"Sebagai hukuman, aku ingin kamu menggendongku sampai rumah," pinta Sheila."Jangankan berjalan sambil menggendongmu, merangkak pun akan aku turuti," goda Bara menatap Sheila penuh ketulusan. "Dasar!" balas Sheila, akhirnya sorot mata hangat itu kembali terpancar untuknya.Bara menggendong Sheila di depan agar dia bisa terus memandang paras cantiknya. Di sepanjang perjalanan mereka saling tertawa. Bara terus menghiburnya dengan godaan dan candaan yang membuat Sheila geleng-geleng kepala."Kalian?" Laras sempat terkejut melihat interaksi Bara dan Sheila. "Kami sudah berbaikan Ma," jelas Sheila dengan senyuman. "Syukurlah, Mama ikut senang mendengarnya. Saya mohon pada kamu Bara, jangan menyakiti Sheila lagi. Dia anak kami satu-satunya. Jika Papa tau hal ini dia pasti tidak akan membiarkan Sheila kembali padamu," tuturnya. "Aku benar-benar menyesal, Ma. Aku berjanji tidak akan menyakitinya lagi.""Iya, semoga setelah ini hubungan kalian semakin erat." Laras ikut senang melihat rau
Bara meregangkan lengannya dengan melakukan beberapa gerakan pemanasan. Dia hanya memakai celana boxer tanpa atasan. Menampilkan lengan kekar, perut sixpack dan juga dada bidangnya yang akan membuat setiap wanita menjerit ketika menatapnya.Bara menceburkan diri ke kolam. Berenang dari ujung ke ujung. Binar di wajahnya semakin cerah ketika melihat Sheila datang. Sheila berdiri di pinggir kolam sambil memegang tali handuknya, ragu untuk membuka ikatannya sedangkan Bara kini berenang ke arahnya. "Buka, Shei," pinta Bara.Sheila masih diam seolah sedang mempertimbangkan sesuatu."Apa aku harus keluar untuk membukanya?" tanya Bara tidak sabar, dia hampir keluar dari air.Dia memang Barbar!Handuk kimono berwarna putih itu jatuh ke lantai. Detik itu Bara terpana, rambut Sheila yang dibuat bergelombang itu tergerai panjang di bahunya. Kulit putih Sheila yang sangat pas dengan warna bikini itu benar-benar menghipnotis matanya. 'Warna merah sangat cocok untuknya.'"Kenapa?" tanya Sheila men
"Ah!" Tubuh Sheila bergetar hebat ketika dia mencapai puncak. Pandangannya mengabur saat kenikmatan memenuhi sekujur tubuhnya. Dia ambruk di pelukan Bara sembari mengatur napasnya yang terengah-engah."Kau pasti lelah baby, tapi ku rasa aku belum selesai," ucap Bara tersenyum tipis. Dia mengangkat tubuh Sheila keluar dari bathub. Bara juga menarik handuk putih yang tergantung di dinding kemudian melipatnya asal."Setidaknya dengan ini kepalamu tidak akan terasa sakit," ucapnya membaringkan Sheila di lantai."Kamu selalu mengkhawatirkanku," Sheila berkata pelan. "Aku di sini untuk menjagamu," katanya lalu melumat bibir Sheila kasar dan perlahan berubah menjadi lembut.Pintu masuknya yang basah memudahkan Bara mendorong dan menarik miliknya dengan keras. Tubuhnya bergetar maju mundur. Tangannya terus memijat bukit kembar itu. Bara terus berkonsentrasi pada gerakan pinggangnya. "Ssh! Barbar!Ah! " erang Sheila mencakar-cakar punggung pria itu karena Bara terus mendorongnya tanpa henti
"Kau pikir aku akan menyerahkannya begitu saja?" tantang Bara tertawa sumbang."Dua lawan satu. Kami akan menang," balas preman itu. Mereka pikir Bara adalah anak SMA tapi mereka salah besar!Pukulan demi pukulan berhasil Bara layangkan pada mereka. Keduanya mengerang merasakan tinjuan dan tendangan Bara yang sangat kuat. "Lihat siapa yang lemah!" Bara menarik rambut gondrong pria itu."Bara awas!" jerit Sheila ketika preman satunya dengan kepala botak itu mengeluarkan pisau lipatnya."Argh!" ringis Bara, lengannya tergores. "Menyerah atau dia akan terluka!" ancam preman itu membuat Bara terkejut saat menatap Sheila.Kedua mata Sheila terbelalak, napasnya tercekat, preman itu menghimpit lehernya dengan lengan sambil menodongkan pisau padanya. Matanya melirik ngeri pada benda tajam yang mengkilap tepat di lehernya."Jangan sentuh dia!" geram Bara. Tangannya mengepal ingin sekali meremukkan tangan pria itu yang lancang menyentuh miliknya.Preman itu tersenyum miring"Berikan kuncinya!
Sheila kira saat dia mengatakan ingin pulang. Bara akan langsung menurutinya tapi nyatanya pria itu memberhentikan motornya di warung mie ayam. "Aku tau, kau lapar," ucap Bara menoleh pada Sheila.Sheila menatap Bara tidak percaya. Warung ini adalah warung mie ayam kesukaannya. Bagimana Bara tau? Padahal dia tidak pernah menceritakan tentang tempat ini."Barbar, sebanyak apa kamu tau tentangku?" "Itu mudah bagiku," sahut Bara sambil mengangkat sebelah alisnya."Bang, mi ayam dua porsi ya," pesan Sheila."Aku masih kenyang, Shei," sergah Bara."Memangnya aku memesan untukmu? Dua mangkuk itu porsi makanku," balas Sheila.Mulut Bara menganga, tangannya mencubit pipi Sheila."Dasar perut karet," ejeknya langsung mendapat tatapan garang dari Sheila. Dia lantas duduk di kursi yang berada di meja tengah."Aku sudah lama tidak kemari," gumam Sheila mengedarkan pandangan ke sudut ruangan ini."Loh bukannya Mbak She udah lulus Sma?" tanya Mang Karto, saat menaruh dua mangkuk piring di mejanya
Bryan berdiri tepat di depan gerbang Kantor Rodriguez Corporation dengan tas di tangan kirinya. Langkahnya terpaksa terhenti karena dihadang oleh Satpam yang berjaga."Menyingkirlah! Aku ada urusan dengan Bara!" gertaknya berusaha menerobos masuk."Anda tidak diizinkan masuk!" tegas Satpam itu menahan Bryan."Kalau begitu panggil Bara keluar!""Tidak bisa, Bos kami sedang rapat!" "Omong kosong!" Bryan langsung meninjunya dan berlari masuk, menabrak setiap orang yang menghalangi jalannya. "Hey! Berhenti!"Bryan tersenyum saat pintu lift tertutup. "Akan ku bungkam kesombonganmu!" tekad Bryan dengan deru napas menggebu dan sorot mata kebenciannya.BRAK! Bryan langsung menerobos ruang meeting. Seketika semua tatapan tertuju ke arah pintu. "Beraninya kau menginjakkan kakimu di sini!" gertak Bara."Ambil dan lepaskan Sheila!" Bryan melempar tas berisi uang itu ke lantai."Kau pikir aku orang bodoh yang akan menukar istriku dengan ini?" Bara menendang tas itu hingga kembali ke Bryan."Ak
"Kau memang tidak bisa diandalkan Bryan!" bentak Andres. Ya, pria itu telah banyak memfasilitasi Bryan. Setidaknya bila Andres belum bisa menyaingi perusahaan Bara dia ingin kehidupan asmara pria itu hancur. Andres keluar ruangan sambil membanting pintu kasar. Bryan menunduk, meski wajahnya terasa remuk redam namun, hatinya lah yang sangat terpukul karena gagal mendapatkan Sheila. "Bryan, kamu pasti kesakitan," ucap Kayla pilu datang dengan raut wajah iba. "Jangan terlalu peduli padaku Kay! Mengapa kau selalu ada saat aku seperti ini?!" bentaknya. Kedua mata Bryan memerah, dia malu karena Kayla selalu ada di saat kondisinya terpuruk.Kayla mengerjap pelan, "Karena aku mencintaimu," lirih Kayla, setetes cairan bening turun. Hatinya semakin teriris melihat wajah Bryan yang bengkak dan berdarah-darah. Sudah cukup, Kayla tidak sanggup memendam perasaanya lagi. Bryan geming, tidak tahu harus berkata apa. Dia berlalu dari hadapan Kayla."Apa itu artinya kau menolakku?" Suara Kayla berha
Sesampainya Laras di sana, wanita itu menangis melihat Sheila yang tak sadarkan diri. Putrinya terbaring dengan wajah pucat serta perban yang melilit dahinya. Dia mengelus pipi Sheila pilu. "Sheila, bangun ini Mama.""Semenjak Sheila bersama kamu, dia sering celaka Bara!" gerutu Herman."Ini musibah Pa, aku juga tidak pernah mengharapkan hal ini terjadi," sahut Bara."Yang terpenting sekarang adalah keadaan Sheila. Sudahlah Pa, jangan menyalahkan Bara," kilah Laras."Tolong, biarkan aku berdua bersama Sheila," pinta Bara memohon."Kami sebagai orang tuanya jauh lebih mencemaskan Sheila!" geram Herman. Laras beralih memegang lengan Herman, mengusap pundaknya agar tidak terbawa emosi."Ayo kita keluar. Kita beri waktu Bara dulu, Papa juga tenangin diri Papa." Laras menggandeng tangan Herman.Bara kembali duduk dan menggenggam tangan Sheila. "Buka matamu, aku merindukan senyummu," ucap Bara, sudah hampir 45 menit Sheila tak kunjung sadar.Bara merasakan jemari Sheila bergerak lemah diir
Sesampainya Laras di sana, wanita itu menangis melihat Sheila yang tak sadarkan diri. Putrinya terbaring dengan wajah pucat serta perban yang melilit dahinya. Dia mengelus pipi Sheila pilu. "Sheila, bangun ini Mama.""Semenjak Sheila bersama kamu, dia sering celaka Bara!" gerutu Herman."Ini musibah Pa, aku juga tidak pernah mengharapkan hal ini terjadi," sahut Bara."Yang terpenting sekarang adalah keadaan Sheila. Sudahlah Pa, jangan menyalahkan Bara," kilah Laras."Tolong, biarkan aku berdua bersama Sheila," pinta Bara memohon."Kami sebagai orang tuanya jauh lebih mencemaskan Sheila!" geram Herman. Laras beralih memegang lengan Herman, mengusap pundaknya agar tidak terbawa emosi."Ayo kita keluar. Kita beri waktu Bara dulu, Papa juga tenangin diri Papa." Laras menggandeng tangan Herman.Bara kembali duduk dan menggenggam tangan Sheila. "Buka matamu, aku merindukan senyummu," ucap Bara, sudah hampir 45 menit Sheila tak kunjung sadar.Bara merasakan jemari Sheila bergerak lemah diir
"Kau memang tidak bisa diandalkan Bryan!" bentak Andres. Ya, pria itu telah banyak memfasilitasi Bryan. Setidaknya bila Andres belum bisa menyaingi perusahaan Bara dia ingin kehidupan asmara pria itu hancur. Andres keluar ruangan sambil membanting pintu kasar. Bryan menunduk, meski wajahnya terasa remuk redam namun, hatinya lah yang sangat terpukul karena gagal mendapatkan Sheila. "Bryan, kamu pasti kesakitan," ucap Kayla pilu datang dengan raut wajah iba. "Jangan terlalu peduli padaku Kay! Mengapa kau selalu ada saat aku seperti ini?!" bentaknya. Kedua mata Bryan memerah, dia malu karena Kayla selalu ada di saat kondisinya terpuruk.Kayla mengerjap pelan, "Karena aku mencintaimu," lirih Kayla, setetes cairan bening turun. Hatinya semakin teriris melihat wajah Bryan yang bengkak dan berdarah-darah. Sudah cukup, Kayla tidak sanggup memendam perasaanya lagi. Bryan geming, tidak tahu harus berkata apa. Dia berlalu dari hadapan Kayla."Apa itu artinya kau menolakku?" Suara Kayla berha
Bryan berdiri tepat di depan gerbang Kantor Rodriguez Corporation dengan tas di tangan kirinya. Langkahnya terpaksa terhenti karena dihadang oleh Satpam yang berjaga."Menyingkirlah! Aku ada urusan dengan Bara!" gertaknya berusaha menerobos masuk."Anda tidak diizinkan masuk!" tegas Satpam itu menahan Bryan."Kalau begitu panggil Bara keluar!""Tidak bisa, Bos kami sedang rapat!" "Omong kosong!" Bryan langsung meninjunya dan berlari masuk, menabrak setiap orang yang menghalangi jalannya. "Hey! Berhenti!"Bryan tersenyum saat pintu lift tertutup. "Akan ku bungkam kesombonganmu!" tekad Bryan dengan deru napas menggebu dan sorot mata kebenciannya.BRAK! Bryan langsung menerobos ruang meeting. Seketika semua tatapan tertuju ke arah pintu. "Beraninya kau menginjakkan kakimu di sini!" gertak Bara."Ambil dan lepaskan Sheila!" Bryan melempar tas berisi uang itu ke lantai."Kau pikir aku orang bodoh yang akan menukar istriku dengan ini?" Bara menendang tas itu hingga kembali ke Bryan."Ak
Sheila kira saat dia mengatakan ingin pulang. Bara akan langsung menurutinya tapi nyatanya pria itu memberhentikan motornya di warung mie ayam. "Aku tau, kau lapar," ucap Bara menoleh pada Sheila.Sheila menatap Bara tidak percaya. Warung ini adalah warung mie ayam kesukaannya. Bagimana Bara tau? Padahal dia tidak pernah menceritakan tentang tempat ini."Barbar, sebanyak apa kamu tau tentangku?" "Itu mudah bagiku," sahut Bara sambil mengangkat sebelah alisnya."Bang, mi ayam dua porsi ya," pesan Sheila."Aku masih kenyang, Shei," sergah Bara."Memangnya aku memesan untukmu? Dua mangkuk itu porsi makanku," balas Sheila.Mulut Bara menganga, tangannya mencubit pipi Sheila."Dasar perut karet," ejeknya langsung mendapat tatapan garang dari Sheila. Dia lantas duduk di kursi yang berada di meja tengah."Aku sudah lama tidak kemari," gumam Sheila mengedarkan pandangan ke sudut ruangan ini."Loh bukannya Mbak She udah lulus Sma?" tanya Mang Karto, saat menaruh dua mangkuk piring di mejanya
"Kau pikir aku akan menyerahkannya begitu saja?" tantang Bara tertawa sumbang."Dua lawan satu. Kami akan menang," balas preman itu. Mereka pikir Bara adalah anak SMA tapi mereka salah besar!Pukulan demi pukulan berhasil Bara layangkan pada mereka. Keduanya mengerang merasakan tinjuan dan tendangan Bara yang sangat kuat. "Lihat siapa yang lemah!" Bara menarik rambut gondrong pria itu."Bara awas!" jerit Sheila ketika preman satunya dengan kepala botak itu mengeluarkan pisau lipatnya."Argh!" ringis Bara, lengannya tergores. "Menyerah atau dia akan terluka!" ancam preman itu membuat Bara terkejut saat menatap Sheila.Kedua mata Sheila terbelalak, napasnya tercekat, preman itu menghimpit lehernya dengan lengan sambil menodongkan pisau padanya. Matanya melirik ngeri pada benda tajam yang mengkilap tepat di lehernya."Jangan sentuh dia!" geram Bara. Tangannya mengepal ingin sekali meremukkan tangan pria itu yang lancang menyentuh miliknya.Preman itu tersenyum miring"Berikan kuncinya!
"Ah!" Tubuh Sheila bergetar hebat ketika dia mencapai puncak. Pandangannya mengabur saat kenikmatan memenuhi sekujur tubuhnya. Dia ambruk di pelukan Bara sembari mengatur napasnya yang terengah-engah."Kau pasti lelah baby, tapi ku rasa aku belum selesai," ucap Bara tersenyum tipis. Dia mengangkat tubuh Sheila keluar dari bathub. Bara juga menarik handuk putih yang tergantung di dinding kemudian melipatnya asal."Setidaknya dengan ini kepalamu tidak akan terasa sakit," ucapnya membaringkan Sheila di lantai."Kamu selalu mengkhawatirkanku," Sheila berkata pelan. "Aku di sini untuk menjagamu," katanya lalu melumat bibir Sheila kasar dan perlahan berubah menjadi lembut.Pintu masuknya yang basah memudahkan Bara mendorong dan menarik miliknya dengan keras. Tubuhnya bergetar maju mundur. Tangannya terus memijat bukit kembar itu. Bara terus berkonsentrasi pada gerakan pinggangnya. "Ssh! Barbar!Ah! " erang Sheila mencakar-cakar punggung pria itu karena Bara terus mendorongnya tanpa henti
Bara meregangkan lengannya dengan melakukan beberapa gerakan pemanasan. Dia hanya memakai celana boxer tanpa atasan. Menampilkan lengan kekar, perut sixpack dan juga dada bidangnya yang akan membuat setiap wanita menjerit ketika menatapnya.Bara menceburkan diri ke kolam. Berenang dari ujung ke ujung. Binar di wajahnya semakin cerah ketika melihat Sheila datang. Sheila berdiri di pinggir kolam sambil memegang tali handuknya, ragu untuk membuka ikatannya sedangkan Bara kini berenang ke arahnya. "Buka, Shei," pinta Bara.Sheila masih diam seolah sedang mempertimbangkan sesuatu."Apa aku harus keluar untuk membukanya?" tanya Bara tidak sabar, dia hampir keluar dari air.Dia memang Barbar!Handuk kimono berwarna putih itu jatuh ke lantai. Detik itu Bara terpana, rambut Sheila yang dibuat bergelombang itu tergerai panjang di bahunya. Kulit putih Sheila yang sangat pas dengan warna bikini itu benar-benar menghipnotis matanya. 'Warna merah sangat cocok untuknya.'"Kenapa?" tanya Sheila men
"Sebagai hukuman, aku ingin kamu menggendongku sampai rumah," pinta Sheila."Jangankan berjalan sambil menggendongmu, merangkak pun akan aku turuti," goda Bara menatap Sheila penuh ketulusan. "Dasar!" balas Sheila, akhirnya sorot mata hangat itu kembali terpancar untuknya.Bara menggendong Sheila di depan agar dia bisa terus memandang paras cantiknya. Di sepanjang perjalanan mereka saling tertawa. Bara terus menghiburnya dengan godaan dan candaan yang membuat Sheila geleng-geleng kepala."Kalian?" Laras sempat terkejut melihat interaksi Bara dan Sheila. "Kami sudah berbaikan Ma," jelas Sheila dengan senyuman. "Syukurlah, Mama ikut senang mendengarnya. Saya mohon pada kamu Bara, jangan menyakiti Sheila lagi. Dia anak kami satu-satunya. Jika Papa tau hal ini dia pasti tidak akan membiarkan Sheila kembali padamu," tuturnya. "Aku benar-benar menyesal, Ma. Aku berjanji tidak akan menyakitinya lagi.""Iya, semoga setelah ini hubungan kalian semakin erat." Laras ikut senang melihat rau
"Uangnya sudah saya transfer, pergilah dari sini," titah Bara. Wanita itu terbelalak melihat nominal yang masuk ke dalam rekeningnya. "Terima kasih Tuan. Apakah Tuan yakin tidak ingin saya layani? Saya berjanji tidak akan mengecewakan anda," goda wanita itu menurunkan tali lingerinya. Bara menatapnya tajam, "Saya sama sekali tidak tertarik dengan tubuhmu! Jadi pergilah sebelum saya menyeretmu paksa!" desisnya penuh penekanan. Wanita itu bergegas keluar dari kamar dengan perasaan jengkel. Padahal jika dia bisa menjadikan Bara pelanggan tetapnya dia akan hidup mewah dengan uang pria itu. Sayang sekali, pria keras kepala itu memang semaunya sendiri dan begitu setia pada istri bodohnya. Bara berdiri di balkon kamar dengan kedua tangan memegang erat pembatas. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Dia sudah membalas sakit hatinya pada Sheila. Harusnya dia merasa puas namun nyatanya bukan itu yang Bara rasakan. Melainkan rasa sesak karena takut kehilangan Sheila, hatinya mulai gundah m