“Makasih, Bu,”ucap Dinda.“Sama-sama, Nduk. Barusan Ibu telah pesan jamu buat kamu di penjual jamu keliling.”“Wah, seger ini. Aku juga mau minum jamu.”“Sudah pasti, kamu juga, Le. Kita semua harus minum jamu, biar segar kembali. Terutama Genduk.”Mustafa yang kesakitan masih bertahan di sekitar rumah. Sosok Timur Tengah ini bertengger di atas atap rumah. Sosoknya yang tinggi besar seketika membentuk sebuah bayangan sehingga mampu membuat redup lingkungan sekitar. Para tetangga Bu Teti buru-buru memasukkan jemuran karena menyangka hujan deras akan segera datang.“Jamila, itu anak kita. Calon putra mahkota. Kau tak akan bisa punya anak dari laki-laki pembunuh. Mustafa menginginkanmu.” Suara Mustafa bergetar diikuti isakan berkamuflase sebagai hujan dan petir, tetapi dalam gendang telinga Dinda adalah sebuah raungan yang bergema. Sesaat setelah Mustafa menghujat, Gito mengajak sang istri dan ibunya masuk ke rumah.“Ujan petir tiba-tiba gini? Padahal dalam perkiraan cuaca, hari ini cer
“Bu, perlu kita adain pengajian di rumah ini dalam waktu dekat. Biar rumah bersih dari gangguan. Oh, ya. Kiai dan para santri, kita undang ke sini juga.”“Emang Kiai sudah sembuh, Le?”“Hanya lecet biasa, Bu. Kemarin itu pingsan karena kaget. Barusan kirim pesan, memberi saran untuk mengadakan pengajian.”“Alhamdulillah! Moga Kiai selalu sehat, Mas," sahut Dinda seraya tersenyum.“Aamiin. Udah gak takut lagi?”tanya Gito yang masih terlihat cemas akan keadaan sang istri. “Insyaallah gak takut. Cuma kaget aja. Dia muncul tiba-tiba di sebelahku. Sekarang pun ada di dekat kita.”“Bismillahirrahmanirrahim. Moga Allah selalu melindungi kita.”“Aamiin.”▪▪▪¤•°•¤▪▪▪Tepat tengah malam, Dinda terbangun merasakan kandung kemihnya penuh dan ingin pergi ke toilet. Sementara ia lihat sang suami sedang tidur pulas, jadi tak tega membangunkannya untuk minta antar. Akhirnya, wanita muda ini perlahan turun dari ranjang lalu beranjak keluar kamar.Dinda menghidupkan lampu ruang tengah seraya beranjak
“Bu, perlu kita adain pengajian di rumah ini dalam waktu dekat. Biar rumah bersih dari gangguan. Oh, ya. Kiai dan para santri, kita undang ke sini juga.”“Emang Kiai sudah sembuh, Le?”“Hanya lecet biasa, Bu. Kemarin itu pingsan karena kaget. Barusan kirim pesan, memberi saran untuk mengadakan pengajian.”“Alhamdulillah! Moga Kiai selalu sehat, Mas," sahut Dinda seraya tersenyum.“Aamiin. Udah gak takut lagi?”tanya Gito yang masih terlihat cemas akan keadaan sang istri. “Insyaallah gak takut. Cuma kaget aja. Dia muncul tiba-tiba di sebelahku. Sekarang pun ada di dekat kita.”“Bismillahirrahmanirrahim. Moga Allah selalu melindungi kita.”“Aamiin.”▪▪▪¤•°•¤▪▪▪Tepat tengah malam, Dinda terbangun merasakan kandung kemihnya penuh dan ingin pergi ke toilet. Sementara ia lihat sang suami sedang tidur pulas, jadi tak tega membangunkannya untuk minta antar. Akhirnya, wanita muda ini perlahan turun dari ranjang lalu beranjak keluar kamar.Dinda menghidupkan lampu ruang tengah seraya beranjak
“Kamu tak salat? Kuliat kamu semalam salat, kan?”“Iya, aku sudah selesai salat.”“Alhamdulillah! Aku salat dulu.”Dinda segera bangkit dari tempat tidur lalu beranjak menuju kamar mandi. Wanita ini mandi besar untuk menghilangkan hadas besar. Di bawah guyuran air, tangisan tak terbendung. Ia telah digauli bukan suaminya dan itu bukan bangsa manusia.Dinda merasa malu dan ngeri, apalagi kini di dalam perutnya bersemanyam benih dari perbuatan zina mereka. Dinda meratapi nasib dengan airmata berlinang.Beberapa menit kemudian, ia telah selesai mandi dan berwudu. Ia keluar dari toilet langsung menuju musala kecil. Dinda pun segera mengenakan mukena dan memulai Salat Zuhur.“Ya Allah, lindungilah aku! Betapa hina dina tubuhku ini. Beri aku petunjuk.”Dinda menangis sesenggukan dalam musala dan tangisannya terdengar oleh Gito.Sayang, Mas segera ke sana. Terus baca doa, ucap pria ini dalam hati.Ajaibnya, ucapan dalam hati sang suami didengar oleh Dinda dan wanita ini enggan beranjak dari
“Mari bawa ke depan, Mas. Kita hancurkan saja agar tak dipake sebagai sarang jin.”Gito dengan dibantu para santri segera mengangkat keranjang bambu tersebut ke halaman. Pak Kiai mengikuti mereka. Dinda yang keberadaannya hanya mampu dirasakan oleh Gito dan Pak Kiai ikut melangkah keluar rumah. Sementara Mustafa telah lebih dulu berdiri di atap rumah, hingga membuat bayangan besar di sekeliling rumah. Para santri seketika mendongak lalu dengan dipandu Pak Kiai melafazkan surat-surat penghalau jin.“Mas Gito tolong segera dibakar barang-barang di keranjang. Kita musnahkan pengaruh jahat makhluk tak tahu diri ini. Biar kembali ke dunianya.”“Baik, Kiai!”Gito menuangkan minyak tanah lalu mematik korek kayu dan dilemparkan ke dalam keranjang. Seketika api berkobar membakar barang-barang tersebut. Kiai memerintahkan para santri tetap melafazkan ayat-ayat suci.Pria berjenggot putih ini segera mendekati arah keranjang sebuah lembaran berisi tulisan arab dilemparkan ke tengah kobaran api.
“Kiai, Bu Teti kesurupan. Ia mengamuk, kami telah berusaha menenangkan. Tubuhnya mengeluarkan hawa panas membuat sarung tangan kami terbakar hingga kulit bagai terpanggang. Bagaimana, Kiai?”Terdengar suara salah satu santri dari ujung telepon. “Astaghfirullah hal adzim! Pasti Bu Teti ini punya amalan tertentu yang tak sesuai syariat agama Islam. Lanjutkan doa dan zikir. Saya akan segera ke sana," balas Pak Kiai sembari menggelengkan kepala.Pak Kiai segera menghampiri Gito yang masih duduk kecapekan sambil memangku Dinda.“Saya mau tanya. Setau Mas, maaf sebelumnya. Bu Teti punya mantra atau ritual tertentu?”“Saya gak tau soal mantra, tapi Ibu sering kasih sandingan buat leluhur tiap malam Jumat Legi dan kadang malam-malam tertentu," jelas Gito dengan ekspresi heran dan ia merasa yang sedang ditanyakan pria bersorban ini pasti ada hubungannya dengan kegiatan mereka sekarang. “Astaghfirullah hal adzim! Pantas aja," jawab Pak Kiai dengan nada suara kaget.“Ibu, kenapa, Kiai?”“Bu Te
“Anak durhaka! Mana Dinda? Suruh keluar!”teriak wanita separuh baya ini yang tampak semakin memerah raut wajahnya.Tiba-tiba dari mulutnya keluar bola api yang mengarah ke tempat Gito duduk. Bola api sebesar bola tenis ini semakin membesar saat mendekati tubuh pria berambut cepak ini.Namun, bola itu tak bisa menyentuh kulit Gito sedikit pun. Bulatan bara tersebut seketika musnah lalu menguap ditelan udara hampa. Wanita berwujud Bu Teti semakin geram dengan reaksi Gito yang tetap geming.“Kamu pasti gak akan diem lagi. Andai ibumu kubawa pergi.”Kata-kata berisi ancaman dari wanita separuh baya ini sukses memicu amarah Gito. Pria berambut cepak dan selalu sopan dalam bertutur kata, akhirnya berdiri dan mendekati sosok yang menyerupai sang ibu.“Hai, makhluk jejadian. Kembalilah ke alammu! Kami tak butuh dirimu,” ucap Gito penuh amarah yang tampak jelas dari sorot matanya merah dan kepalan tangan berurat. “Manusia tak tahu diri! Kamu tak ingat? Ibumu adalah pengikut setia bangsaku.”
Kini di tanah depan teras letaknya persis lurus menghadap pintu masuk, Bu Teti memberi tanda.Pak Kiai segera meminta salah satu santri membantu memusnahkan tumbal tersebut dengan cara gaib.Tampak sang santri berkeringat saat membaca doa dan itu dirasakan oleh Pak Kiai juga.“Astaghfirullah hal adzim! Subhanallah! Allahu Akbar!”Pak Kiai menggeleng-gelengsambil tersenyum karena keheranan dengan yang telah Bu Teti lakukan.“Bu, percaya dan yakin, hanya Allah sebaik-baiknya pertolongan.”“Iya, Kiai. Saya minta maaf telah khilaf,” balas wanita separuh baya ini sembari menunduk.“Mohon maaf pada Allah lalu segera bertobat dan jangan lupa kasian anak dan menantu yang telah jadi imbas perbuatan Ibu.”“Iya, Kiai.”“Buat bahan renungan bersama. Jangan percaya bujuk rayu setan. Yang bisa menjaga kita dari mara bahaya dan juga gangguan ilmu hitam sekali pun hanya Allah. Mohon perlindungan hanya pada-Nya.”Bu Teti semakin merasa bersalah mendengar wejangan dari Pak Kiai lalu memeluk Dinda dan me
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu