Pria berperawakan tinggi dan tegap dengan garis wajah tegas itu berjalan menyusuri koridor, menuju ke sebuah ruangan dengan penjagaan ketat. Derap langkah kaki berlapis sepatu boots itu berhenti persis di depan pintu ruangan."Aku ingin bertemu dengan Mr. Hunt," ucap pria itu pada penjaga di depan pintu.Tidak ada yang diizinkan masuk hingga ke tempat mereka berada saat ini jika bukan orang-orang yang memiliki urusan penting dengan seseorang di balik pintu tersebut. Sehingga para pria yang berjaga pun langsung membukakan pintu dan memberi jalan kepada si pria untuk masuk ke ruangan yang dimaksud.Berjalan dengan langkah tegas dan lebar, pria berdarah Rusia dengan nama Abram Federov itu mendekat ke arah meja, yang mana pemiliknya sedang duduk di kursi kebesaran menghadap pada jendela kaca."Kau kembali tepat waktu, Abram," ujar seorang pria yang duduk di kursi seraya memutar tempat duduk tersebut hingga kini sosoknya dapat dilihat oleh Abram.Ketika sebuah senyum terukir di bibir pria
Sebuah nama baru muncul di saat Carnicero sedang diragukan kredibilitasnya. The Assassin, siapa pun orang yang berada di balik organisasi itu, jelas sedang mengambil keuntungan besar dari nasib nahas yang menimpa Carnicero. Nama ini sebenarnya sudah tidak asing di telinga Dreyfus. Pria itu pernah mendengar selentingan bahwa ada satu organisasi baru yang bergerak dibidang sama dengan Carnicero, dan sedang menunjukkan branding atas dirinya. Namun sayangnya, selama ini Dreyfus tidak pernah menganggap serius informasi semacam ini, karena kebanyakan organisasi-organisasi serupa akan tumbang sebelum mereka berhasil mendapatkan tangkapan besar.Berbeda dengan The Assassin kali ini. Dari informasi yang diterima oleh Dreyfus, organisasi itu baru saja mendapatkan kepercayaan dari orang-orang yang telah memutuskan untuk berpaling dari Carnicero. Hal ini sangat mencurigakan. Bahkan sekali lihat saja, Dreyfus bisa menilai bahwa siapa pun orang yang berada di balik kubu ini memiliki andil atas apa
Dalam misinya untuk menguak keberadaan Julian Blight, Joseph dan Jill pergi ke Florida untuk menyambangi kediaman keluarga Blight yang lama. Di sana lah Joseph kecil menghabiskan masa remaja dalam pelukan rasa sakit dan derita. Kendati sebenarnya dia enggan untuk menginjakkan kaki di bangunan megah itu lagi, namun demi sang istri Joseph rela menjilat ludah sendiri."Aku kira kau sudah melupakan jalan untuk kembali ke tempat tinggalmu," seloroh Jill."Itu bukan tempat tinggalku. Itu hanyalah tempat di mana aku pernah merasakan neraka bersama ibuku," balas Joseph.Semula, niat Jill hanya untuk bercanda. Namun, sepertinya candaan itu telah menggores hati Joseph. Luka lama yang telah terpendam jauh di masa lalu, seakan kembali tercungkil hanya karena candaan itu."Maaf," ucap Jill serius.Joseph berpaling pada temannya. Lalu kembali mengarahkan pandangan pada pintu gerbang raksasa yang menjadi jalan masuk menuju istana Blight tersebut. Meski Julian tak lagi meninggali bangunan itu, namun
Selama beberapa waktu, Joseph tercengang. Tubuhnya terasa kaku bagaikan batu. Susah payah pria itu meneguk ludah. Hingga akhirnya terdengar sebuah suara yang telah lama tidak dia dengar. Suara dari orang yang cukup dia rindukan."Joseph? Kaukah itu?" Suara itu terdengar semakin renta. Bibir keriput itu mengucapkan namanya masih dengan suara yang sangat jelas, kendati sedikit bergetar. Tatapan matanya pun masih terasa seteduh dulu."Juan?" Suara Joseph terdengar sangat lirih, hingga Jill yang ada di samping lelaki itu pun nyaris tidak mendengarnya."Kau kenal siapa pria tua itu?" tanya Jill dengan suara berbisik, menoleh pada rekannya itu dengan raut penasaran. Karena dari interaksi yang terjadi, mereka seperti memiliki ikatan emosional yang sangat kuat.Joseph tak menjawab. Pria itu masih terpaku pada sosok tua renta yang dia panggil dengan nama Juan. Lalu, dia lihat pria tua itu bangkit dengan perlahan dan keluar dari balik bangku tempatnya duduk sambil memainkan piano.Sempat tubuh
Mendengar pengakuan Joseph, tentu saja membuat Juan sangat terkejut. Benarkah Julian yang membawa lari istri Joseph? Bagaimana ceritanya bisa terjadi seperti itu? Sedangkan Juan tahu betul bahwa Julian sangat digilai para wanita, hingga mendapat predikat sebagai Cassanova Blight. Ibarat seluruh wanita di Amerika dan negara sekitarnya tergila-gila pada sosok Julian. Lantas, apa maksud ucapan Joseph ini? Apakah ada hubungannya dengan dendam di masa lalu?Sebelum pembahasan ini semakin jauh, Juan terlebih dahulu meminta Esme untuk meninggalkan ruangan tersebut. Karena pria tua itu memiliki firasat bahwa apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya adalah sesuatu yang serius. Pria itu lantas memusatkan perhatian pada putra kedua Markus Blight tersebut.“Apa yang kau katakan, Nak?” tanya Juan tak mengerti.Joseph berpaling sekilas sambil menjilat bibir.“Aku tahu kau terikat sumpah untuk setia pada keluarga Blight, Juan. Namun, kuharap kali ini kau bersedia melanggarnya sedikit saja untukku,
Berbeda dengan Jill dan Joseph yang memilih cara halus untuk mendapatkan informasi dari Juan, kedua gladitor yang lain cenderung menggunakan cara brutal untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Jacob dan Helena mendapat tugas untuk mencari informasi tentang Abram Federov dan keterkaitannya dengan The Assassin. Pihak Carnicero, terutama Dreyfus, sangat yakin bahwa Federov dan organisasi tersebut memiliki ikatan yang sangat kuat. Oleh sebab itu, Dreyfus membagi tugas untuk para gladiatornya agar masalah ini segera terpecahkan.“Jadi dia adalah orangnya? Pria dengan jas abu-abu?” tanya Helena seraya menggeser teropong ke arah seorang pria yang baru saja keluar dari sebuah restoran.Tampilannya biasa saja, sama seperti pegawa kantor pada umumnya. Setelan jas rapi, sepatu mengilap, rambut klimis, dan sebuah tas kerja berbahan kulit di tangannya. Oh, dan jangan lupa dengan arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah bisa dipastikan bahwa pria itu memiliki gaji yang cukup
Rintih kesakitan mulai terdengar kala mata pisau itu menyayat lidah James. Rasa asin dan aroma amis darah pun seketika memenuhi rongga mulut saat darah segar meleleh dari luka sayat yang tercipta. Menusuk hingga ke dalam indera penciuman pria itu sendiri. Namun sayang, tak banyak yang dapat James lakukan selain pasrah menerima rasa sakit tersebut. Karena berontak pun percuma. Kedua tangan dan kakinya terikat kuat, yang semakin banyak dia gerakkan maka akan semakin melukai diri sendiri. Ingin memohon untuk dilepaskan, akan tetapi yang keluar dari mulut hanyalah erang kesakitan. James benar-benar tersiksa.“Masih tidak ingin mengatakan apa-apa padaku, hah?” Jill menambah tekanan pisau pada benda lunak yang dia cengkeram, hingga membuat rintih kesakitan James terdengar semakin memilukan.“Eergh!” erang James lebih keras.“Cepat katakan padaku! Karena aku tidak main-main dengan ancamanku, Sialan!” desak Helena.Mulut James terus mengeluarkan suara-suara tidak jelas, namun pria itu tetap t
Dreyfus meminta keempat gladiatornya untuk kembali ke markas, setelah pria berjambang itu menerima laporan bahwa Abram Federov adalah bagian dari The Assassin. Hal yang sebenarnya tidak begitu mengejutkan, namun Dreyfus merasa tetap perlu mengumpulkan gladiatornya untuk membicarakan rencana lebih lanjut terkait masalah ini.Jacob dan Helena tiba lebih dulu di markas, dibandingkan dengan Joseph dan Jill. Dua gladiator itu tengah menuju ke ruang kerja Dreyfus untuk memenuhi perintah.Pemimpin Carnicero itu sengaja mengumpulkan para gladiator di ruang kerja, guna menghindari mata-mata yang mungkin saja sedang mengawasi mereka. Karena hanya Dreyfus seorang yang memiliki akses terhadap kamera pengawas di ruangan tersebut. Meski hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang yang dengan sengaja meretasnya. Paling tidak, tempat ini cukup aman untuk berdiskusi."Jadi benar, Federov dan The Assassin ada dalam satu kapal yang sama?" Dreyfus bertopang dagu dengan netra menerawang."Dari keter
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk