Eun-ji bergeming saat seorang bidan mengabarkan jika bayi lelakinya sudah tiada. Pria yang telah resmi menjadi ayah itu melirik sebentar ke arah sang istri yang terlihat sangat bahagia sembari mendekap putri cantik mereka.
“Jangan beritahu istriku!” ucap Eun-ji lirih, terdengar begitu pilu.
Para tim medis hanya menunduk dan membiarkan salah satu orang terkaya di Korea Selatan itu mendekati putranya. Entah apa yang tengah Eun-ji rasakan. Di satu sisi, ia bahagia dikaruniai seorang putri kecil. Namun, di sisi lain, luka lama yang belum sepenuhnya kering, kini seolah-olah disayat kembali, lalu disiram air cuka. Perih, sangat perih.
Perlahan Eun-ji mendekap sang putra yang terlihat sangat tampan dengan bibir mungil dan hidung lancip. Seluruh badannya bersih, tak tampak kebiru-biruan yang menandakan bayi dalam keadaan tak baik. Bayi itu benar-benar tampan. Apa ia harus menyusul sang kakak–anak Eun-ji dengan
“Gimana keadaan Oma, Yah?”Pak Beni menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari daddy si kembar.“Semoga nenek kalian benar-benar berkelakuan baik selama hampir dua tahun ini. Dengan begitu, Ayah akan mengajukan PB (Pembebasan Bersyarat).”Setelah berkonsultasi dengan teman baik Eka, Pak Beni bisa mengajukan PB apabila sang narapidana telah memenuhi beberapa unsur. Salah satunya telah menjalani 2/3 masa tahanan dengan berkelakuan baik dan dinilai tekun dalam mengikuti program pembinaan yang diberikan.“Bagaimana dengan Amira dan keluarganya, Yah?”“Mereka tentu sudah memaafkan. Tapi, memaafkan bukan berarti membenarkan tindakan oma kalian. Biarkan nenek kalian bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Semoga selain dirinya sendiri, hal semacam itu juga menjadi pelajaran buat kita semua.”Bu Zahro, Arsyil, dan Eka mengaminkan ucapan sang kepala keluarga.“Ya sudah, Yah, Bun. Eka tutup dulu. Eka tunggu kedatangan kalian ke Seoul.”“I
Jadwal kepulangan Amira dan Gala jadi lebih cepat. Jika awalnya mereka akan pulang esok pagi dengan menggunakan kereta api, tetapi kini keduanya sudah berada dalam mobil Arsyil. Ya, pria itu langsung meminta izin untuk menjemput Amira dan Gala. Kondisi sang nenek yang kritis membuat Arsyil dan keluarga semakin kalut. Apalagi Bu Rima terus-terusan menyebutkan nama Amira dengan menangis. Ia ingin meminta maaf.“Kenapa bisa Bu Rima sampai masuk rumah sakit, Syil?”Arsyil menoleh pada wanita yang tengah duduk di sampingnya. Ia ragu untuk menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Bagaimanapun, kondisi sang nenek merupakan aib keluarga.“Oma enggak sengaja nyenggol panci besar panas di dapur rutan, Mbak. Kuah yang sedang dimasak dan dalam keadaan penuh langsung tumpah ke badannya,” jawab Arsyil.“Astagfirullahal’azim ... separah itu?”Arsyil meng
Pemakaman Bu Rima dilakukan pada keesokan harinya di TPU kompleks perumahan Pak Beni dan Bu Zahro tinggal. Semua yang hadir turut mengungkapkan rasa belasungkawanya. Karangan bunga yang berjejer juga terus bertambah. Menandakan betapa berpengaruhnya Pak Beni dan sang putra sebagai anak dan cucu dari almarhumah. “Bu Zahro, saya turut berbelasungkawa, ya, Bu. Semoga almarhumah diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.”Bu Zahro menoleh. Ia mendapati teman baiknya turut hadir. Wanita cantik yang matanya sembab itu langsung memeluk besti-nya.“Makasih, Bu Tami. Maafkan mertua saya dengan setulus-tulusnya. Beliau sempat menyakiti putri dan cucu Ibu.”“Sudah, Bu, sudah. Kami semua sudah memaafkan.”Satu persatu para pelayat mulai melangkahkan kakinya untuk undur dari TPU. Tak terkecuali Amira, Abib, dan juga Gala. Eka pun menyaksikan pemakaman nen
Amira masih tak habis pikir dengan kelakuan bocah tengil teman baik adiknya itu. Bisa-bisanya ia mengajak Amira balikan di depan gedung auditorium yang masih ramai dengan para mahasiswa-mahasiswi yang tengah bersukacita.Untungnya rasa canggung itu teralihkan oleh serbuan kaum Hawa yang datang memberikan aneka buket, cokelat, dan boneka untuk Arsyil serta Abib. Nasya yang tiba-tiba datang langsung menarik tangan Abib untuk menjauh.“Eh, eh, pelan-pelan, Sya. Mau ke mana, sih?” tanya Abib dengan langkah terseret mengikuti Nasya.“Mau nyelametin kamu dari cewek-cewek genit itu!”“Genit? Mereka cuma ngasih hadiah doang, Sya.”“Tapi aku enggak suka, paham?!”“Heuh?”Dengan masih bertanya-tanya, Nasya langsung membuka pintu mobilnya dan memberikan kode pada Abib untuk ikut masuk ke dalamnya. Melihat wajah cantik Nasya masam dan kusut seperti belum disetrika, Abib hanya diam tanpa mau mendebat. Ia ingat bahwa wanita adalah ras terkuat di belahan bumi mana pun.Abib hanya mengabari sang kaka
DUARR!!!Pantun yang Arsyil ucapkan bersamaan dengan bunyi alam yang menyambar dari langit. Amira langsung terperanjat dan memeluk sebelah lengan Arsyil. Pria tampan itu tersenyum. Merasa jika semesta tengah memberikan sinyal untuk kembali menyatukan ikatan keduanya.“Terima kasih, Langit,” ujar Arsyil lirih, tetapi dapat Amira dengar. “Aww! Apa, sih, Mbak? Sakit tauk!” lanjutnya sembari mengusap lengan.Tentu saja kalimat pertamanya berhadiah sebuah cubitan. Amira langsung menggeser posisinya sedikit menjauh dari tubuh tinggi Arsyil.“Sengaja, ya, kamu?”“Idih? Emang yang nekan tombol gledek aku?”Amira cemberut.“Jadi gimana, Mbak?”“Apanya yang gimana?”“Pertanyaan aku tadi.”“Pertanya
Jrenggg .... Di ujung~ cerita ini~ Di ujung kegelisahanmu~~ Kupandang tajam bola matamu~ Cantik dengarkanlah aku~~~ “Arsyiiil ....” Seorang pengunjung mulai meneriaki nama sang pria yang tengah menyanyi di panggung. Namun, pandangan Arsyil tak beralih. Ia terus lekat memandang Amira yang masih berdiri di depan pintu ruangan khususnya. Aku tak~ setampan Don Juan~ Tak ada yang lebih dari cintaku~ Tapi saat ini ku’tak ragu~ Kusungguh memintamu~~~ Jangan ditanya bagaimana keadaan jantung Amira di dalam sana. Janda menawan dengan tubuh mungil dan kulit bersih itu melipat kedua tangannya di depan dada. Ia masih berusaha tenang seraya menyunggingkan seulas senyum tipis. Jadilah pasangan hidupku~~ Jadilah ibu dari anak-anakku~ Membuka mata~ dan tertidur di sampingku~~ Aku tak main-main~ Seperti lelaki yang lain~ Satu yang kutahu~ Kuingin melamarmu~~ Sorak sorai kembali riuh dan menguar ke seluruh penjuru bangunan kafe. Selain penyanyinya yang tampan, suaranya yang merdu, lag
Amira bergeming. Tatapan Arsyil dan juga ajakan manis yang meluncur lancar dari bibir tipis pria itu berhasil mengunci tubuhnya.“Amira ... kamu adalah satu dari sekian juta ciptaan Tuhan yang membuat aku kagum. Ketegaranmu, kesabaranmu, dan apa-apa yang ada pada dirimu berhasil membuatku jatuh cinta.”Hening. Semua pengunjung kafe seolah-olah tengah menonton sebuah drama romantis.“Dari awal hati ini terpikat padamu, aku tahu ini adalah sebuah takdir. Jika Tuhan sudah berkehendak, apa aku harus mengelak? Bahkan aku tak pernah berencana untuk menaruh hati pada seorang single mom. Dan sedikit pun aku tak pernah menyangka akan jatuh cinta segila ini pada seorang janda. Tapi, aku bisa apa jika takdir Tuhan sudah berbicara?”Arsyil menjeda kalimatnya sejenak.“Tuhan itu Maha Tahu. Sebelum terjadi, yang sedang terjadi, bahkan yang akan terja
“Sayang, mau nambah tamu undangannya enggak?”“Udah, Syil. Segitu aja kalau dari aku. Udah banyak itu.”“Aku mau undang semua followers dan subscriber channel aku, ah.”Amira terkejut. “Hah? Serius? Berapa juta orang itu?”“Ya siapa pun yang mau datang boleh-boleh aja, Sayang. Mereka harus jadi saksi kalau Arsyil Miftah akan jadi suaminya Amira Lavani.”Pipi Amira bersemu. Ia tak menyangka jika bocah tengil yang usianya terpaut delapan tahun lebih muda darinya itu akan seserius ini dan se-excited ini dalam mempersiapkan pernikahan mereka. Hanya sebulan dari moment lamaran di kafe Manggala 2 malam itu, kini hanya tinggal menghitung hari, Arsyil dan Amira akan terikat oleh janji suci.Awalnya Amira sempat menolak dengan pesta mewah yang diinginkan Arsyil. Namun, Amira juga tak mau egois. Walau ia merasa malu, sebab ini bukan pernikahan pertamanya apalagi dengan status janda yang ia sandang, tetapi buat Arsyil sendiri pernikahan ini adalah yang pertama, dan semoga yang terakhir.Bu Zahro
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d