Dug! Kaki Aji terantuk lagi. "Sayang!" pekik Aylin panik saat melihat Aji sedikit limbung. Aji tertawa yang langsung menular pada Aylin, hingga lambaian tangan Aji menghentikan sikap absurd-nya. Aylin menggeleng dengan senyuman yang tak pudar terukir. "Ehem!" suara deheman terdengar di belakang tubuh Aylin, saat berbalik nampak Fatima sedang mengulum senyum menatapnya. "Mama," ujar Aylin malu sambil mendekat. "Tunggu dua hari lagi," goda Fatima. Aylin menggandeng tangan ibunya masuk. "Bagaimana harimu?" tanya Fatima begitu mereka sudah duduk. "Menyenangkan," jawab Aylin dengan berbinar. "Syukurlah. Mama sangat bahagia melihat kamu bahagia Aylin. Keinginanmu dikabulkan, harapanmu tercapai. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu." "Aamiin, semua atas restu dan doa Mama juga." "Mama hanya meminta semua agar keinginan kamu tercapai, Nak. Dan keinginan kamu bersama Seta sudah Allah wujudkan. Jaga cinta kalian, setelah menikah bukan hanya yang indah terlihat, semua kejelekan dia
"Ini ... apa, Wa?" tanya Aji tanpa menyentuh amplop itu. "Ambil dan bukalah. Tadinya mau kasih paket untuk kalian bulan madu, tapi dipikir lagi orang-orang pada ke Turki untuk bulan madu, jadi setelah berembuk dengan uwa-mu, akhirnya kami sepakat memberikan itu sebagai tanda kasih sayang buat kamu, Ji. Buat tambah beli kasur pas udah nikahnya nanti. Bukalah," kata Tirta menggeser amplop itu lebih dekat ke Aji. Dengan ragu, Aji mengambil amplop itu. Lalu dengan perlahan dibukanya sampai terlihat apa yang ada di dalamnya. Aji menoleh pada Denni dan Mukta bergantian, tak percaya dengan apa yang tertulis di sana. "Wa, ini ...?!" "Terimalah, Ji, tanda kasih sayang kami," ujar Mukta sambil tersenyum. "Apa isinya, Ji?" tanya Tirta penasaran. Aji menarik isi amplop itu, hingga selembar kertas yang bertuliskan sejumlah uang terlihat di sana. "Cek, Yah," jawab Aji sambil menunjukan, hingga semua orang bisa melihatnya. "Alhamdulillah, rezeki kamu," ucap Tirta tanpa bertanya berapa nomina
Perhatian ketiganya teralihkan pada suara bel. "Itu pasti uwa dan yang lainnya. Mereka pasti sudah lapar. Kita sarapan dulu, ya?" ajak Aji mengalihkan pembicaraan. "Sebaiknya memang kita makan dulu. Bicarakan ini nanti sama a Denni juga." Tirta mengatakan keputusannya. Dua orang yang menjadi tanggung jawabnya itu mengangguk, meski Sukma malas untuk melakukannya. "Sarapan dulu," kata Denni begitu pintu kamar dibuka. "Iya, Wa, mari." Aji mendahului, melangkah paling depan menuju ke lift. Denni, Mukta, dan Raja bisa merasakan ada yang berbeda dengan ketiga orang yang baru keluar kamar itu, sedang Bara dan Asep memilih hanya diam, meski melihat ada yang tidak beres di sana. Memasuki restoran, mereka memilih meja yang bisa menampung enam orang, dan meminta dua orang pekerja ayahnya makan di meja yang berbeda. "Sep, Kang Bara, maaf makannya di meja lain dulu, ya? Ada yang mau kami bahas," ujar Aji membuat Denni, Mukta, dan Raja saling melempar pandang. "Siap, Den." "Iya, Den." Bar
"Gimana, Ji?" tanya Tirta begitu Aji menyimpan ponselnya di meja. "Alhamdulillah, Aylin sudah bisa menerima andaipun mamanya tidak bisa ikut dengan kami nanti, Yah," jawab Aji dengan wajah terlihat begitu lega. "Alhamdulillah," ucap syukur pun terlafaz dari bibir semua orang, utamanya Sukma, ketakutannya hilang sudah. "Jadi tidak perlu datang ke rumah Aylin sekarang?" Raja menimpali. "Nggak perlu, A. Kan sudah beres," tegas Aji. "Kirain tetep mau ke sana dengan alasan biar yakin, ternyata tidak," ledek Raja. "Emangnya kamu, A, sampai harus ada tragedi jadi langsung terpaksa nikah sama Cahaya," ledek Mukta membuka rahasia yang tidak diketahui yang lainnya.Bagaimana saat itu mereka harus 'terpaksa' menikahkan Raja dan Cahaya, padahal sebelumnya rencana pernikahan itu akan dilangsungkan setelah Cahaya pulang dari Korea. Tapi karena keisengan--lebih tepatnya-- tidak bisanya Raja menahan diri, akhirnya pernikahan itu terjadi setelah bekas bibirnya tercetak di leher Cahaya. Untuk ya
Aji membawa Aylin mendekat pada Sukma untuk meminta restu, pelukan hangat penuh cucuran air mata mengiringi moment itu. "Selamat, Ji. Selamat. Semoga sakinah, mawwadah, warrohmah. Semoga kalian selalu bahagia," ujar Sukma menciumi keduanya. Lalu memeluk Aji erat, seakan tak rela melepaskan si bungsu yang baru saja bisa menemukan cinta sejatinya. "Aamiin, terima kasih, Bu. Terima kasih untuk semua dukungan Ibu. Menerima gadis pilihan Aji dengan tulus," jawab Aji dengan air mata yang menetes. "Bahagialah, kalian. Berbahagialah." Sukma beralih memeluk menantunya. Aylin hanya mengangguk dengan senyuman yang berbalut tangis haru. Dia yakin, Sukma bisa menggantikan Fatima saat dia mengikuti suaminya nanti. "Terima kasih, Ibu," kata Aylin yang hanya mampu mengatakan kalimat itu. Keduanya berpindah pada Tirta, melakukan hal yang sama meminta restu atas dimulainya hidup baru, sebagai pasangan yang baru saja disatukan Tuhan. "Ayah! Doakan Aji bisa menjadi suami yang baik seperti Ayah. Te
Rumah itu kembali sepi, sisa acara sudah dirapikan Selma yang sudah kembali ke rumahnya, dan akan kembali nanti setelah subuh.Fatima juga sudah masuk ke kamarnya, meninggalkan Aylin dan Aji yang mendadak kehilangan kata, saat hanya berdua saja di ruangan yang tadi jadi saksi ijab kabul mereka. "Emm, ke kamar?" ajak Aylin gugup. "Mak-maksudnya ... kita istirahat, besok--" "Iya, Sayang. Kita istirahat. Besok takut terlambat." "Iya. Mari," kata Aylin mendahului Aji melangkah ke kamarnya. Dengan jantung yang bertabuh riuh, Aji mengikuti langkah Aylin. Tangan Aylin mendadak dingin, dengan sedikit bergetar dia menekan pegangan pintu, hingga kamarnya yang sudah dihias terlihat oleh Aji.Ceklek! "Masuklah!" Aylin menoleh sebentar, lalu menunduk saat Aji berdiri begitu dekat dengannya. Belum apa-apa saja Aylin sudah merasakan tubuhnya panas dingin. Apa mereka akan menghabiskan waktu bersama setelah ini?"Sayang?" Tiba-tiba saja suara Aji terdengar menakutkan untuk Aylin. Bahkan dia sa
Sementara itu Aylin tersenyum sendiri, menenangkan debaran jantung yang menggedor kencang tadi. Disentuhnya bibir yang sudah terjamah oleh suaminya tadi. Tak sadar matanya memejam lagi, saat kelembutan itu kembali membayang, ditambah pengakuan Aji, kalau dia adalah seseorang yang beruntung mendapatkan cinta, dan sosok Aji utuh pertama kali. "Seta ... aku sangat mencintaimu. Aku bahagia sekali," gumamnya dengan menepuk pipinya yang terus menghangat, karena aliran darah yang memompa cepat ke wajah. Dia ... malu sendiri. "Aku harus cepat mengganti baju sebelum Seta mengetuk pintu, kasian kalau dia harus menunggu lebih lama di luar. Apalagi kalau mama sampai tahu, bisa habis aku diceramahin nanti. 'Aylin, kenapa Seta ada di luar kamar?' dan aku pastikan tak bisa menjawab apa alasannya. Masa aku bilang malu membuka baju di depan suamiku? Sedang Seta saja tadi bilang, tanpa sehelai bajupun aku sudah halal dilihatnya. Duh, bayangin saja aku dah malu banget!" Aylin menggeleng berulang. Lal
Setelah Aji keluar dari kamar dengan memakai baju semalam, Aylin pun bergegas turun dari tempat tidur, membebat tubuhnya dengan selimut. Mengambil baju dari lemari sembarangan, Aylin segera memakainya lalu merapikan kamarnya dengan sigap. Keluar dari kamar, Aylin melihat melihat Fatima dan Selma sedang membereskan ruangan dari sisa perayaan semalam. "Ma," sapa Aylin mendekat. "Sudah sholat?" tanya Fatima memindai keseluruhan penampilannya Aylin. Matanya menangkap tanda merah di leher anaknya. "Belum, Seta sedang mandi lebih dulu," jawab Aylin sedikit malu. "Oh. Jam berapa akan datang perias?" tanya Fatima mencoba abai dengan apa yang matanya temukan pada Aylin pagi ini, sedang Selma mengulum senyuman, karena seperti Fatima, dia juga melihat tanda itu, sebab Aylin mengikat asal rambutnya. "Jam enam paling telat." "Sayang," panggil Aji dengan rambut basah yang sedang berusaha dikeringkannya dengan handuk, sementara baju semalam kembali membungkus tubuh tegapnya, yang sudah Aylin
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"