“Pagi, Laila.” Sapa Nafisa menggigit roti.
“Pagi,” sahutku sambil mengolesi roti tawar dengan selai.
“Ada beberapa hal yang mau aku bicarain. Apa kamu buru-buru?” Celetuk Nafisa setelah ia meminum susu.
“Enggak. Bicara apa?” Kulihat Nafisa yang mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans dengan lekat.
“Pertama, tujuan aku ke sini sebenarnya mau mengembalikan uang tabungan Ummi. Jadi begini, uang tabungan Ummi yang aku bawa kabur, aku gunakan untuk modal usaha bersama Jhoni di Amerika. Usaha kami berjalan dengan lancar. Aku membuka usaha restoran. Jhoni yang memang pernah menjadi chef di salah satu hotel, akhirnya bisa membuat restoran kami semakin maju.” Nafisa menjeda bicara, ia meneguk kembali susu yang tinggal setengah.
“Aku pikir, Ummi dan Abi masih ada. Aku ke s
PoV HarisTak berapa lama, wanita renta dengan gamis hitam kerudung putih datang menghampiri. Wanita itu duduk di atas kursi roda didorong oleh wanita yang menyambut kedatangan kami.“Bunda, dua orang ini yang ingin bertemu. Mas, Mbak, beliau adalah Bunda Fatimah. Pengurus panti yang lama.” Wanita berkerudung hijau memperkenalkan. Aku tersenyum sambil mengangguk.“Kalian siapa? Mau apa?” terdengar parau suara Bunda Fatimah.“Saya Susi, ini Haris. Katanya, Haris dulu pernah tinggal di sini.” Tante Susi membuka suara. Bunda Fatimah membenarkan letak kaca mata.“Oh begitu. Haris, mau tau asal usulnya?” Aku mengangguk mantap. Rasanya sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa kedua orang tua kandungku. Jika mereka berasal dari keluarga kaya raya seperti di film-film, dengan senang hati aku akan tinggal bersama mereka dan meninggalkan Tante Susi yang perhitungan itu. tapi kalau sebaliknya,
PoV LailaPerjalanan menuju kantor terjebak macet. Mungkin karena aku datang lebih siang dari biasanya. Pembicaraan dengan Nafisa lumayan menyita waktu. Tapi tak masalah, dengan begitu, aku jadi tahu kalau Nafisa masih seperti dulu. Apalagi dia masih sempat membelikanku, Mang Karman dan Bi Inah oleh-oleh. Sudah menjadi kebiasaan dia sedari dulu. Selalu membelikan buah tangan kepada kami.Kesalahan Nafisa Cuma rela kabur bersama Jhoni dan membawa uang tabungan Ummi yang tidak sedikit. Meskipun uang itu sekarang sudah dikembalikan.Di tengah kemacetan, mataku menangkap sosok yang tak asing sedang duduk bersandar di tiang listrik sambil tertawa. Penampilannya sangat urak-urakkan. Aku membuka jendela mobil, memastikan siapa wanita yang sedang duduk di pinggir trotoar jalan raya. Mataku membulat saat menyadari siapa wanita tersebut.“Ibu? Itu kan Ibunya Haris?” Karena kendaraanku berada di sisi kiri, sosok Ibu sangat jelas. Aku melihat ke dep
l“Lo yakin itu ibunya Haris?” Sepertinya Siska tidak percaya dengan ucapanku.“Gue yakin. Tadi gue udah nyuruh Meyla nemuin Ibunya Haris di pinggir trotoar.”“Dia mau?”“Mau. Katanya lagi otewe.” Siska menyilangkan kakinya.“Gue jadi penasaran. Bener gak ibunya Haris jadi gila.”“Gue gak bilang dia gila. Cuma penampilannya aja kayak orang gila.”“Elah sama aja. Ya udah, gue mau lanjut kerja.” Aku mengangguk. Membiarkan Siska melangkah keluar ruangan.Satu jam kemudian, ada pesan dari Meyla. Sebuah foto Ibunya Haris.[Lai, Ibunya Haris mengenaskan. Aku gak berani deketin. Tapi aku udah telepon ambulance rumah sakit jiwa. Biar petugas saja yang bawa dia.]Setelah membaca pesan Meyla, aku langsung menelepon.“Halo, Lai ....”“Benar kan itu ibunya Haris?”“Iya bener. Aku ngeri lia
PoV HarisMalam ini, tante Susi tidur di apartemen menemaniku. Tumben sekali janda montok itu langsung terlelap tidak meminta jatah seperti biasa.Aku menatap wajah wanita yang usianya lebih tua dariku. Memang tidak terlalu cantik, tapi aku merasa dia tulus sayang padaku.Seharian tadi setelah pulang dari panti asuhan, Meyla menelepon. Aku kira ada apa. Ternyata dia memberitahu kalau Ibu sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Awalnya aku marah, karena merasa Meyla terlalu lancang memasukkan ibu ke rumah sakit jiwa tanpa meminta ijin padaku terlebih dahulu. Akan tetapi, setelah tahu Meyla sudah membayar seluruh adiministrasi rumah sakit, amarahku sedikit reda. Walau tak henti-henti tante Susi menyalahkan Meyla sebagai penyebab ketidakwarasan Ibu.“Sayang ... kamu belum tidur?” Lirih suara tante Susi. Aku mengusap rambutnya.“Belum,” sahutku menatap wajah tanpa polesan make up itu. Tante Susi kembali menatapku.&
Sudah setengah jam kami berempat menunggu kepergian Haris dan pacarnya dari rumah sakit di dalam mobil. Aku dan Siska ingin menemui ibunya, ingin mengetahui keadaanny. Kalau ada Haris di dalam, terus aku dan Siska menjenguk Bu sarnih, dia pasti menaruh curiga. Curiga aku dan Siska tahu dari mana kalau ibunya ada di sini. Namun hingga kini dua orang itu tak kunjung keluar.“Halah, buang-buang waktu. Udahlah, besok aja kita ke sini lagi. Gimana Laila?” Suara Siska memecah keheningan. Aku menoleh ke arahnya, mengangguk lemah.“Aku juga pengen istrihat nih, rasanya capek banget.” Meyla mengeluh. Menarik kedua tangan ke depan dengan melipat jari-jarinya. Aku lihat Damar memandang wajah Meyla simpati. Memang sahabatku itu sekarang duduk di depan, di samping Damar.“Sabar ... nanti sampai rumah langsung mandi, pasti badan kamu langsung seger.” Entah kenapa mendengar perhatian Damar pada Meyla perasaanku jadi tak men
Laila menoleh, aku memamerkan senyum termanis. Senyuman yang dahulu selalu mampu meluluhkan hati para cewek, tak terkecuali Laila.“Jangan mimpi!!” Aku terkejut mendengar jawaban Laila. Aku pikir dia mau rujuk. Mantan istriku langsung pergi.“Laila tunggu!” Laila tetap berjalan cepat. Tak menoleh apalagi menyahut.Sudahlah, kalau memang Laila gak mau, ya gak apa-apa. Masih ada tante Susi. Walaupun dia sudah tua, tapi banyak harta. Apalagi dia bilang tak perlu aku capek-capek kerja.Aku kembali melihat Ibu dari kaca jendela kamarnya. Keadaan ibu masih sama. Badannya terlihat lebih kurus. Setelah melihat kondisi ibu, aku segera pulang. Ke rumah tante Susi.***Keesokan harinya, aku dan tante Susi kembali ke panti asuhan. Sesuai perintah Bunda Fatimah. Kami dipersilahkan masuk oleh wanita dua hari lalu yang menyambut kami.“Silahkan duduk, Bunda sudah menunggu Mas dan Mbak. Sebentar say
“Itu kucing lewat,” jawab Siska diiringi kekehan. Sial! Aku dikerjain.“Habisnya lo ngelamun mulu. Jangan mikirin si Damar ama Meyla, mereka gak bakal ngapa-ngapain.”“Apaan sih lo?” Gengsi kalau aku mengakui cemburu di depan Siska. Sepanjang jalan kuputuskan untuk tidak berbicara dengan Siska. Malas!!Tiba di rumah aku membanting pintu mobil. Siska hari ini benar-benar menyebalkan.“Woi, besok jam berapa ke rumah sakitnya?” teriak Siska dari dalam mobil.“Serah!” Sebal banget punya sahabat kayak Siska. Kerjaannya ngeledekin, sok tau, kepo.Aku langsung melangkahkan kaki ke kamar. Menghempaskan tubuh di atas kasur, menatal langit-langit kamar.Bayangan Damar dan Meyla melintas kembali. Aku bangkit, duduk bersila. Mataku tertuju pada tiga koper milik Nafisa. Kuhampiri koper tersebut dan aku buka satu persatu.Pertama aku buka koper yang isinya oleh-ole
PoV Haris“Sejak kapan tanda ini ada?” Tunjuk Nafisa pada tanda bulat berwarna coklat di telapak tanganku.“Sejak kecil. Emang kenapa?” Nafisa kembali duduk. Kedua matanya nampak berembun.Kenapa Nafisa bertanya tentang tanda lahir ini? Apa mungkin dialah saudara kandungku?“Kamu hari ini sibuk?” tanya wanita berambut sebahu. Aku menggeleng.“Kita ke rumah sakit untuk tes DNA. Kemungkinan besar kamu adik aku.” Perkataan Nafisa menyentakku. Bahagia sekali jika Nafisa adalah saudara kandungku. Sepertinya dia orang kaya, aku pasti dari keluarga yang kaya raya.“Ya sudah, kalau gitu kita ke rumah sakit sekarang.” Cetus tante Susi berbinar.“Oke, aku mau dites DNA sekarang.” Aku menimpali. Rasanya sudah tidak sabar melihat kenyataannya.“Alhamdulillah kalau kalian sudah menemukan keluarga yang sebenarnya. Semoga saja, keluarga k
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila