“Penting mana, Bu RT yang nyata-nyata sehat dengan keselamatan menantu Ibu?”Gito bertanya tanpa memalingkan wajah, terdengar dari intonasinya, ia sangat kecewa dengan tindakan sang ibu yang gegabah.“Sia-sia aku dengan Kiai ke rumah memusnahkan semua barang pemberian jin. Justru Dinda yang akan disembuhkan telah ilang dibawa jin. Ya Allah! Harus gimana lagi?”tanya pria berambut cepat ini ke arah penyesalan diri.“Mas Gito, Bu Teti, ambil wudu lagi, yuk. Biar pikiran lebih jernih lalu kita kumpul berdoa lagi di musala,” ucap Pak Kiai yang menghampiri keduanya.Akhirnya, Gito mengajak ibunya mengambil wudu lalu menuju musala. Pak Kiai telah menunggu mereka dengan berzikir. Saat keduanya telah siap, Pak Kiai segera meminta Gito untuk mengumandangkan azan untuk pelaksanaan salat Asar.•••¤•°•¤•••Sementara itu di dunia lainSaat Dinda memasuki dunia ini seketika musnah pakaian yang dikenakan. Mustafa yang menyadari hal tersebut segera menyelimuti tubuh wanita tercintanya. Kemudian sosok
TEKA-TEKI MULAI TERJAWAB“Memang berat di hati dan pikiran. Jangankan Ibu, aku pun jauh lebih terpuruk lagi. Percayalah, Bu! Pertolongan Allah akan segera datang jika kita bersabar, yakin dan percaya hanya pada-Nya.”Bu Teti menunduk lalu mulai beristighfar. Ia tak ingin terburu nafsu lagi. Rasa sedih dan galau karena harus terpisah lagi dengan Dinda membuatnya mata gelap. Ia tak ingin mengacaukan usaha mereka lagi.“Mas, Ibu ... panaas! Kepalaku pusiiing!”Suara Dinda terdengar seperti orang kehabisan napas.“Sayang, baca istighfar dan Surat An-Nas,” sahut Gito mencoba menenangkan istrinya sambil mengetuk dan mengelus dinding. Pria ini merasa terenyuh dengan nasib yang harus dialami sang istri. Hatinya hanya tertuju pada kekuatan Sang Pencipta saja dan tak ingin tergoyahkan oleh apa pun. Justru ibunya saja yang sering terbawa emosi dan tak berpikir panjang. “Mari Bu Teti dan Mas Gito, kita baca Yasin sebanyak tiga kali lanjut selawat Nabi,” ucap Pak Kiai sambil menggeser letak duduk
“Sayang, masih di sini?” tanya Gito sembari menempelkan salah satu telinganya ke dinding.Bu Teti meraba dinding dari atas ke bawah, tapi tak didapati apa pun selain permukaannya yang rata.“Nduk, kamu di mana?”Baik Bu Teti maupun Gito kebingungan di bawah pengawasan Pak Kiai yang tersenyum penuh arti.“Tua bangka! Keluarin aku dari sini!”Tiba-tiba terdengar suara dari arah toples.Benda tersebut tampak bergeser hampir menyentuh bibir bufet. Gito segera berlari menyelematkan benda tersebut sebelum jatuh.“Alhamdulillah!”Gito berseru sembari mengusap tetesan keringat yang menetes di dahi.Pria ini sempat panik saat mengetahui toples sudah bergeser akan jatuh. Kedua tangan kekarnya mencengkeram benda bening berbahan dasar kaca tersebut lalu mengangkat sejajar dengan kepala.“Hai, Jin! Meski aku tak bisa liat wujudnya, tapi bau kasturi telah mewakili keberadaanmu. Jangan lagi ganggu istriku! Cari dari bangsamu.”“Hahaha ... Dinda lebih mencintaiku. Dia akan tetap jadi permasuriku.”Gito
“Hei, Pak Tua! Dan bisa kupastikan, bacaan ngajiku lebih merdu dari Gito.”“Insyaallah lebih bagus tapi belum tentu lebih salih,” jawab Pak Kiai yang membuat Mustafa bertambah gusar karena merasa diremehkan.Ia yang ingin selalu terlihat sempurna di mata sang pujaan hati merasa kalah mental lewat kata-kata pria bersorban putih tersebut.“Tahu dari mana bacaan ngajiku?” tanya Gito lirih kepada sang istri dan Dinda pun hanya bisa menggeleng.“Ia tinggal di dekat rumah Mas dan selalu masuk rumah mengawasi gerak-gerik kalian berdua. Tentu saja akan melihat dan mendengar sendiri saat kalian salat atau mengaji,” sahut Pak Kiai seketika.“Kamu takut bersaing, Gito?”Tawa mengejek Mustafa bergema seantero ruangan membuat sakit telinga.Gito hanya tersenyum simpul menanggapi pertanyaan konyol dari jin Timur Tengah ini. Pria berambut cepak ini segera mendekat ke etalase dan tepat di hadapan toples—tempat Mustafa terkurung—ia menempelkan mulut.“Allohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum, laa t
“Bu, kardus di atas etalase aku pake wadah, ya?”“Pakai aja, Le! Nduk, tolong kamu ambilkan tali rafia di laci bufet ruang tengah.”“Ya, Bu,” balas Dinda yang kemudian bergegas melangkah ke bufet mengambil kedua benda tersebut.Gito mengangkat kardus berisi dua toples lalu melangkah ke arah meja makan. Kedua sisi tutup kardus dirapatkan. Dinda segera menghampiri sang suami dan membantu menggunting tali rafia yang diperlukan. Akhirnya kardus sudah rapi, meskipun sempat ada insiden pemberontakan kecil dari toples berisi Mustafa. Namun, dapat diatasi segera oleh Pak Kiai dengan tersenyum. Pria tua berjenggot putih ini mengetok toples dengan membaca doa, Mustafa langsung minta ampun.“Masyaallah rapi banget. Mas Gito dan Mbak Dinda membungkus toples kayak mau dikirim jauh. Terima kasih sekali atas bantuannya.”“Kami yang harusnya berterima kasih kepada Kiai. Semoga kebaikan Pak Kiai dibalas oleh Allah dengan banyak berkah.”“Aamiin. Terima kasih, Bu Teti.”Berempat melangkah menuju ruang
Mustafa merasa Dinda adalah calon permasurinya dan kini sedang memacu gairah bersama pria selain dirinya. Ia yang cemburu buta makin tak terkendali.Kedua tangan terkepal lalu diangkat ke arah meja makan dan tak berhasil mengeluarkan kekuatan yang diinginkan. Sosok ini mencoba kembali, tapi tak berhasil juga.“Brengsek! Ini pasti ulah si Tua Bangka. Kekuatanku hangus oleh ilmu dia. Bedebah!” Sosok tinggi besar ini sekali lagi mencoba mengangkat tangan dengan mengatur napas lalu mengerahkan tenaga dalam dan gagal kembali. Kedua mata besar yang merah tampak membara bagai api dalam sekam.Bola mata melotot seakan-akan mau keluar. Embusan napas memburu berakhir dengan dengusan panjang.Mustafa pun lenyap dengan meninggalkan aroma kasturi yang menguar teramat tajam.Aroma tersebut memenuhi semua sudut rumah, hingga membuat rasa sesak di dada. Bu Teti yang berada di ruang tamu sampai terbayuk-batuk lalu segera membuka pintu depan. Wanita separuh baya ini menghidupkan seluruh kipas yang ada
“Eh, tapi .... suamimu kok belum dateng-dateng, ya. Udah ketemu belum dengan Kiai. Tolong ambilin ponsel Ibu di meja makan, Nduk.”“Baik, Bu,” jawab Dinda yang kemudian melangkah masuk menuju ruang tengah.Ia mengambil ponsel mertuanya lalu kembali ke arah teras. “Kamu telepon suamimu. Udah sampe mana dia?”Dinda segera membuka menu dalam ponsel lalu mencari nomor kontak Gito. Begitu ketemu, ia segera menghubungi suaminya.“Assalammu'alaikum, Sayang.”“Wa'alaikumussalam. Mas, udah ketemu Kiai?”“Alhamdulillah udah ketemu di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ada apa dengan Kiai?”“Kiai kecelakaan ditabrak motor. Beliau masih pingsan. Mas tungguin sampe siuman, biar tahu keadaan pastinya.”“Innalillahi wa'inalillaihi rajiun. Udah kasih tau keluarga Kiai?”“Udah.”“Parah, Mas?”“Insyaallah enggak. Cuma luka lecet dan ada sobek di kening sedikit. Moga gak ada masalah di kepala.”“Mudah-mudahan. Aamiin.”“Mas urusin Kiai dulu, ya. Banyakin baca doa. Bisa jadi, kedua jin lepas karena toplesnya p
Dinda yang melihat sang ibu mertua berbicara seolah-olah ada dirinya di dapur menjadi semakin keheranan. Apalagi masakan yang dibicarakan Bu Teti tak terlihat juga.“Bu, aku di sebelah sini bukan di dapur,” ucap Dinda mendekati sang mertua, akan tetapi Bu Teti seakan-akan tak mendengarkan dan melihatnya.Wanita separuh baya ini semakin asik memegang sesuatu di meja dapur. Sementara, yang dipegang oleh mertuanya tak tampak oleh Dinda. Wanita muda ini semakin kebingungan lalu segera berlari ke ruang tengah dan mengambil ponsel. Ia segera menelepon Gito.“Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam. Mas, cepetan pulang. Darurat! Ibu ....”“Sayang, ada apa?”Dinda sudah tak mendengarkan suara suaminya lagi. Wanita ini syok melihat di depan matanya, tubuh sang mertua melayang dengan kepala hampir menyentuh plafon. Di tangan wanita separuh baya dengan pandangan kosong tergenggam sebuah pisau yang cukup tajam.“Dinda? Sayang? Ada apa? Mas segera pulang. Perbanyak zikir dan selawat.”Sambungan tel
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu