Dengan malas aku bangkit untuk membuka pintu. Memberikan sesuatu, agar dia bisa tidur nyenyak malam ini. Mataku membelalak saat pintu telah kubuka. Ren berdiri dengan tatapan dingin di depan pintu.Aku kembali menutup sekat pembatas itu agar tak lagi berurusan dengannya. Namun dengan cepat dia menahan dengan tangan besarnya. Pandangan kami seketika terpaku, lalu kemudian dia mendorong pintu hingga terbuka lebar. Otomatis aku harus mundur ke belakang, atau keningku yang akan terbentur oleh benda berbahan kayu itu. Dia masuk tanpa kupersilakan. Merapatkan pintu dan menguncinya. Sempat kulirik saat dia memasukkan kunci ke dalam saku celana. Selalu saja seperti itu caranya agar aku tak kemana-mana. Aku memutar bola mata, mulai terbiasa."Tak bisakah kau sekali saja tak membuatku merasa kesal?" Aku memasang tampang sinis.Dia tak menjawab. Matanya berkeliling, menyisir tiap sudut ruangan di kamar ini. Berjalan pelan melewatiku menuju kasur dan duduk di sana. Mengeluarkan sebungkus rokok
"Maafkan aku, May. Bara akan menginterviewku hari ini. Aku sudah pesankan susu dan langsung mengirimkannya ke sana." Daryan memberi kabar melalui panggilan suara.Aku mengiyakan, mencoba memberi dukungan dan memintanya agar fokus dan tidak memikirkan hal yang harusnya menjadi urusanku. Dengan dia memutuskan untuk mulai bekerja saja sudah membuatku merasa senang. Lagipula, aku sudah terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tak perlu ada dia yang nantinya bisa membuatku merasa ketergantungan.Entah rasa bahagia ataukah berduka tentang keputusannya. Di satu sisi, aku senang karena kini dia akan hidup normal seperti orang-orang pada umumnya. Menjalani aktivitas sehari-hari dengan bekerja. Tak lagi keluyuran kesana kemari menghabiskan waktu dengan percuma.Namun di sisi lain aku juga merasa kehilangan. Dia yang sehari-hari menemaniku tak kenal waktu, kini pasti akan mulai membatasi diri karena jadwal kerjanya. Merasa ada sesuatu yang kosong dan membuatku rindu.Tak lama kulihat Anyelir muncul.
Aku membalas senyuman Anyelir. Bagiku tak ada satu pun manusia yang ingin terlahir dengan menjalani hidup yang buruk. Termasuk aku, ataupun dia. Hanya tinggal bagaimana cara kita menjalaninya saja.Setidaknya aku masih beruntung, karena masih terselamatkan oleh dua orang itu. Hingga sampai hari ini tubuhku masih juga terjaga. Berbeda dengan anyelir. Kehidupan keluarganya tidak lebih baik dari aku, dan dia sudah kehilangan 'itu'."Kau menceritakan yang harusnya tak kau ceritakan, Anyelir." Aku meletakkan "strawberry boba" pesanannya. "Oh, masalah itu?" Dia langsung paham tentang pengaduannya pada Ren. Aku mengangguk."Aku hanya menceritakannya sekilas saja. Dia terlihat begitu panik dan langsung pergi meninggalkanku. Sejak itu aku jadi mengerti sesuatu." Dia mengedipkan sebelah matanya, menggoda."Tidak terjadi apa pun pada kalian?" selidikku."Ouh, kau tenang saja. Dia bahkan tak melirikku sama sekali.""Mana mungkin. Dia itu mata keranjang." Aku berdecih.Anyelir tertawa."Aku harap
"Kau mau apa?" tanyaku, mendengar ucapannya yang menggantung. Dia terlihat ragu."Lupakan saja!" ucapnya kemudian. "Kau masuklah. Aku akan pulang." Aku sedikit kecewa, namun akhirnya mengangguk setuju."Ren?" Aku memanggil, saat dia melangkahkan kaki. Ren berbalik, menatapku."Ada apa?"Sejenak aku terpaku. Entah bagaimana cara mengatakannya."Ada yang ingin kau sampaikan?""Aku...." Aku menatap ragu. "Apa?""Aku minta maaf." Matanya memicing."Maaf karena selalu membuatmu kecewa."Dia sejenak terdiam. Kemudian tersenyum. Senyum kekecewaan, tentu saja."Aku sudah terbiasa. Setahun belakangan sikapmu jauh lebih kasar dari ini. Apa yang kutakutkan?""Ren?""Aku sudah terlalu lama menunggu. Apa kau pikir aku akan menyerah hanya karena sikapmu saat ini? Jangan bermimpi. Kau tidak akan bisa ke mana-mana. Kau akan bergantung padaku selamanya." Dia kembali membalikkan badan, lalu melangkah pergi.Gengsi tetaplah gengsi. Sebesar apa pun rasanya kini, tak juga bisa membuatnya mengalah, apa l
Aku masih menunggu di pinggir jalan menuju pintu parkiran. Mungkin saja dia baru datang dan melihatku berdiri di sini. Aku tak mau membuatnya merasa kehilangan. Dia sendiri yang menyuruhku jangan pergi sebelum dia datang.Akhirnya semua lampu hampir padam setelah pukul sebelas malam. Air mataku benar-benar menetes tanpa bisa kutahan. Menyesal?Tentu saja. Harusnya kutonton saja film itu sendiri. Tak harus masuk bersamanya. Tak ada larangan menonton film sendirian, asal aku membayar. Aku mengusap sudut netra, kemudian mencari aplikasi di ponsel yang bisa mengantarku pulang.Hampir tengah malam aku sampai di depan pagar tempat tinggal. Memberikan upah pada driver seperti yang sudah disepakati. Baru saja aku hendak membuka kunci kamar, tangan seseorang menyentuh pundakku. Aku terlonjak kaget, saat berbalik. Sebuah benda dingin mengkilap kini menempel di leherku.Belum cukupkah kesialanku sampai saat ini?"Siapa kau?" Mataku membelalak melihat seseorang yang tak pernah kulihat sebelumny
Suara sepeda motor terdengar dari arah luar. Aku mengintip dari tirai jendela, lalu menarik napas lega saat tahu siapa yang berada di luar sana.Matanya membesar, melihat sesuatu di diriku setelah pintu terbuka. Gurat keterkejutan tergambar jelas di wajahnya."Apa yang terjadi padamu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku hanya bisa menatapnya dengan bibir bergetar dan pipi yang kini telah basah."Aku tanya, kau kenapa?" Setengah berteriak tangannya memegangi bagian leherku yang terluka dan berdarah.Aku menangis sesenggukan sambil menceritakan apa yang terjadi. Dia bergegas masuk sambil menyisir seisi ruangan. Lalu kembali beralih ke arahku. "Apa dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" Dia mengguncang bahuku. Aku menggeleng."Katakan!" Kini dia mulai berteriak. Aku kembali menggeleng dengan cepat. Pria itu hanya butuh uang. Tak tertarik sedikit pun menyentuhku."Bukankah sudah kukatakan jangan tinggal sendirian? Harusnya kau tinggal bersama adikmu. Kenapa kau tak pernah mendengarkanku?
"Ibuku yang menyediakan ini," ucapnya kembali, seolah menjelaskan pertanyaanku tadi."Ibumu pasti tahu kau suka berkelahi," sahutku. "Ish, aww. Sakit, Ren!" Aku langsung memekik begitu dia menekan lukaku dengan sengaja."Jangan sok tahu!" gerutunya. Aku meringis."Apa lukanya dalam? Bekasnya nanti hilang, tidak?""Kau tak perlu khawatir, sejelek apa pun hasilnya aku tetap menerimamu.""Hish, Ren!" Aku mendorong bahunya. Dia tertawa kecil, lalu mengolesi lukaku dengan salap."Kenapa bajingan itu bisa masuk ke kamarmu? Kenapa kau bisa begitu ceroboh membukakan pintu pada orang asing, ha?" Dia kembali menginterogasi usai menempel plaster tuk menutupi lukaku.Aku menceritakannya secara detil. Tentang bagaimana pria itu menunggu sebelum aku sempat masuk dan mengunci pintu. Lalu kulihat wajahnya kembali menegang, menahan emosi. "Kau ini bodoh, ya?" Dia kembali menggeram.Apa ada kata-kataku yang salah? "Sampai kapan kau akan menunggu si brengsek itu di sana, ha? Sudah kubilang pria itu t
Aku langsung melempar bantal ke arahnya. Dia tertawa kecil, sambil memungut benda empuk tadi dan mendekapnya ke dada."Kenapa kau suka sekali mengerjaiku, ha?" Aku bersungut."Ini kamarku. Terserah aku mau tidur di mana." Dia meletakkan kembali bantal itu, lalu merangkak naik menuju ke arahku. Mataku langsung membesar, kemudian berusaha menjauh.Belum lagi aku beringsut turun, tangan besarnya langsung menangkap pinggangku dari arah belakang."Mau kemana kau?" Dia menarik dan merapatkan tubuhku ke dadanya."Apa yang kau lakukan, Ren? Lepaskan aku!" Aku meronta, dan memukuli kedua tangannya yang kini melingkar di perutku."Kau sudah berani untuk ikut aku ke mari. Kau sudah tahu resikonya, kan?" Suaranya sengaja dibuat sehoror mungkin."Tapi kau sudah berjanji. Laki-laki itu yang dipegang janjinya, Ren. Kau itu laki-laki atau bukan?" Aku menggeliat, mencoba melepaskan satu persatu jemarinya."Oh, kau mau bukti kalau aku ini laki-laki?""Ren!" Aku memekik. Dia tertawa menang. "Sebentar s
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.
"Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti
Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel
Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu
Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb
Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap