“Sayang, gimana keadaan kamu?” tanya seseorang di seberang telepon. “Oma baru dapat kabar kalau mobil kamu ditabrak dari belakang. Apa itu benar?”
Ivana mengulas senyum. “Iya, Oma. Benar.”
“Ya ampun, Sayang ... tapi kamu enggak kenapa-kenapa, kan?”
“Aku sempat dirawat, Oma. Tapi, sekarang udah mendingan.”
“Arsyil jengukin kamu, kan? Dia tahu kalau kamu kena musibah, kan?”
Ivana mulai akting dengan suara dibuat semelas mungkin.
“Kayaknya Arsyil udah kena pelet sama janda itu, Oma. Dia bahkan enggak mau jengukin Ivan.”
Bu Rima mencoba menahan dadanya dengan sebelah tangan. “Tapi, Arsyil tahu, kan, kalau kamu kena musibah?”
“Tahu, Oma. Arsyil tahu. Tapi, sampai Ivan pulang ke apartemen pun, Arsyil enggak jengukin Ivan, O
"Gimana? Betah kan?”Ibnu tersenyum dan mengangguk. “Alhamdulillah. Beta, Mas.”“Syukurlah.”“Mas Eka benar, perbaiki shalat, maka Tuhan akan memperbaiki hidup kita. Saya merasa hidup saya lebih semangat dan berarti, Mas. Bening makin pintar dan enggak pernah rewel. Saya baru sadar, mungkin memang susu haram hasi
Berkali-kali Dewo mengembuskan napas dengan kasar. Uang lima puluh juta sebagai DP untuk menculik Gala beserta ibunya sudah ia pakai walau tak semuanya habis. Namun, pria itu belum berani bertindak. Tentu saja hal itu membuat Bu Rima marah.Belum lagi Eka yang menurut Bu Rima hanya diam di tempat. Katanya mau mendekati Amira, nyatanya si janda itu semakin lengket dengan cucu tampannya, Arsyil Miftah. Semakin pening saja kepala wanita licik itu.“Heh, Dewo! Kamu jangan bikin waktu saya habis hanya untuk nunggu kamu nyulik mereka. Kembalikan uang saya kalau kamu memang enggak becus!” ancam Bu Rima beberapa hari yang lalu melalui telepon.“Iya, Bu, iya. Saya akan bawa anak dan juga mantan istri saya menjauh dari cucu Ibu. Tapi semuanya butuh taktik. Apalagi saya enggak ada bakat jadi penculik,” sanggah Dewo.“Halah ... timbang bawa anak sendiri saja ribet!”Ya, yang akan Dewo bawa memanglah darah dagingnya sendiri. Namun, pria itu masih ingat jika hak asuh Gala jatuh kepada Amira. Apalag
Amira mengernyit. Jika Eka masih bersikap tenang menunggu jawaban Amira yang setuju atau tidak, berbeda dengan Amira yang mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. ‘Apa pekerjaan Eka di Korea hingga ia membutuhkan seorang ahli gizi pribadi?’“Mas Eka kayak sultan, sampai pakai ahli gizi segala,” ucap Amira datar, tetapi berhasil membuat Eka tersedak.“Hik! Hik!” Eka segera menyeruput es cekeknya sampai habis dan hanya tersisa es batunya saja.Amira terkekeh melihat tingkah Eka. Tanpa persetujuan, si sultan yang tengah menyamar jadi rakyat biasa itu langsung merebut es cekek milik Amira dan menyedot isinya. Amira melongo. Eka memakai sedotan yang sudah Amira pakai. Itu artinya mereka telah berciuman secara tidak langsung.“Masih kurang, Mas? Aku pesenin lagi, ya?”Eka menggeleng. Ia yang terbiasa memakan
“Eh, Bu Tami. Itu beneran si Amira sama si Arsyil?” tanya seseibu yang sedang memilih sayuran di lincak depan warung Mpok Rusmi.“Beneran gimana, ya, Bu, maksudnya?” timpal Bu Tami dengan nada datar.“Ya, beneran lagi deket. Kan, denger-denger udah pacaran mereka. Betul begitu, Bu?”Bu Tami hanya menghela napas dengan senyum tipis tanpa mau menimpali. Tangannya mulai sibuk memegang daging ayam dan sayuran lainnya.“Bu Tami enggak takut kalau si Arsyil cuma mainin si Amira aja, Bu?”“Iya, ih. Si Arsyil, kan, masih muda, ganteng maksimal, tajir pula, tuh. Masa iya si Amira enggak takut kalau dia cuma dijadiin bahan gabut doang?” timpal wanita tambun yang anak gadisnya sangat mengidolakan Arsyil.Ibu-ibu yang lain hanya menjadi pendengar. Tak mau menambah dosa ghibah yang terkadang memang sangat menarik
“Astagfirullah!” pekik Bu Tami.“Kenapa, Bu?” tanya Bu Zahro di sampingnya.Bu Tami yang sedang memilih ikan asap tiba-tiba jarinya tertusuk lidi yang biasa berada di tengah ikan itu. Anehnya, setelah dilihat jarinya tak kenapa-napa. Padahal tadi jelas sekali terasa seperti tertusuk.“Eh, enggak pa-pa, Bu. Cuma ketusuk lidi ikan.”“Owalah, kirain kenapa.”Bu Saroh dan bestinya sudah pulang lebih dulu. Kini hanya tinggal Bu Zahro, Bu Tami, dan seorang lagi ibu-ibu di warung Mpok Rusmi. Tak berapa lama Bu Tami selesai dan ia menyapa Bu Zahro untuk pulang lebih dulu.“Oh, iya, Bu Tami. Monggo ....”Wanita paruh baya itu segera mengayun langkah dengan satu tangan yang menenteng kantong keresek. Berkali-kali ia mengembuskan napas dengan kalimat istigfar yang diucapkan lirih.&n
Amira membuka kedua telapak tangannya. Sepasang siku yang sedari tadi bertumpu pada kedua pahanya segera ia lepas. Wajah khawatir yang tercetak di wajah Arsyil membuat Amira merasa ingin menyalurkan rasa sesaknya. Bahkan air mata Amira kembali berdesakan keluar saat melihat orang terkasihnya hadir di depan mata.“S-Syil, Gala ....”Arsyil menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut pacarnya. Namun, wanita itu kembali dikepung rasa ... entah. Ia kembali menangis. Putra tampan Beniqno Sujatmiko itu berdiri dengan menarik kedua tangan Amira dengan lembut.Dibingkainya sang wanita dalam dekapan. Amira kian tergugu di dada bidang Arsyil. Satu tangan Arsyil mengelus punggung kekasihnya dan satu tangan lainnya mengusap-usap suram hitam itu. Belum lagi bibir Arsyil yang berkali-kali mengecup puncak kepala Amira. Membuat Eka terdiam dengan aksi keduanya.“Gala anak tang
Pak Nanang–satpam sekolah TK–datang menjenguk Gala dengan dua orang guru sebagai perwakilan. Sebagai pasien yang dirawat di sebuah paviliun kelas satu, tak sembarang orang boleh datang membesuk. Mereka bisa masuk ketika keluarga pasien memperbolehkan.Diwakili oleh kepala sekolah tempat Gala belajar, mereka benar-benar meminta maaf atas ketidaknyamanan hingga keteledoran yang hampir berakibat fatal. Para guru yang biasa mengenali Abib atau Arsyil yang kadang menjemput Gala dengan mengenakan masker wajah merasa benar-benar kecolongan.“Kami selaku para pendidik benar-benar meminta maaf, Bu. Kami kecolongan,” ungkap wanita paruh baya yang Amira kenal sebagai Bu Anita, sang kepala sekolah.“Iya, Bu, kami mengira pria yang datang menjemput Gala itu Mas Abib, atau malah Mas Arsyil,” sambung guru yang lebih muda. “Awalnya saya sudah agak curiga. Karena walau Mas Abib atau Mas Ars
Arsyil yang baru pulang dari rumah sakit memang sengaja mematikan motornya di depan gerbang rumah. Tak berapa lama setelahnya, sang ayah datang dan masuk bersamaan dengan merangkul bahu anaknya yang sudah tinggi melebihi bapaknya sendiri.“Udah gede, nih, anak ayah.”“Iya, dong. Lamarin anak orang dong, Yah.”Pak Beni terkekeh, lalu menggeleng. Jika dilihat secara materi, anak bungsunya itu memang sudah sangat mampu menafkahi keluarga. Namun, apa iya Arsyil sudah benar-benar siap?“Bukannya Amira bilang kalau kamu harus kelarin kuliah dulu baru dia siapa dinikahin?”“Ayah enggak nyimak, nih! Kan, Arsyil bilang lamarin dulu, Yah. Biar dia sama Gala ada yang jagain.”“Adik sama ibunya, kan, ada.”“Beda, Yah ....”“Beda gimana?” tanya Pak
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d