Amira menatap penampilan wanita cantik dengan baju kurang bahan di seberang pintu unit milik Nia. Ia amati dari bawah hingga atas. Kulit putih mulus yang sengaja diumbar dengan baju super seksi, wajahnya pun ayu sekali. Sempurna, batin Amira. Sementara Arsyil mengusap wajah tampannya dengan kasar. Pria dengan hoodie warna navy itu langsung melepas tangan Ivana yang bergelayut di lengannya. Bergegas ia menghampiri Amira.
“Sayang ... k-kamu ada apa ke sini?” Arsyil menyentuh kedua lengan atas kekasihnya. Menatap lurus ke mata indah milik Amira.
Jika Arsyil melihat kekasihnya masih terlihat tenang, berbeda dengan dirinya yang merasa gamang. Tenangnya Amira ada dua kemungkinan, menunggu Arsyil menjelaskan semuanya atau malah meredam gejolak amarah.
Namun, wanita matang yang masih terlihat cantik itu berusaha menarik kedua sudut bibirnya agar mau melengkung, tak peduli dengan gemuruh dalam hatinya yang seketika me
Sera, Okta, dan Nia berusaha mengikuti alur yang Amira ciptakan setelah peristiwa cukup mengejutkan di apartemen. Entah wanita itu benar-benar strong atau pura-pura strong. Nyatanya, Amira seolah amnesia, bahwa sebelum mereka berhaha-hihi seperti saat ini, beberapa menit yang lalu sempat memergoki kekasihnya keluar dari unit seorang perempuan yang berpakaian kurang bahan. Ditambah ucapan perempuan itu yang terkesan dirinya dan Arsyil akan melakukan hal yang iya-iya. Ketiganya pun tak ada yang menyinggung soal Arsyil dan wanita bernama Ivana itu. Mereka terus sibuk membahas hal lain termasuk akan memakai gaun atau pakaian apa ke acara reuni nanti. Hampir dua jam lebih waktu yang dihabiskan hanya sekadar me time bersama teman dekat. Akhirnya ketiganya pamit. Dan di saat hendak berpisah itulah Okta, Nia, dan Sera mulai sendu. “Mir, kita semua tahu kamu wanita kuat, kamu wanita yang hebat,” ujar Nia. “Tapi ... kita siap buat dengerin apa pun cerita kamu. Apa pun yang mau kamu bagi ke ki
Arsyil pulang dengan tubuh lunglai. Ia merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu sembari memijit pelipis. Pusing mendadak mendera setelah pertemuannya dengan Amira di apartemen tadi. Jika biasanya setelah menatap wajah sang pujaan hati akan semakin bahagia, tentu berbeda untuk kali ini. Arsyil benar-benar kecolongan dan tak berpikir jauh jika Ivana adalah wanita ular.Walau tinggal dan kuliah di Jakarta, tetapi kabar soal karier Ivana yang melejit sebagai seorang model di ibu kota selaras dengan kabar miring yang mendongkrak popularitasnya. Banyak kabar yang beredar jika wanita cantik dengan body goal itu adalah sugar baby dadi manager tempat agensinya.Walau tak terlalu peduli, tetapi sepertinya Arsyil perlu mencari tahu seperti apa kehidupan Ivana di sana. Tapi ... siapa yang akan dia mintai tolong? Lagi-lagi Arsyil memijat pelipisnya.“Eh, anak bujang Ayah udah pulang. Dari mana, Syil?” sapa Pak Beni yang iku
“Bu?”“Iya, Mir?”“Apa ini artinya ... Bu Zahro setuju kalau suatu saat saya dan Arsyil menikah?” tanya Amira hati-hati.Bu Zahro tersenyum. “Jodoh, rezeki, dan maut sudah Allah tentukan. Kalau memang kalian berjodoh, kenapa enggak?”“Kenapa Bu Zahro setuju? Bukankah Arsyil masih muda dan lebih pantas bersanding dengan gadis-gadis belia?”“Ibu bukan tipe manusia yang suka memaksakan kehendak, Mir. Akan tersiksa rasanya jika menjalankan sesuatu bukan karena keinginan diri sendiri. Apalagi pernikahan. Ya walaupun ada beberapa pernikahan yang sukses sebab perjodohan. Tapi ... buat Ibu pribadi, orang tua hanya boleh mengarahkan, bukan memaksakan. Apalagi kalau anak sudah punya pilihan, Ibu hanya bisa memberikan restu agar keluarga anak Ibu nanti menemui kebahagiaan.”“Seka
Bohong jika Arsyil tak melotot melihat tubuh toples Ivana dalam foto itu. Rok rempel mini warna navy yang tadi dikenakannya memang masih melekat menutupi area bawah. Namun, bagian atas sudah terbuka sempurna tanpa b*a yang menutupi gunung kembar besar nan indah milik wanita itu. Hanya sebuah stiker yang dibubuhkan untuk menutupi puncak dari benda kenyal tersebut.“Sial! Gila amat ini cewek!” umpat Arsyil dengan mengusap wajah kasar.Ia masih menatap tak percaya ke arah foto tersebut. Wajah ayu itu dibuat sangat seksi oleh pemiliknya. Kedua mata memejam dengan satu jari yang sengaja diemut. Sementara buah dadanya dibiarkan menggantung walau ujungnya disensor. Posisinya tengah terduduk di kasur.Kedua tangan Arsyil meremas rambutnya sendiri. Kepalanya semakin pusing menahan gejolak kelelakiannya. Namun, tiba-tiba saja sebuah ide briliant terlintas. Cepat-cepat Arsyil mencari gambar di-Google untuk meladeni kela
“Are you ready, Guys?”“Yuhuuu ...,” jawab Okta, Mita, dan Amira.“Mit, anak lu aman, kan?” tanya Sera yang mulai menggerakkan setir.“Aman. Ibuk malah enggak ngebolehin si Cantika ikut emaknya reuni. Kasihan katanya.”“Suami aman?”“Aman. Gue udah minta izin pas dia mau berangkat ke Maluku.”Sera mengangguk-angguk. “Mir, Gala gimana?”“Lagi diajak Ibuk sama Om-nya ke pasar malam.”“Eh, si Abib enggak mau dateng btw?”“Nyusul katanya, Gala juga udah dijanjiin main ke pasar malam, ya nagihlah dia.”Sera mengangguk-angguk.“Asyiklah ... emak-emak lagi cosplay jadi gadis-gadis ini.”Mereka berempat terkekeh.
Arsyil yang baru sampai di area parkir SMA Tunas Muda langsung diserbu para wanita. Mau tak mau, pria dengan pakaian kasualnya itu harus sedikit beramah-tamah terlebih dahulu. Abib yang awalnya akan datang bersama sahabatnya itu mendadak mangkir dari kesepakatan, sebab Gala masih menahannya bermain di wahana pasar malam. Padahal malam sudah berjalan menuju larut.Setelah dirasa cukup, pria itu segera berlari kecil untuk mencari Amira. Mungkin di situasi seperti ini, Amira mau diajak negosiasi dan pergi bersama Arsyil untuk meluruskan kesalahpahaman yang sudah terjadi. “Arsyil!”Pria dengan penuh pesona itu menoleh saat namanya dipanggil. Ivana berlari kecil untuk menyusulnya.“Ck! Ngapain, sih?” gumam Arsyil tak suka, tetapi langkahnya pun terhenti.“Syil–““Masih punya muka lu muncul di hadapan gue?&rdqu
Virjhon dan Faqih masih sedikit gusar dengan pertanyaan yang sama. Bagaimana jika Amira akan memperk*sa Arsyil saat obat perangsang itu bereaksi? Sekalipun mereka sepasang kekasih, tetap saja mereka bukan suami istri.“Lu yakin itu bocil enggak bakal diapa-apain sama Amira, Jhon?” tanya Faqih dengan masih berbisik.“Kalaupun diapa-apain, ya, biarin aja. Yang penting bukan elu yang diapa-apain.”“Iya juga, sih.” Faqih terlihat mengusap wajahnya. “Tapi ... mereka, kan, belum halal, Jhon.”“Dosa ditanggung masing-masing. Dan elu juga akan kecipratan dosa kalau mereka sampe melakukan hal yang iya-iya.”“Lah? Kenapa gue jadi kecipratan dosa juga?”“Kan itu obat perangsang dari elu, Qih.”“Tapi, itu buat bini gue. Mana tahu kalau salah sasaran dan akhirnya
“Buk, Gala udah tidur?”Abib bertanya kepada Bu Tami saat wanitanya itu keluar dari dalam kamar Gala.“Udah. Kamu jadi mau ke acara reuni, Bib?” balas ibunya yang melihat Abib menyimpulkan tali sepatu.“Jadi, Buk. Acara dua tahun sekali. Sayang kalau enggak dateng.”“Udah malam, lho, ini, Lé.”“Enggak pa-pa, Buk. Sekalian Abib nemenin Mbak Mira di sana. Udah janjian sama Arsyil juga.”“Iyo, sih.”“Abib pergi, ya, Buk.”Pria tampan yang masih jomlo itu berdiri dan menarik tangan kanan ibunya untuk dicium.“Hati-hati, Lè.”“Nggih, Kanjeng Mami.”Abib berlalu dan segera menuju motornya. Baru hendak menyalakan mesin, ponselnya bergetar. Ada
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d