Beranda / Romansa / Jerat Casanova Insaf / 3. Si Gadis Rumah Susun

Share

3. Si Gadis Rumah Susun

Penulis: Chida
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-08 19:34:00

"Dis ... udah jam enam, kamu bilang ada kuliah pagi ini." Suara perempuan paruh baya terdengar dari balik pintu kamar Gendis.

Gadis berumur 23 tahun itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Malam tadi dia pulang lebih lama tidak seperti biasanya. Ada audit dari kantor pusat yang mengharuskan dia ikut serta mengecek barang di minimarket tempat dia bekerja.

"Dis ...."

"Iya, Bu ... udah bangun," sahutnya dari dalam.

Meraih ikat rambut yang tergeletak tidak jauh dari sisinya, perlahan dia bangkit membuka pintu kamarnya. Bayu, sang adik yang duduk di kelas dua SMA sudah rapi mengenakan pakaian sekolah. Melintas melewati Bayu, Gendis mengacak rambut sang adik.

"Mbak—"

"Ambil di kantung celana Mbak, 10 ribu aja jangan banyak-banyak," ujar Gendis seakan tahu apa yang akan di minta Bayu.

"Makasih, Mbak," ucap Bayu tersenyum lalu berlari ke kamar Gendis. "Ibu, Bayu berangkat ya," serunya. "Mbak ...."

"Ya, hati-hati," jawab Gendis melingkarkan handuk di lehernya. "Bapak mana, Bu?"

"Biasa, lagi periksa bemo nya," jawab Wati yang sedang mencuci piring.

"Biar nanti Gendis yang beresin, Bu," ujar Gendis sebelum masuk ke kamar mandi.

"Kamu kuliah aja, kalo semua kamuyang beresin terus kerja ibu apa?" Wati pun tetawa samar.

"Ibu kerjanya ya masak, masak yang enak buat aku, Bayu dan Bapak," serunya lagi.

"Sudah cepat, kamu bilang kuliah jam delapan."

"Ck, sepeda onthel Bapak rusak lagi, Bu," ujar lelaki yang masih mengenakan sarung itu duduk di kursi meja makan lalu membuka tudung saji. 

"Sepeda onthel Bapak itu sudah sewajarnya masuk ke museum," kata Wati. "Beli onderdilnya saja harganya mahal, mending di jual, Pak. Lumayan uangnya buat buka usaha di depan gang."

"Jangan di jual, Bu. Sepeda itu yang berjasa sama hidup kita hingga sampai sekarang," ujar Hendro mengunyah nasi goreng sebagai sarapan paginya sebelum menarik bemo.

"Harganya berapa, Pak?" tanya Gendis dengan rambut basah keluar dari kamar mandi.

"Kemarin Bapak tanya 750 ribu, Dis."

"Mahal, Pak ... kalo Bapak mau, harus nunggu Gendis gajian dua bulan lagi," serunya dari kamar. 

"Sudah Dis, biar saja Bapakmu itu, kita makan aja sudah syukur, bayar buku dan ongkos Bayu saja dari kamu, belum lagi kontrakan ini, untung kamu bisa bantu," sergah Wati mencebik pada suaminya.

"Ya sudah, Bapak nabung dulu buat beli onderdilnya."

"Hhmm." Wati melengos meninggalkan suaminya duduk sendiri di meja itu.

"Gendis berangkat ya, Pak." Gendis meraih tangan Hendro, mencium punggung tangan lelaki tua itu. 

"Bareng Bapak aja, Bapak antar sampai Benhil."

Gendis dan keluarganya tinggal di sebuah rumah susun di lingkungan padat penduduk kota Jakarta. Sebelum dia lahir pun, kedua orangtuanya sudah tinggal di Jakarta, aslinya dari Jawa Tengah. 

Kedua orangtuanya merantau ke Jakarta, ibunya dulu seorang pembantu rumah tangga, sedangkan ayah Gendis dari dulu sudah menjadi supir bemo, hingga sekarang dan bisa membeli bemo sendiri.

Memilih tinggal di rumah susun, karena menurut ibu Gendis lebih hemat, selain uang kontrak yang tidak terlalu mahal, saat itu rumah majikannya yang seorang angkatan laut bertempat tinggal tidak jauh dari rusun mereka.

"Besok-besok kalo sepeda Bapak rusak lagi, ngomongnya jangan di depan ibu," pesan Gendis saat turun dari bemo ayahnya. 

"Iya, Bapak nggak bilang lagi di depan ibu," jawab Hendro.

"Bulan depan kalo Gendis dapat uang lembur, Bapak bisa pakai buat beli onderdilnya," ujar putri sulungnua itu sambil tersenyum. "Gendis berangkat, Pak." 

"Hati-hati, Nak," pesan Hendro menatap punggung anaknya hingga Gendis menghilang baru lah dia menjalani kembali bemonya.

Dulu Gendis harus mengalah untuk tidak kuliah karena bertepatan dengan masuknya Bayu ke SMP. Sampai akhirnya, setahun kemudian Gendis mencoba masuk kuliah karena mengikuti program beasiswa di kampus yang dia tuju dan syukurnya nasib baik berpihak padanya.

*****

"Pagi, Neng," sapa Rika yang mendudukkan tubuhnya tepat di samping Gendis.

"Tumben kamu udah dateng," ujar Gendis melirik sedikit ke arah gadis yang setahun lebih muda darinya.

"Kan ada tugas," ujar Rika tersenyum penuh arti pada Gendis.

"Kebiasaan, tapi aku belum ngerjain," kekeh Gendis.

"Wah payah nih, pelit," cebik Rika meletakkan kepalanya di atas meja. "Ayolah, Dis ... semalam aku ketiduran, aku lupa," rengeknya.

"Aku juga semalam ketiduran," kata Gendis tapi tetap saja dia mengeluarkan kertas tugas yang sudah dia kerjakan satu hari sebelumnya. "Tapi aku masih sempat membuatnya, nih." 

Senyum bahagia terpancar dari wajah Rika. "Gitu dong, baru namanya bestie," ujar Rika memberikan ciuman di pipi sahabatnya itu.

"Bisa nggak kamu bergaul yang wajar-wajar aja, Ka."

"Wajar kok," ucap Rika sambil menyalin tugas dengan cepat.

"Berhenti clubing, teman-teman kamu itu nggak baik, kalo ada apa-apa sama kamu apa mereka mau tanggung jawab."

"Gendis manis, Gendis cantik, Gendis yang selalu baik hati, aku udah gede kamu jangan khawatir, ya," ujar Rika lalu mencium pipi Gendis lagi. "Nanti selesai kuliah aku traktir, oke."

"Aku langsung kerja, nggak bisa Ka, lain kali aja," kata Gendis merapikan duduknya saat dosen mereka masuk ke dalam kelas.

"Kerja mulu, sekali-sekali nikmati hidup," bisik Rika yang hanya di jawab dengan senyuman oleh Gendis.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
kak chida aq baru bemu karyamu di sini. wah rute bemonya tenabang karet ato tenabang benhil nih. keknya aq tau rusunnya gendis hihihi
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
yg bakal jadi jodoh sakti wkwkwk
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
semangat nak.. mmh slalu doain wkwkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Jerat Casanova Insaf   4. Demi Keluarga

    "Yakin, Dis?" tanya Rika untuk kesekian kalinya saat Gendis membereskan buku-bukunya."Yakin ... udah santai aja, lain kali kalo aku sedang off kerja, kamu bisa traktir aku," ucap Gendis beranjak dari tempat duduknya."Hhmm ... ya sudah kalo gitu, sayang banget padahal aku pengin ajak kamu jalan-jalan," ujar Rika dengan mimik wajah kecewa. "Emm, sebentar Dis."Rika merogoh kantung celananya, di ambilnya dua lembar uang berwarna merah lalu diberikannya pada Gendis."Ini uang buat ibu, bilang sama ibu besok aku mau main ke rumah, masakin aku masakan yang enak," ujar Rika.Ya, begitulah cara Rika jika ingin memberikan uang pada Gendis agar tidak Gendis tolak. Alih-alih meminta ibu Gendis untuk memasakkannya masakan yang lezat untuk dirinya."Ibu masih ada uang, Ka," tolak Gendis. "Kamu kebiasaan kalo kayak gini." Gendis mengembalikan uang itu pada Rika."Aku yang minta ibu buat masakin, jadi nggak ada alasan kamu tolak," gerutu Rik

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Jerat Casanova Insaf   5. Pandangan Pertama

    Ciuman itu begitu liar, Sakti terlihat terburu-buru membuka pakaian lawan mainnya malam ini. Wanita berbeda lagi yang di temuinya malam ini sewaktu dia berada di club tadi."Slowly," ucap wanita itu lembut.Sakti seakan tidak perduli, dia dengan rakusnya melumat bibir yang sejak tadi tidak pernah diam selama perjalanan mereka.Sakti menghempaskan tubuh indah itu ke atas ranjang, seraya tersenyum miring. Gaun berwarna hitam membalut tubuh itu pun sudah terlepas dari tubuhnya. Sakti melempar kemejanya ke atas sofa, merangkak naik ke atas tubuh teman kencannya malam ini."Siapa nama kamu tadi?" bisik Sakti lalu menyusuri leher jenjang putih mulus itu.Wanita itu mendesah saat Sakti menekan tubuh bagian bawahnya dan menyesap leher wanita itu sedikit kuat."Reina ...," ucapnya lirih seraya mengangkat dagunya memberikan ruang pada Sakti menikmati lehernya."Reina ...." Suara itu begitu lembut, tangan Sakti meremas payudara yang bah

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Jerat Casanova Insaf   6. Manis

    Pagi itu terasa berbeda bagi Sakti, secara sengaja ketika berangkat kerja lagi-lagi dia melewati halte busway tempat pertama kali dia bertemu gadis ber-kulot lilac. Meski gadis itu tidak ada, tetap saja dia perintah agar membawa mobil jangan terlalu cepat. Bahkan setelah melewati halte itu pun Sakti masih memutar kepalanya memastikan gadis itu bisa saja tiba-tiba datang. "Memangnya siapa, Pak?" tanya Supri. "Manis," jawab Sakti sambil tersenyum. "Manis?" Supri melirik kaca spion melihat Sakti di kursi tengah. "Iya, gadis manis di halte busway. Jarang saya liat yang seperti itu. Seperti tadi malam, kamu ingat ... saya bilang kejar gadis yang mengenakan celana kulot itu, saya rasa itu dia." Supri menyadari sepertinya anak majikannya ini sedang jatuh cinta. "Pandangan pertama, Pak." "Kenapa?" "Iya, namanya pandangan pertama ... dulu saya juga pertama kali jatuh cinta sama istri waktu ke temu di pasar becek. Pertama kali lihat dia lagi nawar tempe," cerita Supri. "Kamu ngapain d

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Jerat Casanova Insaf   7. Pertemuan Kedua

    "Meeting siang nanti setelah makan siang," ujar Agus assisten pribadi Sakti."Di kantor mereka?""Iya, Pak.""Ok, tim marketing siapa yang kamu tunjuk untuk ikut kita?" tanya Sakti masih fokus dengan berkas yang dia tanda tangani."Saya tunjuk Roro untuk presentasi produk kita," jawab Agus."Ok, kalian bawa mobil kantor saja, saya biar bawa mobil sendiri." Sakti memberikan berkas itu pada Agus."Saya permisi, Pak." Agus mohon diri embali ke ruangannya."Oh ya, Gus," panggil Sakti.Agus memutar tubuhnya, "ya, Pak?""Sudah berapa lama kamu menikah?" tanya Sakti.Agus mengernyitkan dahinya, seingatnya atasannya ini sangat sangat jarang membahas hal pribadi."Sudah berapa lama?" Lagi sakti bertanya."Dua tahun, Pak.""Pacaran berapa lama?""Tiga tahun, Pak. Kalo boleh tau, ada apa Pak?""Total sudah saling kenal lima tahun, nggak bosan?'"Lebih, Pak," ujar

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Jerat Casanova Insaf   8. Siapa Dia

    "Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi."Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja."Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum."Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis."Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya."Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?""250 ribu," jawab Gendis lagi.Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan."Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum."Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.Gendis menge

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Jerat Casanova Insaf   9. Cari Tahu

    "Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-13
  • Jerat Casanova Insaf   10. Membuntuti

    "Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-15
  • Jerat Casanova Insaf   11. Maunya Mama

    Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-19

Bab terbaru

  • Jerat Casanova Insaf   Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova Insaf   117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova Insaf   116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova Insaf   115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova Insaf   114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova Insaf   113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

  • Jerat Casanova Insaf   112. Arya dan Ami

    Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin

  • Jerat Casanova Insaf   111. Nengokin Anak

    Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w

  • Jerat Casanova Insaf   110. Rujak Serut

    Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status