Baru bangun tu disayang Yu, bukan diajak berantem :))
Hide menunjuk selimut yang ada di kursi, dan Inoue bergegas mengambil. Tapi saat ingin menebar kain itu di kaki Hide, Ryu mencegah. Ia menunjuk Ayu. Dan Ryu yang menang, Hide tidak jadi memprotes. Selimut itu memang untuk Ayu yang lagi-lagi tertidur menelungkup di dekat tangan Hide.Setelah pembicaraan mereka yang membuat Ayu kesal. Hide sempat tertidur karena pengaruh obat, dan menemukan Ayu juga kembali tertidur.Tapi bukan hanya ada Ayu, Inoue dan Ryu juga menunggu di dalam kamar. Mereka datang begitu Ryu menerima laporan dari dokter.“Apa aku perlu memindahkan Ayumi ke sofa?” bisik Ryu, bermaksud baik tentunya, agar Ayu lebih nyaman.Tapi Hide memberi balasan dengan pandangan mata, yang dengan sangat mudah diartikan ‘jika kau menyentuhnya, maka kau akan mati’. Belum lagi resiko Ayu terbangun dan melihat Ryu.“Oke. Aku hanya menawarkan.” Ryu kembali berbisik lalu mendekati ranjang.“Untuk apa kalian memberitahunya?” desis Hide.“Karena dokter mengatakan kau akan mati,” kata Ryu, lu
Inoue memeriksa catatan pada halaman berikut, dan menyebutkan hal yang harus diselesaikan Hide.“Nakano-san menghubungi Anda. Dia ingin…”“Tolak apapun yang diinginkannya. Aku tidak ingin mengurusnya sekarang,” potong Hide. Ia tidak sedikitpun ingin membuang waktu dengan mengurus tunangan palsunya saat ini.“Lalu bagaimana dengan yang aku minta beberapa hari yang lalu?” tanya Hide. Meminta laporan hasil penyelidikan yang kemarin diperintahkan.“Saya baru sempat memeriksa separuh dari yang ada, dan sudah menemukan beberapa kasus yang hampir mirip seperti itu. Saya bisa memberikan laporan yang ada, tapi tentu belum akan lengkap.” Inoue bekerja cepat, tapi bukan berarti ajaib. Jumlah data yang diperiksanya berlingkup sangat luas.“Kalau begitu nanti saja setelah lengkap. Semua sekaligus.” Hide tentu saja maklum.Inoue mengangguk, dan kembali mencatatkan perintah itu pada tabletnya.“Pastikan tidak ada yang tahu apa yang kau lakukan. Aku tidak ingin pihak-pihak yang terlibat mulai curiga.”
“Ini apa?” Ayu bingung saat menerima jaket dan topi dari Inoue. Dia tidak membutuhkan pakaian tambahan apapun.“Anda harus memakainya,” kata Inoue.“Hah? Untuk apa?”Ayu memandang pakaiannya sendiri. Hari ini dia memakai kaus dan celana panjang hangat juga kardigan, tidak perlu jaket lain. Topi masih bisa dimaklumi, tapi tidak dengan jaket.“Pakai saja. Berikan cardigan itu untuk Inoue. Kau pakai jaket dan lipat rambutmu di dalam topi.” Hide menyahut sambil berdiri dari ranjang. Mengernyit karena sakit, tapi tetap maju dua langkah menghampiri Ayu.“Kalau kau ingin pulang bersamaku, maka kau harus memakainya. Jaket dan topi ini.” Hide mengambil topi dari tangan Ayu, lalu memutar tubuhnya.“Hm?” Ayu tentu saja menurut, terlambat juga untuk memprotes. Hide berdiri di belakang Ayu dan merangkum rambut panjang Ayu dalam tangannya, lalu melipatnya ke atas.“Kenapa kau memanjangkan rambut? Biasanya kau lebih suka yang ringkas.” Hide tidak ingat kapan Ayu terakhir kali memiliki rambut panjang
“Oh, sudah berubah.” Ayu kaget saat mereka sampai di rumah Hide.Ada beberapa perubahan yang karena keadaan Hide, terutama di kamarnya. Kamar Hide memiliki ranjang besar. Mode modern dengan bed cover warna tanah dan bantal hitam.Sedikit tidak cocok dengan suasana, tapi estetika tidak akan begitu penting dibanding kenyamanan Hide. Tubuhnya akan menerima tekanan lebih jika harus bangun dari lantai setiap kalinya.“Ya. Dan untung saja.”Hide melangkah dengan tongkat, dan perlahan—dengan gerakan sangat pelan berbaring di ranjang itu. Jika tidak ingat lukanya, Hide akan menghempaskan diri ke atas ranjang itu. Ia membuang tongkat yang ada di tangannya dan menghembuskan napas lega.Hide mulai mengerti apa alasan dokter melarangnya pulang. Tubuhnya sudah merasa amat sangat letih padahal hanya
Hide memandang Ayu yang sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Hide tidak menyukai pemandangan itu, karena Ayu memakai seragam Shingi Fusaya“Kau akan berangkat?”Pada saat yang sama Hide memaki dalam hati. Sepertinya Ryu akan kehilangan satu nyawanya lagi karena tidak bisa mencegah Ayu berangkat kerja, padahal sudah jelas dia pemilik kekuasaan tertinggi dari Shingi Fusaya saat ini. Seharusnya hal itu dengan mudah bisa dilakukan.“Ya, tentu saja. Aku sudah mengatakan kemarin jika aku harus bekerja bukan? Aku sudah menyiapkan makan siang juga,” kata Ayu, sambil menunjuk kulkas. Dia menyimpan makan siang di situ.Hide tidak menyahut dan melangkah menuju kursi.“Aku tadinya ingin membawa sarapan ke kamar, tidak perlu ke sini,” kata Ayu, dia sudah meletakkan sarapan Hide di nampan.Ayu tidak ingin Hide banyak bergerak. Luka itu membuatnya cepat lelah. Hide juga masih memakai tongkat, dan berjalan lambat unt
Masih dengan gelisah, Ayu membawa tas perlengkapan—obat dan perban, lalu menggeser pintu kamar Hide sampai terbuka. Pemandangan yang ada di depannya, membuat Ayu ingin berbalik dan lari. Tapi kakinya tetap diam pada akhirnya. Hide sedang duduk diatas ranjang, dan melepaskan kancingnya satu persatu, berurutan.Ayu berharap Hide sudah melakukan hal itu sejak tadi, jadi ia hanya perlu mengganti perban saja, tidak perlu melihat proses bagaimana Hide membuka kemeja. Hasilnya mungkin sama—Ayu akan melihat tubuh Hide—tapi proses sangat mempengaruhi. Fatal.Melihat bagaimana tubuh Hide terbuka sedikit demi sedikit, terasa lebih buruk—atau mungkin lebih baik, Ayu tidak bisa memutuskan—daripada saat melihatnya secara langsung terbuka lebar.Ayu menghela nafas, memalingkan kepalanya setelah beberapa detik—setelah
“Bukankah seharusnya kau sedang sibuk? Kenapa menggangguku?” Kyoko menjawab telepon dari Ayu dengan sedikit ketus.Ayu bisa membayangkan apa yang menyebabkan hal itu. Pasti sekarang Kyoko sedang menonton atau membaca manga, dan jengkel karena Ayu mengganggunya. Sikapnya saat bekerja maupun sedang membaca manga biasanya sama. Sangat tidak suka saat ada yang mengganggu.“Ya, aku sibuk tadi. Sudah selesai tapi. Aku sudah memasak dan lain-lain,” kata Ayu, sambil duduk di rumput, yang ada di tepi kolam ikan, di taman tengah.“Lalu sekarang kau bosan dan menghubungiku? Akhirnya ingat padaku?” Selain ketus, Ayu bisa mendengar Kyoko yang sedang jengkel. Dan Ayu juga tahu apa sebabnya.“Aku bukannya tidak ingin berpamitan denganmu, tapi keputusan itu benar-benar mendadak. Kau tidak boleh marah padaku, Kyoko-chan,” kata Ayu, setengah merayu.Kyoko sedikit marah saat Ayu tiba-tiba meninggalkan apartemen tanpa be
“Aku coba dulu.” Hide melepaskan tongkatnya, dan mencoba berdiri.Ayu yang ada di belakangnya, tampak mengulurkan tangan mencoba untuk menangkap apabila Hide akan jatuh.Pikiran konyol sebenarnya. Karena tentu saja Ayu tidak akan mungkin bisa menangkap tubuh Hide yang beratnya dua kali lipat dirinya, bahkan mungkin lebih.“Bisa…” Hide bergumam, melangkah dan menahan napas saat merasakan sedikit tarikan nyeri pada dadanya.Tapi tidak seburuk dugaan. Sakit tapi masih bisa tertahan. Maka Hide menegakkan punggung dan melangkah dengan lebih cepat.Hide puas. Percobaan itu berhasil. Maka Hide mengangkat ke dua tangan ke atas, sikap saat mengangkat katana. Tapi itu berlebihan. Nyeri yang datang membuat Hide kembali menurunkan tangan. Masih perlu waktu untuk memulihkan gerakan tangannya seperti dulu.“Itu sudah kemajuan. Maksudku, kau bisa berjalan tanpa tongkat.” Ayu mengatakan itu untuk menghibur, karena
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Aku tidak ingin tidur denganmu.” Ryu mengulang pertanyaan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan, karena terlalu absurd. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengusap wajahnya.“Aku rasa kemampuanmu untuk menyimpulkan sesuatu sedang tidak amat tajam saat ini,” kata Ryu.“Tidak!” Kyoko tersinggung tentunya. Meski tidak langsung, Ryu kurang lebih menyebutnya bodoh.“Jangan marah, aku maklum malah. Aku akan kecewa kalau keadaan pikiranmu amat tenang saat ini.” Ryu tersenyum puas.“Aku bukan tidak tenang!” Kyoko menyanggah.“Kau baru saja bertanya tentang keinginanku tidur denganmu. Aku rasa hal itu termasuk gangguan yang membuatmu tidak tenang.” Ryu meninggalkan koper, dan mendekati Kyoko, yang mendadak panik, mundur menjauh.“Jangan mengingkari. Kau tidak akan berhasil membuatku berpikir sebaliknya.” Ryu terkekeh pelan melihat kepanikan itu.“Aku tidak…” Kyoko menggigit bibir, tidak punya balasan pintar karena tentu paham juga kalau sikap Ryu yang menjauh memang mengganggu untuknya.“Kemar
“Jangan membukanya sekarang. Kau akan basah.” Ryu menaikkan hoodie jas hujan yang dipakai Kyoko pada saat yang tepat, karena detik berikutnya, air dalam jumlah banyak, menghambur ke arah tempat mereka duduk. Seperti ada yang menyiramkan ember raksasa ke arah mereka. Ini karena pertunjukkan yang mereka lihat, melibatkan paus orca yang melompat keluar dari air. Tentu saat terjatuh akan menghempaskan air dalam jumlah banyak ke arah penonton. Ryu bertepuk tangan seperti yang lain, menghargai kerja keras mamalia raksasa itu, tapi Kyoko tidak bertepuk tangan sekalipun—bahkan sampai pertunjukan itu selesai. “Apa kau tidak menyukainya?” Ryu bertanya saat mereka berjalan keluar dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ryu meraih handuk kecil yang dibagikan petugas, lalu memakainya untuk mengeringkan rambut dan leher Kyoko. Meski Ryu menutup hoodie pada saat yang tepat, tapi masih ada bagian rambut dan leher Kyoko yang basah. “Kau tidak suka akuarium. Aku akan mencatatnya.” Ryu ters
“Aku ingin pulang.”Kyoko menyahut dengan tiba-tiba, saat Ayu baru saja mengoleskan lipstik berwarna pink di bibirnya.“Hah? Kenapa? Apa ada yang tertinggal?” Ayu menegakkan tubuhnya dengan kebingungan. Ayu sejenak memandang perlengkapan kimono yang akan dipakai Kyoko.Seharusnya tidak ada, karena memang kimono Kyoko lebih sederhana—tidak banyak pernik kecuali hiasan rambut. Tidak seperti yang dipakai Ayu saat menikah di Utoro.Rencana Ryu, mereka akan melakukan pernikahan yang sama seperti Ayu, tapi mau berkompromi, dan menjadi lebih sederhana, yaitu menikah di balai kota. Ryu tidak mungkin berani memaksa, karena tahu benar bagaimana sejarah Kyoko dengan bangunan kuil. Lagi pula pestanya akan tetap ada, hanya upacaranya saja yang berubah.Keputusan itu tentu saja tidak ada yang memperm
“Kau pasti gila!” Kyoko berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Sementara kepalanya mengingat-ingat apakah ada sedikit saja tanda Ryu tidak serius.Tapi semuanya serius. Ryu bahkan mengirim foto contoh kimono yang akan dipakainya pada hari pernikahan. Saat melihatnya, Kyoko mengira Ryu gila karena kebohongan mereka akan menjadi sangat sangat extra kalau sampai menyebut soal corak kimono.Namun, pada akhirnya Kyoko memilih, karena ingin mengakhiri pembahasan tidak penting itu. Pembahasan itu penting ternyata.“Apa kau akan diam saja?!” Kyoko membentak marah, melihat Ryu yang malah dengan santai menyesap bir dan memakan kacang yang juga dibawanya tadi.“Kau ingin aku melakukan apa?” Ryu mengernyit.“Ya batalkan itu semua! Hubungi mereka semua! Batalkan!” Kyoko duduk kembali di samping Ryu kemudian menyerangnya. Meraba pinggang Ryu.“Eh, tunggu! Jangan tiba-tiba menjadi agresif begini.” Ryu tentu saja kaget.“Agresif apa?! Ini! Hubungi mereka!" Kyoko hanya mengambil ponsel Ry
Ryu menggelengkan kepala saat kembali dengan mudahnya bisa membuka pintu apartemen Kyoko setelah memasukkan tanggal ulang tahunnya—dan akan datang lusa.Ryu sudah berpuluh kali mengingatkan Kyoko untuk pengganti password yang terlalu mudah ditebak itu. Bukan hanya sekali—saat dulu ia berhasil masuk untuk mencari alat penyadap, tapi beberapa kali setelahnya juga sama.Saat ini Kyoko sudah tidak lagi tinggal di Tokyo. Ia pindah ke Osaka karena memang pekerjaannya lebih banyak di daerah Osaka, setelah benar-benar aktif menjadi bagian dari Kuryugumi yang membantu Hide dan Ryu.Hanya Kyoko belum rajin bekerja setelah kunjungan ke rumah orang tuanya, dan tidak ada yang memaksa juga. Hide tidak menyuruh apapun, tergantung Ryu.Keamanan apartemen itu benar-benar lemah, terutama karena masih tidak ada suara apapun meski Ryu sudah berjalan memasuki ruangan selama beberapa saat. Sudah jelas Kyoko tertidur karena memang hari sudah cukup malam. Ryu memang langsung pergi ke apartemen itu setelah kem
Ayu mematut dirinya di cermin, menatap kimono baru yang akan dipakainya lusa. Kimoni itu dipesan khusus untuknya, jadi tentu semua pas. Tapi Ayu ingin melihat apakah warnanya cocok sesuai bayangan. Dan memang semua cocok. Jatuh dengan pas di tubuhnya, tidak berat dan panas. Itu yang penting, karena saat ini masih musim panas. Kimono modern dengan warna dasar putih itu, dihiasi oleh bunga sakura pink. Ayu bahkan menyiapkan hiasan rambut yang juga penuh dengan hiasan bunga sakura juga untuk melengkapinya. Ayu tidak memakai hiasan bunga itu sekarang, tapi saat mencoba untuk menempelkannya di kepala, warna pink itu juga cocok dengan rambut hitamnya. Semua beres kalau begitu. Ia sudah menyiapkan baju untuk Natsu, juga Hide. BRAK! Ayu tersentak dan menjatuhkan hiasan rambut di tangannya. Suara keras pintu geser yang tertutup itu, tentu membuatnya kaget. Untung saja Natsu ada di kamar sebelah, jadi tidak akan terganggu. Tidak terdengar suara tangis, bahkan saat suara langkah Hide saat m