Ibu dan Tante Susi beradu pandang. Kedua mata mereka saling melotot. Masing-masing tangannya mengepal. Rahang terlihat mengeras. Aku mengaruk-garuk kepala dengan kasar. Pusing menyaksikan tingkah mereka.
Ibu sudah keterlaluan! Terlalu berambisi pada Meyla. Ibu lupa kalau uang lima juta yang kemarin aku berikan itu pinjaman dari Tante Susi.
“Sudah, Bu! Sudah!” Aku mengalihkan Ibu dan tante Susi. Tante Susi kini menatapku.
“Apa benar Haris, kamu akan menikah dengan perempuan bernama Meyla?” tatapan Tante Susi terlihat sangar. Seperti mata burung Elang yang ingin menerkam mangsanya. Aku mundur beberapa langkah. Tubuh Tante Susi terus saja meringsek hingga aku menyandar pada pintu.
“Tenang, Tante ... tenang dulu. Ibu lagi emosi, wajar kalau bicaranya melantur,” ucapku sambil tersenyum.
“Melantur???!! Kamu bilang Ibu melanturr?? Dasar anak durhaka! Kamu lebih memilih si J
“Bu Laila, kuenya gak dicicipi? Tenang, Bu ... kue ini gak basi kok. Gak aku kasih racun juga. Hehehe .... ” Candaan Adam membuyarkan pikiranku. Aku tersenyum canggung.“Nih, aku cicipin,” sahutku kemudian.Usai mencicipi kue pemberian Adam, aku dan Siska menuju ruang monitor CCTV.“Pagi, Neng Laila?” sapa Pak Karja, Satpam Villa.“Pagi. Pak, kunci ruangan ini di mana ya?” tanyaku pada laki-laki yang telah belasan tahun mengabdi.“Lagi gak dikunci, Neng. Barusan Bapak habis ngecek monitornya,” sahut Pak Karja.“Oh kebetulan. Kami juga mau ngecek sebentar. Ya udah, Sis. Yok kita masuk! Pak, kami tinggal dulu ya?”“Iya, Neng.”Aku bergegas menuju meja yang berderet tiga televisi. Selama ini tak pernah aku mengecek CCTV. Cuma tahu dari Ummi, kalau Abi memasang banyak CCTV di Villa.Monitor pertama, CCTV Villa pert
PoV Bu SarnihTak kusangka, anak yang sudah kubesarkan selama ini, berani melawan dan meninggalkanku. Haris lebih memilih janda genit dari pada aku, ibunya.Air mata sudah tak lagi dapat kutahan. Mengalir deras membasahi pipi. Meratapi kelakuan kurang ajar anak yang selalu kuakui sebagai anak semata wayang.Hatiku benar-benar sedih dan kecewa oleh sikap Haris. Aku yakin, Harus sudah dipelet oleh Susi. Janda genit itu memang gak tau diri. Sudah tua, masih saja deketin Haris. Aku mendesah. Menarik napas perlahan. Bagaimana pun aku tak boleh terpuruk, apalagi sampai sakit. Kalau aku sakit, siapa yang mau merawat? Haris sudah tidak bisa aku andalkan.“Bu, ibu baik-baik aja?” Salma menegurku. Aku tak menjawab.“Salma pamit pulang, Bu. Terima kasih sudah mau terima Salma di sini.” Salma menggapai telapak tanganku, lalu menciumnya.Salma telah pergi. Tinggallah aku seorang diri. Aku duduk di kursi depan. Me
Penjelasan Damar membuatku dan Siska tercengang. Kalau memang benar, saat itu Damar tertidur, pasti sepatunya diambil pelaku. Atau mungkin sengaja ingin mencari kambing hitam.Tapi kenapa harus sepatu Damar?“Lo gak bohong ‘kan?” telisik Siska menatap tajam Damar.“Ya ampun, Tan. Lo kenal gue dari kecil!! Gue gak sepengecut itu!!” Tandas Damar. Aku tahu, ia pasti sangat frustasi mendapat tuduhan seperti itu.“Tapi lo suka jahil!” Siska masih tak mau kalah.“Au dah! Terserah!” Damar berlalu. Ia meninggalkanku dan Siska.“Sis, sabar ... kita kan udah denger penjelasan Damar. Kali aja dia jujur. Nanti kita pastiin sambil lihat rekaman CCTV ini, bener gak yang diomongin dia. Oke?” Siska menarik napas. Lalu mengangguk.“Tapi gue gak akan ngediemin orang-orang yang berusaha ngehancurin perusahaan kita, Laila. Kalau perusahaan ini bangkrut, banyak orang yang kehi
PoV HarisTiba di apartemen, Tante Susi langsung merebahkan tubuh moleknya di atas kasur ukuran king size. Tak kusangka, tante Susi memiliki apartemen yang cukup mewah.“Sini, Sayang,” panggil tante Susi menjentikkan jarinya. Aku mengulas senyum sambil berjalan mendekati tante Susi yang tidur dengan posisi miring. Belahan gunung kembar wanita yang usianya hampir setengah abad itu terlihat jelas. Aku menelan saliva.“Kenapa sih masih malu-malu?” tanya tante Susi, kini jarinya membelai tanganku.“Bukan malu, Yangsus ... tapi mau ....” jawabku sembari menjawil dagunya. Tante Susi tersenyum nakal.Menit berikutnya kami sudah tenggelam dalam lautan gairah birahi yang sudah memuncak.***Pukul delapan malam, tante Susi sudah bersiap-siap pulang.“Kenapa gak nginep di sini aja sih, Yang?” Aku bertanya sembari memeluk pinggangnya dari belakang.“Malam in
Kedua tangan Siska mengepal. Kemarahan terpancar dari kedua matanya yang memerah.“Kita makan dulu yuk!” Ajakku memecah ketegangan. Damar dan siska kompak menoleh. Menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dipandangi seperti itu, aku merasa gugup.“Sekarang kan kita udah tahu titik terang siapa pelakunya.” Aku berucap sesantai mungkin. Padahal hatiku juga sama dengan mereka. Kesal dan kecewa.Damar menarik napas. “Ya udah, gue juga lapar.” Celetuk Damar.“Mendingan lo balik dah! Sumpek gue liat muka lo!” ujar Siska sambil mematikan laptop.“Gue mau makan dulu! Rejeki gak boleh ditolak!!” Imbuh Damar, bangkit. Berjalan melewatiku menuju meja makan.“Dasar cucunguk! Songong! Maen nyelonong aja!”“Udah biarin. Lagian dari tadi lo tuh ngomeeeel ... terus. Gak capek apa tuh mulut?”“Bodo! Mulut-mulut gue!!” sahut Siska k
PoV Bu SarnihHaris mematikan telepon sepihak. Dasar anak kurang ajar! Makin ke sini, sikapnya makin gak sopan! Sulit diatur!Tok tok tokPintu kamar diketuk. Aku membuka pintu. Rupanya Meyla.“Tante, sarapan belum?” Aku menggeleng.“Belum. Barusan habis teleponan sama Haris,” sahutku.“Oh ya? Mas Haris kapan mau ke sini? Aku kan kangen banget,” rengek Meyla. Aku tersenyum bangga melihat wanita yang bergelimangan harta merindukan anak semata wayangku.“Katanya dia masih sibuk. Tadi sih bilangnya lagi di perkebunan, Bogor. Lagi sibuk banget dia, Mey. Telepon tante aja bentaran doang. Tapi dia juga kangen lho sama kamu. Dia nitip salam.”“Iyakah?” Wajah Meyla berbinar. Aku mengangguk.“Hm ... Aku jadi tambah kangeeen ....” ucapnya. Matanya menerawang.“Sabar ya, Sayang ... nanti kan Haris bakal jadi suami kamu. Tiap hari bakal ketemu d
Sepanjang jalan aku menangis. Pikiran buruk berkecamuk. Entah bagaimana nasibku jika Damar tidak datang. Aku menoleh pada laki-laki bercambang tipis itu, tatapannya lurus ke depan. Fokus menyetir. Sekarang aku hutang budi.“Damar, terima kasih,” lirihku merunduk.“Iya. Udah jangan nangis terus. Mau makan dulu atau langsung pulang?”“Langsung pulang,” jawabku pelan.Selang tiga puluh menit, tiba di depan rumah. Mang Karman membuka gerbang. Damar memasukkan mobil ke dalam garasi.“Sebelum tidur makan dulu,” pesan Damar setelah mematikan mesin mobil. Kami pun keluar dari dalam mobil.“Ini kunci mobilnya. Aku langsung pulang.”“Gak masuk dulu?”“Gaklah udah malam. Pamit, ya?” Aku mengangguk. Setelah Damar pergi, aku bergegas masuk ke rumah.“Non baru pulang?” sapa Bi Inah saat aku menaiki anak tangga.
PoV Haris“Kata Haris, kamu itu wanita kaya raya tapi mat-re!!! Suka morotin duit Haris dan Ibunya!!” ucapan Tante Susi membuatku terlonjak. Tak menyangka ia berkata demikian. Kedua mata Ibu membesar. Tante Susi lancang sekali bicara seperti itu. Aduh, Bakal terjadi perang ketiga. Tatapan Meyla beralih padaku. Gawat!“Apa benar, Mas bicara seperti itu?” Meyla berbicara datar. Tidak terlihat kemarahan di wajahnya. Aku kira dia akan langsung ngamuk, marah-marah atau menamparku berulang kali. Untunglah tidak terjadi.“Eu, eu, a-anu, Mey—““Meyla, Sayang ... jangan dengerin ya omongan si Susi. Dia itu iri sama kamu, Mey ....” Ibu mencoba menenangkan Meyla. Mengusap-usap tangan Meyla.“Kalau benar Mas Haris bicara seperti itu, aku lebih baik mundur, Tan.” Meyla menepis tangan Ibu pada lengannya.&nb
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila