POV IRFANBesok aku akan kembali ke London, entah kenapa berat saja rasanya hatiku meninggalkan Resti di Indonesia. Aku tidak biasa jika tidak melakukan aktifitas bersamanya, terlebih dia sekarang begitu dekat dengan ayanhya Arabela. Entah kenapa aku takut dia kembali bersama Aldi. Jujur aku masih mencintainya, namun saat aku mengenalkan Felicia waktu itu pada Resti, dia beranggapan bahwa aku telah melupakan segala perasaanku padanya. Dia menganggapku sahabat sejauh ini. Dari kamarku aku melihat Resti tampak mencari sesuatu di balik-balik sofa hingga karpet. Aku mengerutkan dahi dan mendekat."Kamu lagi cara apa sih Res?" tanyaku. Tanpa menoleh padaku dia tetap sibuk mencari."Itu Lo fan, kalung berlian aku , yang di beliin miss Alice waktu dia liburan ke jerman itu. Kok bisa gak ada ya di leherku," ujarnya. Aku sedikit melirik lehernya yang sudah tidak terpasang li
POV TAMAKembali aku kemasi semua foto itu dan membawanya pada Luna, aku tidak tau siapa yang mengirim semua foto ini. Yang jelas orang ini hanya bermaksud baik ingin memberi tahuku. Aku tidak tau lagi harus bagaimana, dadaku terasa panas dan aku gemetar. Langkahku gontai kembali ke rumah menemui Luna. Masih bisa kulihat dia tidur karna kelelahan. Api amarah dalam tubuhku kian menggebu. Tak bisa aku tata lagi hati yang berkecamuk ini. Reflek aku membalikkan tubuh Luna dan mencekik lehernya. Sontak saja Luna terbangun dan berteriak. Reflek aku menampar wajahnya. Aku sudah seperti orang kerasukan yang aku inginkan sekarang dia lenyap. Luna berontak dan bisa menghantam badanku sedikit kuat. Aku sedikit mundur dan wanita itu bisa berdiri."Mas...," lirihnya dengan mata berkaca-kaca mengusap lehernya, aku tertunduk dengan nanar. Namun dadaku terasa memanas kembali saat mengingat semua foto yang kuterima tadi. Aku berdiri d
POV RESTIGemetar rasanya membayangkan jika benar mas Tama meloncat dan aku terlambat, mendengar laporan Arya, yang beberapa hari ini mas Tama murung dan sering marah-marah. Aku tau dia sangat kacau akan keadaan ini. Akhirnya aku ingin memutuskan sendiri melihat keadaanya untung aku datang tepat waktu. Tak habis pikir saja rasanya kenapa bisa ia berfikir sesingkat itu hanya demi seorang Luna."Mas... Kenapa bisa kamu sebodoh ini!" bentakku. Mas Tama nanar melihat raut wajahku. Sedikit aku elus pipinya yang membuat dia sadar bahwa aku ini adiknya. Reflek mas Tama memelukku dan menangis histeris."Resti, kamu kemana aja? Mas sangat mencemaskanmu." tangisnya merangkulku erat. Aku membenamkan wajahku di dadanya."Resti ada urusan mas." singkatku kembali ia melihat dengan sedikit mendorong bahuku."Kamu sangat terlihat berbed
POV ARUMDengan langkah gontai aku mundur dan coba tak pedulikan perseteruan itu lagi. Tatapanku nanar dengan mata yang berkaca-kaca. Aku menelan serek kerongkonganku dan coba menoleh pada Raina yang terbaring. Sedangkan si sulungku tampak gundah menunggunya sadar. Merasa tidak aman disana Revan pergi menghindari mas Hadi. Aku diam tanpa kata menunggu mas Hadi dalam ruangan. Tak butuh waktu lama mas Hadi juga menyusulku ke dalam."Papa...., mimi kenapa belum sadar juga?" tangis Caca. Aku diam merangkul Andra diatas Sofa. Sedangkan baby sitternya berdiri disampingku."Sayang mimimu pasti baik-baik aja. Jadi jangan khawatir ya?' ujar mas Hadi merangkul anaknya. Selang beberapa menit Raina tersadar. Dia berteriak dan menangis histeris sontak saja aku berdiri dan memberikan Andra pada pengasuhnya."Jangan! jangan dekati. Hiks...." Raina mengigau. Caca p
POV ARUM"Mas Tama?" lirihku, pria itu berdiri menoleh padaku. Dalam waktu bersamaan mas Hadi dan keluarganya datang."Duh gak sabar mama mau ketemu Caca dan Andra, dah kengen banget," tutur mama berjalan hingga pintu masuk. Sedikit mata mas Hadi terbuka melihat aku dan mas Tama di ruang Tamu."Mama...," ucapku menyambut mertuaku. Mama tampak merekahkan senyum, aku mendekat. Sedangkan mas Hadi menghampiri mas Tama dengan bawaan yang di jinjingnya."Siang Tama? Saya sedikit terkejut melihat kedatanganmu," ujar mas Hadi menghanyak di sofa. Mas Tama tampak ikut duduk. Aku yang sibuk menyambut orang tua mas Hadi coba abaikan mereka berdua dulu."Mama sama papa, mau Arum bikinkan apa?" tanyaku membawa mereka ke ruang keluarga."Gak usah Nak, mama langsung liat Andra dulu," ujarnya, sedangkan papa
Pov ArumSehari setelah mas Tama berkunjung ke rumah waktu itu, aku coba melihat bingkisan yang dikasihnya untuk Andra waktu itu. Aku tersenyum melihat Mainan bola kristal yang bermotif langit malam di dalamnya. Sedikit aku cetek tombol untuk menyalakan suara, terdengar sound mainan itu berkata."Aku sayang mama...," deringnya. Sontak saja mataku berkaca-kaca. Kami pernah melihat permainan sejenis ini waktu itu di Mall, jauh sebelum semua masalah ini datang. Aku dan mas Tama yang tengah fokus untuk program hamil melihat ada mainan ini yang terletak di etalase. Sejenak langkah mas Tama terhenti dan mengambilnya. Dia terkekeh mendengar sound mainan itu dengan suara balita yang khas."Arum... kita beli ini ya? Nanti jika anak kita lahir. Dia pasti suka," ujarnya, aku hanya tersenyum dan meletakkan kembali mainan itu."Mas, lebih baik kita beli ya
POV ARUMMalam sudah semakin larut, ditemani angin malam dan kegundahan hatiku ini, aku berdiri di balkon menatap langit bertabur bintang. Mas Hadi belum pulang dari urusan bisnisnya keluar kota, sedangkan mama mertuaku sudah pergi kembali ke singapore.Terdengar sesekali tawa riang Caca dan miminya bermain di ruang keluarga. Tidak ada yang salah dengan wanita itu. Dia baik dan menghargai hubunganku dengan mas Hadi, segala kecuriga'anku ini hanya bentuk kecemburuanku, tapi bagaimanapun hatiku sangat menentang ini, aku tidak sanggup seatap dengan mantan istri suamiku, terlepas dia itu tak bertingkah atau bagaimana aku risih. Entah kenapa perasa'anku sangat tersiksa sekali.Cup..Kecupan lembut mendarat di pipiku, lamunan panjangku tak menyadari mas Hadi datang. Sedikit aku menoleh dan memandang senyum hangat suamiku itu."Ngapa
POV ARUMSetelah mas Hadi pergi, Raina menoleh padaku dengan senyum. Sedikit aku pasang wajah datarku dan tak bergeming."Hari ini kamu mau kemana Rum? Kita keluar ya? Kasian Caca katanya mau di ajak main." ujarnya, sedikit aku ubah raut wajahku dan berkata."Kamu bisa ajak Caca, hari ini. Aku ingin ke kantorku. Aku kangen sama Risa." sahutku. Sedikit Raina mengangkat alisnya."Oh begitu? Baiklah. Aku sama Caca jalan berdua aja." singkatnya. Raina beranjak memanggil anaknya ke belakang."Caca sayang...!" panggilnya. Aku diam sembari beranjak k edapur membereskan pekerjaanku.Setelah semua selesai, dua jam kemudian aku bermain di Ruang keluarga bersama Andra dan bik Ijah, tampak dari kamarnya, Raina dan Caca keluar. Sontak saja Caca mendekat dan memintaku untuk Ikut.
.... POV HADI"Mama maafin papa ya?" ujar putriku mendekat dan menggenggam pergelengan tangan Arum erat. Arum masih bungkam hingga dia tampak dilema, istriku berdesih dan coba menarik tangannya yang aku genggam erat, matanya tampak merintikan air mata deras."Tolong berikan aku kesempatan lagi mah."lirihku. Sedikit Arum menyibak belahan rambutnya dan menghela nafas sesak. Caca yang juga menunggu jawaban dari Arum itu juga ikut bersimpuh di sampingku."Mama, caca maunya Mama Arum yang tinggal bersama Caca. Maafkan Caca mah, Caca gak akan manja lagi. Caca akan berusaha mandiri supaya tidak merepotkan mama lagi" ujarnya. Arum bergerak memegangi bahu Caca dan membawanya berdiri."Sayang...., kamu jangan begini. Sama sekali mama tidak pernah di repotkan oleh Caca." ujarnya. Arum menoleh padaku dan berkata."Pergil
POV RESTITing nong.Bunyi bel bergema Asih tampak meninggalkan Arabela yang tengah tertidur dan segera beranjak ke pintu."Nona Cassandra Resnya ada?" tanyanya, darahku berdesir saat mendengar suara mas Aldi. Bergegas aku bersiap dan berdiri sembari menghela nafas untuk menghilangkan nervousku."Ada Tuan, silahkan." ujar Inem. Mas Aldi masuk aku menyambutnya dengan gaun hitam di tambah dengan aksen bling-bling yang menempel di lengan, leher dan telingaku sengaja aku pake perhiasan brilian putih senada agar penampilanku terlihat berkesan dan elegan. Sedikit mas Aldi terpana melihat aku berdiri di hadapannya."Aku fikir, kamu tidak akan datang Tuan" ujarku menggunakan bahasa inggris. Sedikit mas Aldi senyum tipis dan berkata."Aku sudah janji. Kita sudah sangat dekat belakangan, aku tida
Pov Resti."Aku tidak akan salah lagi, kamu Resti." lirih mba Arum meremas bahuku. Reflek aku memeluk dan menagis di pelukannya."Mba..." lirihku, mba Arum mendekap dan mengelus rambutku lembut."Aku hampir saja tidak mengenali mu Res? Kamu hebat sekali bisa sesukses ini." lirih mba Arum mengecup pucuk kepalaku. Mba Arum mendorongku pelan dan berkata sembari mengelus wajahku."Apa yang terjadi Res? Kenapa kamu menghilang? Kamu bilang kamu sudah punya anak? Kamu sudah menikah? Dengan siapa? Lantas hubunganmu bersama Aldi bagaimana? Sungguh mba sangat ingin tau semuanya Resti." ucapnya mencecarku dengan pertanya'an."Ceritanya panjang mba? , anakkku dia seumuran sama Andra. Aku pergi ke london saat hamil Arabela, aku menemui temanku disana, hingga ia tawari aku pekerja'an dan menjadi Casandra Res." jelasku. Mba Arum masih
"Aku tidak mengerti dengan takdir. Setelah perceraianku dengan Tania, aku bahkan tak bisa menjalani hidup lagi dengan normal. Lucu bukan? Tania yang berbuat salah tapi seolah aku yang dapat karmanya."ucapnya terkekeh. Kembali ia berucap dengan lirih sembari mengingat seseorang." Tuhan pernah bawa seseorang memberi sedikit warna dihidupku. Namun dia hanya sekedar hadir sebentar lalu pergi."ucapnya. Mba Arum tampak memperhatikan wajahnya mas Aldi dengan seksama."Sepertinya kamu begitu mencintainya?" tanya mba Arum. Sedikit mas Aldi mengangguk dan berkata."Ya, sangat. Hanya saja sekarang aku coba menyerah dan ikhlaskan dia." tuturnya sejenak hatiku rasanya teranyuh. Sungguh aku tidak ingin mas Aldi melupakanku. Aku harus kembali tapi aku bingung bagaimana mengahadirkan Resti yang dulu lagi dalam hidupnya suami. Atau aku langsung jujur saja? Entahlah aku menemuinya lain waktu saja. Aku sedi
POV RESTIDi depan kaca riasku di sebuah studio pemotretan terbaik di kota london ini aku menatap nanar pantulanku sembari pikiranku melayang jauh hingga ke indonesia. Bagaimana bisa aku kembali secepat mungkin ke indonesia sedangkan aku masih punya kontrak kerja dua bulan lagi. Dan Irfan akan segera berrtunangan dua minggu lagi. Aku masih sangat sibuk disini, mbak Arum? Dari sekian banyaknya wanita di dunia ini kenapa harus mbak Arum. Tapi saat aku melihat mata mas Aldi waktu itu. Dia tidak mungkin melupakanku semudah itu. Aku harus ingatkan dia lagi tentang Resti. Tanpa pikir panjang aku coba menghubungi mas Aldi.Tuuuut Tuuut....!Terdengar panggilan itu tersambung."Halo?"ucapnya"Halo Tuan indonesia?"sapaku dengan bahasa inggris terdengar mas Aldi terkekeh."Hay nona apa kabar?"tanyanya
POV HADI.Lelucon macam apa ini, apa yang dikatakan Arum sangat menyayat hatiku. Bagaimana bisa aku hadiri sidang perceraian. Siang ini aku tak bisa berbuat banyak selain menyendiri lagi di kamar, aku rapuh sekali, aku tidak mau bercerai dengan Arum rasanya hatiku sangat lelah sekali. Aku ingin berkeluh kesah pada Arum tentang hatiku entah bagaimana caranya membuat dia yakin bahwa aku belum membagi perasaanku ataupun cintaku. Cumbuan itu hanya naluriah yang tak bisa aku artikan. Aku resah sekali saat ini aku menyesal. Sekarang semua sudah terlanjur kacau begini. Aku benar-benar lelah. Dalam lamunanku itu terdengar bunyi mobil memasuki garasi sontak aku tersadar dan melihat siapa yang datang bersama mobilku itu. Aku beranjak ke balkon melihat keadaan dibawah bisa aku lihat putriku turun dari mobil dengan wajah lemes. Segera aku hampiri dia ke pintu."Caca... Kamu dari mana aja nak bareng kang supir?" tanyaku.
POV ARUM.Setelah melepas mas Tama pergi Aldi mengantarku kerumah. Aku terdiam sejenak melihat rumah itu, rumah ini masih terlihat bagus dan rapi. Karna memang aku selalu sewa jasa pekerja untuk membersihkannya tiap hari. Sedikit aku menghela nafas dan coba membuka kunci pintu itu."Kamu yakin bakal disini sendirian?" tanya Aldi yang Ikut juga masuk sembari menggendong Andra. Sebelumnya Andra sempat rewel bersamaku hingga Aldi mengmbilnya dan anak itu anteng lagi."Nanti aku akan hubungi Inem Al, dia pembantuku sebelumnya. Semoga saja dia masih bisa bekerja denganku." ujarku. Aldi mengangguk."Maaf aku belum sempat belanja, belum ada apa-apa di dapur. Kamu duduklah Al. Sini Andranya." ucapku mengambil anakku di gendongannya."Tak apa Rum, dia anteng sama aku." ujarnya. Aku mendegup dan coba kembali berkata gugup.&n
POV HADIDengan langkah gontai aku coba melangkah ke mobil. Dadaku terasa sakit aku bingung mau menyusul Arum yang pergi bersama Aldi sekarang atau kembali pulang, bahkan aku tidak tau bagaimana bicara pada Caca nanti yang ada di rumah, sungguh Aku masih belum percaya kalau Arum mengetahui ini, bisa-bisanya rumah tanggaku hancur dalam sekejap. Padahal aku tidak pernah ingin berniat mengkhianatinya, aku masih menjaga batasanku hingga sejauh ini. Aku tidak bisa jika Arum pergi dan beranggapan bahwa aku telah berkhianat."Oh Tuhan tolong aku "lirihku dengan mata berkaca-kaca dengan berat hati aku menyalakan mesin mobil dan melaju pulang.Sesampai di rumah. Tanpa kata sepatah katapun aku berlalu kekamar, aku kesal membanting semua yang ada. Berkali-kali aku coba mengusap wajahku agar tidak terlihat lemah. Namun aku tidak bisa. Aku terhenyak di kasur dengan air mata merintik.&
POV ARUMTuhan tolong beri aku kekuatan, semalam aku dapati mas Hadi pergi keluar dan kembali sebelum shubuh. Selama umur pernikahan kami, baru kali ini ia lakukan itu padaku. Aku sudah yakin mas Hadi telah membagi cintanya, entah bagaimana caranya aku kuat semalaman. Aku sudah muak. Aku tidak sanggup lagi menderita. Aku harus beberkan ke media. Publik terlanjur menuduh aku yang buruk. Padahal aku hanya korban dari segala pelik ini. Mas Hadi entah bagaimana rasanya hatiku sekarang. Kamu membagi cinta untuk mantan istrimu. Segala dongeng indah tentang kita di masa lalu itu hanyalah sebuah hiburan belaka untuk bisa aku kenang. Aku nanar menunggu wartawan datang ke ruang utama."Permisi selamat pagi Mbak Arum?" tanya salah seorang wartawan, aku sedikit tersintak dari lamunanku, tadinya aku fikir aku akan beberkan skandal mas Hadi. Tapi tak adil rasanya jika aku permalukan suamiku dihadapan publik. Lagi pula ini baru pertama ka