Dreyfus membuka map di hadapannya dan mengeluarkan tiga buah berkas dengan stempel melintang bertuliskan “classified” dari sana. Pria itu menggeser dua berkas ke arah Joseph dan Jill, menyisakan sebuah berkas untuk dirinya sendiri.“Di dalam berkas itu, ada informasi tentang The Demon yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah. Termasuk nama-nama orang penting dalam kartel itu,” terang Dreyfus. Pria itu menjeda ucapannya dan memberikan kesempatan pada Jill dan Joseph untuk membuka berkas.“Rahasia, hum?” seloroh Joseph dengan satu sudut bibir terangkat.“Ya. Informasi ini bersifat rahasia,” kata Dreyfus membenarkan.Jill dan Joseph membaca isi berkas itu dengan seksama. Nama-nama yang cukup dikenal di negara mereka tampak terselip di antara pemegang peran penting dalam kartel. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang berasal dari Asia.“Evangeline Patricia.” Dreyfus menyebut satu nama di antaranya. “Jejak aktivitas terakhir The Demon terendus di perbatasan Meksiko. Sebuah transaksi di
Pesta yang digelar di kediaman Walikota Ferdinand itu terlihat begitu meriah. Hunian bak kastil itu benar-benar disulap layaknya pesta meriah sebuah kerajaan. Bukan orang sembarangan yang berkesempatan mendapat kehormatan untuk menghadiri pesta tersebut. Dan, di antara nama-nama yang tercatat dalam daftar undangan, Andrew Reyes adalah satu-satunya nama yang Jill harap tidak akan membubuhkan tanda tangan pada buku tamu.“Kau siap, Mr. Walker?” tanya Jill pada saat mobil yang dikendarai oleh anak buah Dreyfus itu berhenti melaju di pelataran bangunan megah tersebut.“Tentu saja, Mrs. Walker,” balas Joseph.Kendati mengatakan dirinya sudah siap, namun Jill dapat melihat gurat kegelisahan dalam wajah Joseph. Wanita itu tahu bahwa suami gadungannya tersebut sedang merasa gugup. Hal yang wajar, mengingat ini adalah pertama kalinya Joseph melakukan tugas sebagai gladiator.Jill tertawa kecil lalu menyentuh tangan Joseph yang mengepal di atas paha.“Rileks, Jerome. Bersikaplah seperti kau sed
Pasangan suami dan istri palsu itu mulai menuju tengah ruangan. Mengambil gelas champagne dari meja lalu menyesapnya sambil mengedarkan pandangan. Berakting layaknya tamu undangan pada umumnya. Sesekali mengulas senyum elegan untuk memperkuat penyamaran.“Jadi, siapa sebenarnya Jerome Walker dan Griselle Walker?” tanya Joseph yang tiba-tiba penasaran dengan sosok tersebut.“Pemilik pabrik anggur di Houston,” jawab Jill seraya melirik pria itu.“Apa mereka benar-benar ada?” Joseph mengerutkan alis.Jill melemaskan bahu lalu menurunkan gelas berkaki yang dia pegang. “Ya, mereka benar-benar ada.”“Jika kita yang ada di sini, lalu … di mana Tuan dan Nyonya Walker yang asli?” Sungguh, Joseph tak bisa menahan rasa ingin tahunya.Menatap Joseph beberapa saat, Jill lantas menjawab, “Untuk masalah itu, kau bisa menanyakannya kepada Dreyfus.” Wanita itu mengakhiri ucapan dengan satu sudut bibir terangkat lalu menyesap minuman dalam gelasnya.Dalam wajah Joseph masih tergambar raut penasaran. Ap
Untuk beberapa waktu, Joseph merasakan dunianya seolah berhenti berputar. Netra abu-abunya tak berhenti memandang ke arah yang sama, pada seorang wanita yang tengah berkutat dengan ponsel pintar di dekat angsa kristal.“Camila?” Sekali lagi nama itu terucap dari bibir Joseph. Namun masih sama, nyaris tak bersuara.Degup jantung yang kian bertalu membuat pria itu tak kuasa menahan kaki untuk melangkah menuju sosok yang dimaksud.Seorang wanita dengan rambut pirang yang digelung cantik tampak sedang berbicara dengan seseorang dalam telepon. Wanita itu memutar badan hingga membelakangi Joseph yang terus melangkah dengan perlahan mendekatinya.Saat ini, kaki Joseph seakan bergerak tanpa kendali dari otaknya. Satu nama yang lolos dari bibirnya beberapa waktu lalu telah membuat pria itu kehilangan kontrol atas diri sendiri. Hingga tanpa sadar, pria itu telah tiba di belakang si wanita yang mencuri seluruh perhatian sejak beberapa waktu yang lalu.“Camila?” Nama itu terucap seiring telapak t
Gemuruh di dalam dada Joseph kian hebat ketika dia melihat Andrew Reyes tersenyum lebar bersama Jacob Ferdinand. Apakah pria itu sama sekali tidak merasa kehilangan putrinya?Sungguh, hal ini membuat emosi Joseph kian memuncak. Sampai detik ini, Setelah berbulan-bulan berlalu, dia bahkan masih terjebak dalam rasa kehilangan atas meninggalnya Camila. Namun, pria yang mengaku sangat menyayangi putrinya itu justru terlihat baik-baik saja seakan tidak ada hal mengerikan yang pernah terjadi pada putrinya.“Tahan emosimu, Hunter!”Sebuah suara diikuti sentuhan di pundak Joseph, membuat pria itu mengerjapkan kelopak mata dengan cepat beberapa kali. Seolah-olah pria itu baru saja ditarik kembali dari dasar lembah kekalutan. Joseph berpaling dan mendapati Jill berdiri di sampingnya sedang melihat ke arah yang sama.“Jangan bertindak gegabah. Ingat, kita datang kemari untuk Bramasta William. Kita tidak datang ke sini untuk membuka penyamaran dan menyerahkan nyawa pada para mafia di sana.” Jill
Mobil mewah yang membawa pasangan Walker itu kembali ke markas dalam laju sedang. Jill memandang pria yang duduk di sampingnya beberapa kali. Lantas dia lepas kacamata yang membingkai wajah Joseph dan menyimpannya. Sejenak menatapi wajah yang tampak lelap dalam damai itu lalu dia gerakkan tangan untuk membelai wajah Joseph.Pria ini sungguh membuatnya gila dengan obsesi. Namun, profesionalitas seolah menjadi jurang pembatas yang dalam. Jill tidak tahu mengapa sosok pria yang satu ini bisa membuat dirinya begitu gelisah. Dan jujur saja rasanya sangat mengganggu.“Apakah benar bahwa hatimu tidak akan tersentuh oleh wanita lain?” gumam Jill dengan netra yang terus mengawasi Joseph.Deru napas halus dan pergerakan dada yang naik-turun dengan ritme lambat menjadi jawaban atas pertanyaan Jill. Wanita itu melepas napas panjang lalu menggeser posisi kepala Joseph yang terlalu miring menjadi lebih nyaman. Kemudian dia memutar badan, duduk dengan posisi menghadap ke depan sambil bernapas dalam.
Atas kegagalan misi pertamanya, Joseph harus menerima hukuman dari Dreyfus. Pria berjambang itu mengambil sesuatu dari dalam saku celana. Sebuah benda logam berwarna silver yang berbentuk setengah lingkaran dengan warna hitam di bagian tengahnya. Dreyfus menarik tangan kiri Joseph lantas menekankan benda tersebut ke pergelangan tangan si pria hingga mengikat dengan erat di sana dengan kedua ujung yang menyatu dan mengunci seperti gelang. Joseph dapat merasakan benda tersebut menekan pembuluh darahnya.“Argh!” Pria itu mengeluh keras saat merasakan sesuatu menusuk permukaan kulit lalu menghantarkan rasa panas yang menyengat selama beberapa saat.“What the hell is this?” tanyanya dengan raut geram, bertanya-tanya sekaligus menahan sensasi tersengat bara api di pergelangan tangan.“Hukumanmu,” jawab Dreyfus yang lantas menekan sebuah tombol kecil pada pinggiran gelang tersebut sehingga warna hitam di bagian tengahnya menampakkan angka yang berkedip-kedip. “Sudah diaktifkan,” ucap pemimpi
Duduk di pantry sendirian, Joseph meneguk bir langsung dari botol. Gelang metal yang dikenakannya membuat Joseph merasa seperti seorang tahanan. Bagaimana tidak? Untuk berlatih seperti biasa pun dia harus benar-benar membatasi diri. Sedikit saja melewati titik toleransi, gelang itu akan menyetrumnya. Sangat menyebalkan!“Butuh teman minum?” Suara feminin menyapa indera pendengaran Joseph.Pria itu tak berpaling, hanya melihat sosok wanita yang datang melalui ekor mata. Tak menjawab, Joseph meneguk bir sambil memalingkan wajah ke arah yang berlawanan dari si wanita.“Ekhem!” Jill berdehem lalu duduk di kursi yang ada di sebelah Joseph. Wanita itu meraih satu botol bir yang ada di meja pantry lalu membuka dan meminumnya. Selama beberapa saat, hanya kebisuan yang menjadi penengah di antara mereka.Beberapa kali Jill melirik Joseph dan pria itu terlihat masih marah terhadap dirinya. Jujur saja, hal ini sangat tidak menyenangkan untuk Jill. Seperti ada sesuatu yang hilang. Dirinya dan Jose
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk