"Maaf, siapa yang kamu panggil? Di sini tidak ada yang bernama Arsen. Lagi pula, untuk apa Anda berlama-lama di sini? Apa tidak takut, kulit Anda akan menghitam karena tersengat matahari?" sindir Arya mengingat apa yang pernah Metha katakan dulu. "Arsen--ah, maksudku, Arya …. ada yang ingin aku bicarakan denganmu.""Apa? Aku rasa tidak ada yang harus kita bicarakan, Ibu Santoso. Bahkan kita tidak saling mengenal. Apa yang akan dibicarakan?" ujar Arya menatap tajam, dia mulai risih atas tatapan beberapa orang yang menyadari ada perdebatan antara dirinya dan Metha, dia juga mulai khawatir kalau di sawah itu ada bapak mertuanya, karena Soleh diberikan kebebasan di mana saja bekerja yang diinginkan lelaki itu. Arya berharap, mertuanya tidak ada di antara salah satu pekerjanya saat ini. Arya mengedarkan pandangan, mencari sosok yang sudah sangat dikenalnya dari tempatnya berdiri. Dia sedikit merasa lega, sejauh matanya memandang, tidak ada Soleh terlihat di sana. Hanya Ade yang dia lihat
"Arsen!""Den Arya!"Semua orang kaget melihat Arya yang terkapar di tengah jalan, suasana menjadi panik, para pekerja Arya serentak mendekat naik ke jalan, mengamankan kendaraan lain agar tidak menabrak dua orang yang terluka di sana."Arsen!" Metha terus menjerit, berlari menuju Arya namun ditahan oleh Ade."Jangan mendekat! Anda lah penyebab semua ini! Mang, pegangin wanita ini!" perintah Ade pada pekerja lainnya yang langsung memegang tangan Metha yang berusaha memberontak.Ade dibantu yang lain, juga beberapa pengguna jalan yang berhenti, membopong tubuh Arya juga pengendara motor yang terlibat tabrakan dengannya.Tempat kejadian diamankan, motor sudah berada di tepi jalan. Ade memeriksa tubuh majikannya yang tak sadarkan diri, begitu juga dengan korban yang satunya lagi, mendapat perhatian dari orang-orang yang datang mengerubungi."Bawa ke Puskesmas segera! Coba hentikan mobil untuk membawa mereka berdua!" titah Ade pada siapa saja yang mendengarkan perintahnya. Dia menepuk pel
Tak ingin membuang waktu karena memikirkan bagaimana kecelakaan itu terjadi, Soleh kembali berbalik masuk ke rumah Seruni, untuk minta diantar Robi pergi ke Puskesmas. "Pak, makanannya sudah siap," tawar Rara begitu melihat bapaknya mendekat. "Nanti saja, Ra. Bapak ada perlu sebentar. Robi, antar Bapak dulu!" ajaknya pada anak lelaki tunggalnya. "Kemana, Pak?" tanya Robi sambil berdiri. "Ikut saja," ujar Soleh membuat Seruni, dan yang lain merasa heran. Apalagi melihat kepanikan di wajah Soleh. "Ada apa, Pak? Siapa yang barusan datang?" tanya Seruni yang merasa ada sesuatu disembunyikan bapaknya. Begitu juga dengan Lastri, dia tahu ada hal yang tidak ingin orang lain tahu dengan melihat sikap suaminya itu. "Mang Ali. Ayo, Bi, cepat!" "Kenapa sih, Pak?" Seruni makin penasaran, saat Soleh menyebut nama orang yang bekerja di sawah milik suaminya. "Nanti saja Bapak kasih tahu, sekarang pergi dulu. Hayu atuh, Robi! Buruan!" ajak Soleh sedikit kesal melihat Robi yang sedikit lambat.
Aji jelas tidak percaya mendengar apa yang Ade katakan. Apalagi mengenai nama seorang perempuan yang turut menjadi sebab kecelakaan Arya terjadi. Metha, siapa dia? Setahunya, Arya tidak pernah dekat dengan perempuan dulu, selain gadis yang coba dijodohkan dengannya oleh ibu mereka. "Mamang yakin aa bilang begitu?" tanya Aji sangsi saat Ade mengatakan Arya mengusir Metha, dan mengatakan kalau dia mencintai Seruni. "Iya, Den.""Mamang tahu siapa dia?" "Dia ... pemilik klinik bersalin tempat teh Runi melahirkan kemarin." Aji semakin pusing. Benarkan Arya membawa Seruni melahirkan di klinik milik orang masa lalunya? "Sudah. Kita bahas soal itu nanti. Sekarang ini, yang perlu kita pikirkan adalah kondisi kakakmu," potong Tirta tidak ingin membahas itu lebih dalam sekarang. Bukan saat yang tepat. Aji dan Ade mengangguk. "Keadaan korban yang satunya gimana, Yah?" tanya Aji mengenai orang yang tabrakan dengan Arya. "Dia baik-baik saja, hanya luka ringan. Kepalanya sempat kebentur aspa
Soleh menjauh dari dekat brankar, memberi ruang pada Sukma untuk mendekat. Robi dan Aji beranjak keluar kamar agar tidak terlalu sesak di sana. "Arya baik-baik saja, Bu." "Ibu khawatir sekali, Aa." "Arya baik. Ibu tenang saja."Sukma memindai seluruh badan Arya, dia baru bisa bernapas lega, setelah semuanya terlihat memang seperti yang Arya katakan. "Itu benjol," tunjuknya pada kening Arya, mengusap perlahan pipinya yang lebam, juga tangan Arya yang baret. "Arya baik-baik saja, Bu." "Iya, syukurlah. Ibu senang mendengarnya." "Bagaimana ceritanya, A?" "Bu ... sudah, nanti saja dibahasnya. Kasihan si aa masih sakit," ujar Tirta yang tidak ingin membahas kronologis kejadian yang menimpa Arya sekarang. "Iya, tapi Ibu penasaran aja, A. Tadi mang Engkos juga Ibu tanya jawabnya nggak jelas gitu.""Nanti Arya jelaskan ya, Bu. Biar semua orang mendengar penjelasan dari Arya dan tidak memperpanjang kesalahpahaman," ujar Arya membuat Sukma mengernyitkan keningnya. "Maksudnya, A?" "Nan
"Bawa kemana, Pak?" tanya yang mengangkat tandu Arya. "Kamar ini, Pak, sudah disiapkan." Lastri menunjuk kamar tamu, tak lama Sukma masuk dan langsung ke kamar Seruni saat mendengar suara tangisan kedua cucunya. "Bu, Aa kenapa?" tanya Seruni saat melihat Sukma masuk. "Arya baik-baik saja, Runi. Sini, Aisha sama, Nenek. Kok, malah pada nangis gini," ujar Sukma menutupi perasan iba pada Seruni yang sudah bersimbah air mata, meski belum melihat kondisi Arya. "Runi mau lihat aa, Bu." kata Seruni setelah Aisha berpindah gendongan pada neneknya. "Sebentar, Ibu panggil Rara dulu. Aruna di mana?" tanya Sukma menanyakan keberadaan Aruna. "Sama Zahra. Mungkin main di halaman belakang." Seruni perlahan bangun, namun segala pemikiran tentang Arya membuatnya seakan tidak bertenaga. Tubuhnya lemas seakan tidak bertulang saja. "Rara! Sini, Ra!" panggil Sukma. Tak menunggu lama, Rara pun datang dengan wajah dibuat sebiasa mungkin, tadi baik Soleh maupun Lastri sudah memintanya tak menunjukkan
Arya tersenyum haru mendengar pengakuan cinta Seruni, selalu saja begitu perasaan yang dia rasakan, setiap Seruni mengatakan kalau Seruni mencintai dirinya. Tertolak dua kali oleh dua orang wanita, membuat Arya sempat tidak percaya diri dengan pesona yang dimilikinya. Mematikan segala mimpi indah tentang cinta, setelah kegagalan perjodohan yang dilakukan Sukma, hasrat Arya kembali hadir saat melihat Seruni remaja dalam balutan seragam baju sekolah menengah pertama. Dia sempat menolak rasa itu, terus mengingatkan dirinya kalau gadis belia itu lebih cocok jadi anak asuhnya saja. Tapi apa yang hatinya mau, tak bisa ditahan lagi. Segala cara dilakukan agar bisa mendapatkan seseorang yang kini ada di dekatnya, seseorang yang sudah memberikan tiga buah hati dengan rasa cinta yang sama besar sepertinya. "Terima kasih untuk cintamu, dan aku sangat mencintaimu, hingga kebodohan yang aku lakukan pun, karena besarnya rasa cintaku padamu. Panggilkan orang tua kita. Aku sudah sangat ingin mengaku
"Memangnya siapa Metha, A?" tanya Tirta saat Arya mulai menyebut nama Metha. Seruni yang duduk di tepi tempat tidur, tangannya yang tergenggam jemari Arya mulai menegang. Ternyata ada yang luput dari pengetahuannya. Matanya menatap penuh selidik pada Arya, yang juga tengah menatapnya dengan tatapan sendu. "Dia ... 'teman' Arya saat kuliah dulu, Yah." Seruni memejamkan mata mendengar pengakuan suaminya. Kata teman yang dipakai Arya, jelas dia paham kemana arahnya, apalagi Arya menjeda kata itu sebelum mengatakan. Teman istimewa seorang Arya Sena Subrata--suaminya, di masa lalu. "Dia ... pemilik klinik bersalin tempat Seruni melahirkan. Arya juga baru mengetahuinya, saat menghubungi kalian waktu masih di Turki." Soleh menghembuskan napas panjang. Dugaannya tepat. "Saat itu Arya juga tidak menyangka sama sekali. Bahkan setelah mengetahui itu, Arya langsung menyetujui keinginan Seruni untuk segera pulang meski awalnya Arya meminta Seruni menginap barang semalam saja, untuk memantau kon
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"