplikasi itu, melihat ada satu permintaan baru di antara beberapa permintaanku pertemanan yang dia abaikan. Lee Seung Hoo. Begitu namanya, nama seseorang yang kini duduk berhadapan dengannya. Bersamanya. Seraut wajah tampan nan misterius menjadi photo profil-nya. Rara mencoba untuk tidak mengagumi wajah itu, mengabaikan apa yang hatinya teriakan, melihat rupa memesona lelaki itu. "Sudah."Lee tersenyum senang. "Terima kasih, Sayang," ujarnya, lalu dengan iseng dia memphoto tangan Rara yang ada di atas meja, mengunggahnya di akun efbe-nya dengan tulisan yang menyertainya. SEHARIAN INI DENGANMU. BERSAMAMU, KUTEMUKAN BAHAGIA. Tulisnya yang langsung mendapat banyak ragam tanggapan juga komentar dari para penggemar, juga teman, dan keluarganya. Mereka pun menyerbu akun Rara, untuk mengetahui siapa sosok misterius yang menjadi orang yang beruntung, bisa bersama Lee saat ini dan juga seharian tadi, seperti apa yang Lee tuliskan dengan menyertaka
"Uh, perut Rara kenyang sekali," ucap Rara mengusap perutnya, Lee yang sedang menyetir hanya terkekeh mendengar keluhan gadis tercintanya. "Malah ketawa! Padahal itu jatah Oppa tadi, tapi Rara yang harus habiskan. Harusnya kalau nggak suka, jangan dipesan," gerutu Rara, padahal saat menikmatinya tadi, dia juga kalap karena memang semua makanan di rumah makan itu enak-enak. "Kok nyalahin aku?" tolak Lee atas pernyataan Rara. "Ya emang salah Oppa, kalau tadi nggak pesan kan jadi Rara nggak harus abisin. Meski enak sih, hihihi." Rara tertawa. Dia sudah merasa sangat nyaman dengan Lee sekarang, terbukti dia mulai menunjukan sisi lain dirinya yang ceria, ciri khasnya. "Ya sudah, bagus kan?" "Tapi kekenyangan," keluh Rara manja. Sungguh Lee jadi gemas mendengar suara rajukan Rara, ingin rasanya dia mengusap kepala Rara, namun Lee tahu Rara pasti tidak akan menyukainya. "Nggak apa-apa. Sesekali." "Tapi itu ayam bakar sama ikan bakarnya gimana? Belum lagi makanan dari bekal ibu." "Buat
Begitu mobil Lee berlalu, pintu kamar sebelah kamar kost Robi terbuka, Dani si pemilik kamar keluar dengan seringai menggoda kembaran teman kerjanya. "Hayo, loh! Siapa tuh? Oppa? Orang Korea?" tanya Dani menekan rasa kecewa, karena ternyata Rara memiliki seseorang yang istimewa lebih dari yang dia kira. Sejak mobil Lee berhenti di depan pagar, dia mengintip dari balik gorden untuk melihat siapa yang datang, dan dia harus kecewa saat melihat Rara datang diantar seorang lelaki asing, yang begitu terlihat memuja kakak kembar temannya itu. "Ih, Dani ... kamu ngintip, ya?" ujar Rara menutupi rasa kaget juga malu, karena ternyata ada orang lain yang melihatnya bersama Lee. "Sedikit," kekeh Dani menggaruk kepalanya. "Robi mana? Dia nggak bareng kamu?" "Robi pulang besok, Dani. Dia cuti kan hari ini? Kamu kok tumben jam segini udah bangun? Biasanya mepet pas mau jam kerja baru melek," ujar Rara yang sudah mengetahui kebiasaan Dani dari cerita Robi. "Duh, ada yang perhatian sama aku terny
Sedang yang jadi bahan perbincangan ketiga temannya, kini sedang mencoba kembali menghubungi Rara, tadi Lee menyempatkan diri untuk mandi, setelah membersihkan diri dia harap Rara sudah bisa dihubungi. Iseng Lee menghubungi Rara menggunakan panggilan video, membuat Rara yang sedang berbaring nyaman melepas penat sisa acara tadi siang, mengalihkan perhatian pada ponselnya. Satu nama yang membuat Rara merasa tersanjung tampil di layar. Tadi Lee memaksa menyimpan sendiri nomornya di ponsel Rara, nama Kekasihku Lee sematkan untuk menyimpan namanya di ponsel Rara. Meski sempat protes Rara akhirnya hanya pasrah saja, karena Lee juga menunjukan ponselnya yang menyimpan nama Rara dengan hal yang sama. Kekasihku. Rara tersenyum sendiri, bahkan perutnya rasa digelitik, hingga ingin terus melebarkan bibir untuk satu rasa bahagia yang kini tengah dia rasa. Rara sadar dia telah terpanah cupid atas nama Lee, Dewa Cinta itu benar-benar tidak melihat siapa yang akan jadi target keisengannya, hanya
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"