Aji mulai mengemas semua barang yang akan dia bawa pulang. Sekian lama di negeri itu, tentunya banyak perlengkapan rumah yang sudah dibelinya agar dia nyaman, dan betah tinggal. Saat memutuskan untuk kembali ke tanah air, tak mungkin dia membawa serta barang-barang tersebut, dan Aylin yang dianggapnya mau memakai barang yang sekiranya dibutuhkan oleh gadis itu, andaikan Aylin tak mau, Aji akan meminta tolong pada Aylin untuk membuang semua yang sudah tidak diperlukan. Selama mengenal Aylin, Aji tahu gadis cantik itu bukan dari keluarga mapan. Ibu Aylin sudah tua, sedang ayahnya sudah meninggal saat Aylin sekolah di tingkat setara SMP. Sejak saat itu, Aylin membantu perekonomian keluarga dengan kerja paruh waktu di beberapa rumah makan. Hingga saat pertemuan tak terduga mereka waktu itu, Aylin masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Aji melihat penunjuk waktu, jam tujuh waktu setempat. Waktu kerja Aylin sudah habis, dari tempat Aylin kerja ke apartemennya membutuhkan waktu sekit
Pagi yang menyapa, di hari terakhir Aji menghirup udara negeri asing itu, terasa hangat. Matahari bersinar cerah. Semalam Aylin sudah membawa sebagian barang Aji dengan menyewa mobil atas bantuan temannya, sedang sisanya akan Aylin bawa setelah Aji pergi nanti. Koper Aji pun sudah siap di ruang tamu, seperti janjinya pada Aylin semalam, dia akan pergi menemui ibu Aylin untuk berpamitan. Tersisa kurang dari dua belas jam waktu Aji berada di sana. Aji ingin sekedar berjalan-jalan dan mengunjungi beberapa tempat untuk terakhir kalinya. Belum langkahnya terarah keluar apartemen, dering ponsel yang disimpannya dalam saku celana terdengar. Dengan sigap Aji segera merogoh benda pipih itu, dia tersenyum saat melihat siapa yang menghubunginya. Tak membuang waktu, Aji segera mengangkat panggilan dari orang yang esok hari akan bisa ditemuinya lagi. "Halo, A. Assalamualaikum," sapanya riang, ada rindu dalam hatinya pada sosok yang sudah membuatnya berani pergi sangat jauh. "Wa'alaikumussalam
"Ayah!" pekikan suara Aruna terdengar begitulah melihat Arya datang, tangannya digenggam Seruni yang tersenyum menyambut kedatangan suaminya. "Arun!" panggil Arya dengan pekikan yang sama dengan putranya. Setelah motor terparkir, Arya bergegas merentangkan tangan agar Aruna segera datang memeluknya. Suara tawa terdengar, saat Aruna sudah ada dalam gendongan Arya yang mengangkat tubuh mungilnya, tertawa renyah dengan kepala mendongak. Menghampiri Seruni yang mematung di ambang pintu, Arya melabuhkan kecupan di kening istrinya. "Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." "Aji akan pulang nanti malam, Sayang. Besok pagi baru sampai ke Indonesia," kata Arya menjelaskan tanpa perlu ditanya, dia ingin Seruni menyiapkan diri untuk pertemuannya dengan Aji. Meski Arya sangat yakin, kalau istrinya itu sudah bisa melupakan semua yang terjadi, di antara keduanya di masa lalu. "Oh, ya? Berhasil juga ibu membuat Aji pulang kali ini." Seruni terkekeh, dia memang sudah melupakan kisah tak sampai a
Aylin tak dapat menahan derasnya air mata yang luruh, sekuat apapun dia menahan kesedihan saat detik perpisahan itu tiba, tetap saja kedua matanya tak bisa berhenti menangis. Terisak dengan dada yang sesak, membuat Aji merasa sangat bersalah pada gadis itu.Ini seperti mengulang kisah enam tahun silam, saat Karin juga menangis saat dia meminta gadis itu menunggu selama dia pergi. Tapi sayang, belum lama dia mencoba mengobati hati, Karin memilih menyerah saat kata cinta tak jua dia ucapkan.Dan kini, gadis yang ada di depannya juga menangis karenanya. Mengapa bukan Seruni yang menangisi kepergiannya dulu?Aji tidak tahu saja, kalau Seruni pun pernah begitu sesak menangisinya di kamar mandi kamarnya. Menangisi kisah mereka yang harus berakhir, karena Arya memilih jalan cepat menikahi gadis itu."Aylin, tolong jangan sepertinya ini. Orang yang melihat akan berpikir aku sudah menyakitimu."'Kamu memang sudah melakukan itu, Seta. Kamu menyakiti hatiku dengan pergi meninggalkanku.' jerit bat
Sementara di rumah Seruni, Rara baru saja sampai di rumah kakaknya. Gadis berusia sembilan belas tahun itu turun dari motornya, bergegas masuk setelah mengucapkan salam. "Assalamua'aikum. Arun, udah siap belum?" Serunya memanggil nama keponakannya. "Wa'alaikumussalam," jawab Seruni keluar dari kamarnya dengan menuntun Arun yang masih memakai baju tidur, "masih pagi, Ra. Tumben jam segini udah datang? Arun juga baru bisa dibujuk buat bangun.""Abis dari pasar tadi, nganter ibu belanja," jawab Rara seraya duduk di kursi ruang TV. "Aa kemana, Teh? Kok, sepi?" Rara menanyakan keberadaan kakak iparnya yang tidak dilihatnya sejak dia datang. Biasanya Arya sedang duduk depan TV sambil menikmati kopi, sebelum pergi ke ladang atau rumah Tirta yang dijadikan tempat kerjanya. Rara setiap hari mengantar-jemput Aruna sekolah, sejak kehamilan Seruni makin besar, dia memilih tetap tinggal di desanya setelah selesai sekolah, berbeda dengan Robi yang bekerja di perusahan tekstil di kota kabupaten
Sukma semakin tersedu, rasa rindu juga bahagia dengan kepulangan Aji, tercurah lewat cucuran air mata. Diciuminya seluruh bagian wajah Aji, lalu kembali memeluk erat seakan takut anaknya akan pergi lagi. Arya yang mengambil alih troli yang ditinggalkan Aji, ikut meneteskan air mata melihat pertemuan ibu dan adiknya. Apalagi karena keegoisan dialah, penyebab utama Aji sampai nekad pergi jauh, dan seakan membuang diri dari keluarga. Tirta mendekat, menepuk punggung Aji yang masih belum dilepas sukma dalam dekapan. "Ji," panggilnya meminta perhatian si bungsu yang larut dalam dekap rindu sang ibu, mengharap akan ada pelukan penuh rindu juga yang akan dia dapat, dari anak ynag dulu begitu manja, namun kini menjelma menjadi lelaki tampan dan begitu gagahnya. Sukma seakan baru tersadar begitu mendengar panggilan suaminya untuk Aji, dia lupa kalau bukan hanya dirinya yang merindukan Aji, ada Tirta dan juga Arya yang menunggu giliran memeluk si anak yang pergi karena merajuk. Melepas pel
Di rumah Roni, Anwar dan Mila--kedua orang tua Roni--kembali membahas rencana mereka yang sudah setengah jalan, sedang Dina yang menjadi alat agar anak sulung mereka mau segera mengakhiri masa lajangnya, hanya mengangguk setuju atas usulan kedua orang tuanya. "Pokoknya kamu harus bisa meyakinkan kakakmu, Din. Kalau perlu, Bagas juga kamu minta bersandiwara. Kita lihat saja, kalau dalam waktu dua minggu ini Roni tidak juga datang membawa seorang gadis, kamu pergi saja ke Bandung buat nemuin kakakmu itu. Pokoknya, pintar-pintar kamu sama Bagas saja." Anwar menatap Dina yang kembali mengangguk. "Tapi soal Bapak mau jodohin Roni sama anak teman Bapak nggak serius kan?" Mila bertanya pada suaminya, mengingat kesungguhan yang ditunjukan Anwar, saat menekan Roni untuk segera mengenalkan gadis sebagai calon istrinya kemarin, terlihat begitu meyakinkan. "Ya enggak dong, Mah. Itu cuma bohongan aja, biar Roni mikir soal masa depannya, nikah. Dia itu sudah umur dua enam tahun, tapi belum sekal
Aji merasa lega begitu tahu hanya Tirta, Sukma, dan Arya saja yang pergi menjemputnya, tadinya dia mengira Seruni dan Aruna juga ikut, tapi memilih diam di mobil menunggu. Sejak dia duduk di kursi penumpang bersama Sukma, ibunya itu tak melepaskan tangannya sama sekali. Belaian dan sesekali kecupan Sukma berikan di pipi Aji, seolah Aji adalah anak kecil. Tirta dan Arya hanya saling pandang seraya mengulum senyum melihat sikap Sukma, mencoba mengerti dengan kerinduan yang membuncah, dan sedang dicurahkan saat Aji ada di hadapan. Tak ada yang menyinggung soal Seruni, semua orang seakan tak ingin membahas hal, yang mungkin saja merusak suasana hangat pertemuan. Pun Aji, dia sengaja seolah abai dengan anggota keluarga Arya yang lain, karena bila dia menanyakan Aruna, pastinya dia juga harus menyebut Seruni nantinya. Dia belum siap. Itu saja. Bukankah saat sampai di rumah nanti, tak ada lagi alasan untuknya tak bertemu dengan istri dari kakaknya itu? "Ibu pikir kamu pulang bawa calon
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"