Dua minggu berlalu ....
Gala hanya dirawat selama seminggu di rumah sakit. Keadaannya sudah jauh lebih baik walau tangannya masih harus mendapat perawatan jalan. Seminggu sekali, dokter ortopedi yang sengaja diminta Arsyil untuk menangani Gala akan datang ke rumah Bu Tami. Bahkan Arsyil ingin membayar jasa psikiater untuk mengetahui apakah ada trauma pada diri Gala.
“Udah, Syil. Enggak perlu,” ucap Abib. “Gala juga seperti enggak terlalu terpengaruh sama kasus penculikan itu. Yang penting dia selalu berada di dekat orang-orang terdekat yang dikenalnya.”
“Lu yakin, Bib?”
“Iya. Kalau memang perlu, entar gue sama Mbak Mira bisa cari psikolog, kok. Lu enggak perlu berlebihan gitu sama ponakan gue.” Ada senyum di ujung kalimat Abib.
Abib tahu, sahabatnya itu sudah menganggap Gala seperti anaknya sendiri. Terlebih saat hati sang kakak sud
Jet pribadi super mewah baru mendarat di bandara International Incheon, Korea Selatan, sekitar pukul sepuluh malam. Jung Eun-Ji kembali memasang jubah kepemimpinannya sebagai seorang CEO perusahaan furnitur milik mendiang kakeknya.Sejauh apa pun Eun-Ji pergi, doa sang bunda selalu membersamai tiap langkahnya. Kali ini, Eun-Ji memang belum bisa membawa serta keluarganya untuk ikut ke Seoul. Namun, Bu Zahro dan Pak Beni berjanji akan segera terbang ke negeri ginseng itu jika Eun-Ji benar-benar membutuhkan ayah dan bundanya untuk suatu urusan yang penting. “Kabari Ayah dan Bunda apa pun hasil dari pertemuanmu dengan calon mempelai yang telah Appa-mu inginkan.”Eun-Ji mengangguk sembari mendekap sang bunda dan mencium pipinya begitu lama.“I love you, Bunda. Doakan Eun-Ji agar segera menemukan tempat ternyaman untuk pulang melepas penat.”“Love y
Amira benar-benar diserang dilema setelah sang putra meminta sesuatu yang mustahil ia kabulkan. Minta adik bayi? Yang benar saja. Jika ia mempunyai suami, tentu dengan senang hati Amira akan mengabulkan permintaan Gala. Mungkin sang putra sudah merasa kesepian dan ingin mempunyai teman.Entah Amira yang tak peka atau ia yang memang sengaja tak mau mengerti arah ucapan anak tampan berusia enam tahun itu. Namun, Amira mulai sadar jika Gala tengah memberinya sebuah kode. Gala tak hanya menginginkan seorang saudara, tetapi ia juga rindu akan sosok papa di sisinya.Ketukan di pintu membuat lamunannya buyar. Saat ini Amira tengah berada di ruangannya, di Manggala Cafe.“Ya, masuk!”Seraut wajah tampan sangat memesona~~Eh!“Arsyil?” gumam Amira saat wajah kekasihnya menyembul dari balik pintu.Pria itu tersenyum dan mula
"Sorry, ya, Mir. Gue baru bisa jengukin Gala. Gue kaget banget pas denger kabar penculikan itu.”Nada bicara Sera melirih pada dua kata paling akhir dari kalimat yang diucapkannya. Ia juga melongok ke ruang tengah di mana Gala sedang ditemani Bu Tami sambil menonton acara Ultram*an Kisruh.Amira memang sempat meminta doa pada keempat sahabatnya di grup chat. Dan mau tak mau Amira pun menceritakan kenapa putranya sampai masuk rumah sakit.“Iya, Ser. Enggak pa-pa. Doa dari kalian udah cukup, kok,” jawab Amira.“Pas itu gue rolling area, Mir. Ya, tahu sendirilah, kerja ikut orang.”“Ya masa lu mau kerja ikut jin. Digaji enggak, diajak kawin iya.”“Anying! Mulut lu, Mir. Ngomong mbok nggo bismilah sik.”Amira tergelak, lalu mempersilakan Sera meneguk minuman segar warna hijau di depannya.
Park Yoo-jon tersenyum, pun dengan Kim Taejun. Keduanya menebak jika Eun-Ji tengah takjub dengan kecantikan nona muda Kim. “Ya. Itu dia nona muda Kim Yoora. Calon masa depanmu, Tuan Muda.” Eka mengangkat pandangan ke arah sang pengacara, lalu berganti kepada sang asisten di sebelahnya. “Taejun, kapan aku ada jadwal kosong?” “Memangnya kenapa?” tanya Taejun santai, bahkan lupa berbicara formal. “Ck!” Eunji berdecak. “Geunyang malhae!” (Katakan saja!) “Eunji-ssi, kau baru tiba di Seoul setelah liburan panjangmu di Indonesia. Schedule-mu sebulan ke depan sudah sangat padat.” “Reschedule saja semuanya. Aku harus kembali ke Indonesia.” “Untuk apa?” tanya Taejun dengan mengangkat sebelah alisnya. “Untuk ....” Park Yoo-jon terkekeh. “Apa kau mau menemui nona Yoora, Tuan Muda?” tanya sang pengacara. “Sabarlah sebentar, biarkan dia fokus dengan belajarnya sebelum lulus,” lanjutnya dengan sedikit menggoda. “B-bukan begitu, Pak. Kami ... kami pernah bertemu dalam sebuah insiden.” “Ji
Eka mengernyit ketika melihat ekspresi terkejut sang bunda di layar ponselnya. Pun menyadari kehadiran sang asisten di belakangnya lewat pantulan kamera. Taejun tersenyum penuh arti saat sadar ada yang mengakuinya sebagai Lee Dong-min atau lebih dikenal dengan Cha Eun-woo. Iya, mereka memang mirip, sebelas tujuh belas, itu menurut Eka.“Sejak kapan kau datang?” tanya Eun-Ji.“Lima menit yang lalu, Tuan,” jawab Taejun sopan.Eka kembali menghadap layar ponselnya.“Ka, itu siapa?”“Asistenku, Bun.”“A-asistenmu Lee Dong-min?” Bu Zahro masih terlihat shock.Eka menggeleng pelan dengan senyum tipis. Asistennya memang mempunyai wajah cukup rupawan, hampir mirip anggota dari grup vocal pria KorSel, Astro. Dan bundanya memang suka sekali menonton drakor. Dia juga K-popers.
Arsyil mengulas senyum semanis gulali yang terkadang suka bikin ngilu di gigi. Ia menepikan mobilnya sebentar.“Mulai kapan jago bahasa Korea? Hm?”“Mulai semalem, aku ngapalin satu kalimat sampe lidahku keseleo.”Arsyil tergelak dan langsung menarik satu tangan kekasihnya. Dikecupnya lembut nan penuh cinta punggung tangan Amira. Setelahnya, tatapan mereka saling beradu.“Neol wihae nae ma-eum-eul jikilge jagiya.”(Aku akan menjaga hatiku untukmu, Sayang.)“Nae ape neoman boyeoyo.”(Di depanku hanya kamu yang kulihat.)“Eonjekkajirado neoreul ijji mothaeyo, neo ttaemune haengbokhaeyo."(Sampai kapan pun aku tak bisa melupakanmu, karena kamu aku bahagia.)Mata Amira mulai mengembun mendengar kata demi kata yang
Matahari sudah agak bergeser ke barat ketika Amira dan Arsyil telah kembali duduk berdua di dalam mobil. Setelah puas bermain dan menyenangkan anak-anak panti, Arsyil pun berpamitan, agar tak kemalaman sampai rumah. Tak lupa Arsyil menitipkan sejumlah uang cash kepada pengelola panti. Jarak lembaga kesejahteraan sosial anak tersebut cukup jauh dari kota. Arsyil memang sengaja menyiapkan sejumlah uang cash dari rumah. Brondong dermawan itu juga meninggalkan nomor ponselnya pada pengelola panti. “Jika memang amat sangat butuh, tolong hubungi nomor saya segera, ya, Bu. Insya Allah, saya dan keluarga siap membantu.” “Masya Allah ... sekali lagi, terima kasih, Mas Arsyil, Mbak Amira. Semoga kalian selalu diberkahi oleh Allah. Dijadikan pasangan yang saling menyayangi dalam keadaan apa pun.” Walau mereka belum menikah, tentu saja kabar kedekatan seorang Arsyil Miftah dengan seorang janda itu sudah diketahui oleh para pengelola panti. “Aamiin. Doakan kami agar dipermudah dalam segala haj
“Danu Subekti ...," gumam Arsyil dengan menyangga dagu dengan satu tangan. "Kayak enggak asing namanya."“Kenapa, Syil? Ada apa? Kamu tadi ngubungi siapa?” Amira memberondong Arsyil dengan pertanyaan.“Jadi gini, Yang ....”Arsyil mulai menceritakan rencananya yang ingin meminta bantuan si Danu. Kalau memang Dewo aneh lantaran ilmu klenik, maka obatnya juga harus dari ilmu yang sama.“Kamu yakin?”“Enggak salahnya nyoba, kan, Yang?”Amira menghela napas.“Jus-nya diminum dulu. Mau makan berat, nggak?”Amira hanya menggeleng dan langsung mencomot kentang goreng di sebuah piring. Ada aneka dimsum juga yang Arsyil pesan. Tanpa diminta, Amira menyodorkan satu batang kentang goreng di depan mulut kekasihnya. Dengan sigap, Arsyil melahapnya. Bahkan, sampai menjilat ujung jari Amira dengan sengaja.“Ish, Arsyil! Jorok, ih!” ucap Amira.“Enggak pa-pa. Bahkan kita udah pernah bertukar saliva, kan?" balas Arsyil dengan alis naik turun menggoda pacarnya.“Dasar tengil!”“Tapi tajir.” Kedipan mat
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d