“Bagaimana bisa … Aelther? Apa yang terjadi?” Sebetulnya Iveryne ingin berteriak di depan wajahnya.‘Kenapa kamu menciumku!’ Tapi mengingat dia baru saja memakai Aelther, dia mengurungkan niat. Darah Reiger berdampak besar pada pedang perak itu, dan sekarang, dia tengah mengobati telapak tangan Reiger, membasuhnya, kemudian membalutnya dengan kain yang tersisa.“Kamu ingin bertanya tentang ciuman itu, bukan?” Reiger memainkan alisnya sembari memandang wajah Iveryne, namun gadis itu menggeleng singkat dengan wajah biasa. “Itu hanya satu ciuman, tidak ada artinya.” Reiger memberi pertanyaan lewat pancaran onyx kelabu. “Satu ciuman bisa tidak disengaja, ciuman kedua mungkin kebetulan. Dan ciuman ketiga … ” Ada jeda panjang, dan dia memilih tidak melanjutkan. “Dan … ciuman ketiga? Apa?” Iveryne benar-benar malu membahasnya, tidakkah pria ini mengerti bahwa dia sedang mencoba melupakannya! Hidungnya memerah tanpa sadar. Iveryne pura-pura bersin, meski itu tidak sepenuhnya berhasil, ka
“Kita tidak bisa mempercayainya begitu saja. Ini bisa jadi jebakan.” Reiger berkata, duduk di sisi lain sembari mengasah pedang. Hutan ini penuh dengan ilusi, mereka bahkan tidak seharusnya mempercayai apapun. Pendengaran maupun penglihatan. Tapi Iveryne adalah gadis tujuh belas tahun yang hampir mempercayai semuanya, tidak pernah dia melihat keraguan dalam biru cemerlang itu, sebaliknya, ada binar antusias ketika menemukan hal baru. “Coba jelaskan tentang cerita yang kamu maksud.” Iveryne meluruskan kakinya, dia berbaring dengan meletakkan kepala di atas ransel kulit, memandang langit-langit yang diisi oleh gemerlap bintang dan cahaya bulan, garis-garis seperti komet berada di sepanjang langkah ketika kuda perak melesat. Tidak ada obor atau pencahayaan lain. Setelah berhari-hari terkurung dalam Gua. Ini adalah penerangan terbaik. Lebih terang dan bercahaya dibandingkan masuk dalam ruangan penuh kristal bulan. Meski begitu, cahaya bulan secara langsung tidak ada bandingannya, apa
“Apakah masih lama?” Iveryne gusar dalam duduknya, satu-satunya hal yang membuatnya tidak tenang adalah, tubuhnya dan Reiger begitu dekat, nyaris tanpa jarak. Dalam beberapa detik, mereka bertahan di atas pohon, sembunyi dari kawanan serigala yang melolong nyaring. Mata merah menyala dan garis tubuh seperti serat akar cukup membuktikkan kalau hewan-hewan itu telah terinfeksi oleh sihir hitam.Untungnya, ukuran tubuh mereka terbilang masih normal. Selain mata tajam menusuk yang mengerikan. Iveryne menahan rasa jantungnya yang ingin segera melompat, nafas Reiger secara tidak sopan menyapa telinganya, dan itu terasa aneh.“Tunggu jauh.” Suara berat mendominasi atmosfer ketegangan.Yang Iveryne tidak ketahui adalah, bahkan ketika mengatakannya, pancaran onyx kelabu masih terkunci diam padanya, menatap lekat dan dalam. Pikirannya kosong sekarang, tidak peduli ada serigala buas mengancam nyawa di bawah hidungnya. Itu adalah biru cemerlang yang memikat, sinarnya menenangkan dan setiap seny
Iveryne berdecak marah selagi Calix dengan tenang menyuap buah apel setelah mengusapkan pada pakaiannya sendiri. Masing-masing baru selesai mandi dan membersihan tubuh, lalu disibukkan dengan aktivitas pribadi yang beragam.Seperti Wilder dan Heros, kedua pria jangkung itu berdebat dengan pembuatan api, setelah Calix mengadukannya dengan berani pada Iveryne dan Reiger bahwa kedua anak adam itu hanya menjadi bebannya selama mereka berdua tidak ada.Setelah menemukan sarang tikus tanpa penghuni yang setidaknya berukuran 4×4 meter, dan mata air di sampingnya, mereka tidak perlu berpikir dua kali untuk bermalam di sana sekaligus menghidupkan api.Dan sukses menjadi hiburan tersendiri, namun Iveryne malah menyimpan amarah padanya setelah cerita Calix perihal alasan mereka berakhir di sangkar kadal raksasa dan berkamuflase menjadi telurnya. Heros, dengan sok pahlawannya memimpin di depan dan, “Dia memilih lewat lumpur daripada genangan sungai, katanya trauma dengan lintah. Tapi itu bahkan m
Calix berjalan berdempetan dengan Iveryne, mencengkeram ujung bajunya kuat-kuat sementara sang gadis memegang kristal bulan dalam pelukannya. Ini adalah perintah Reiger langsung, lebih baik memegangnya daripada meletakkan dalam ransel. Beruntung mereka tidak bertemu kelabang sebesar Reiger seperti yang Iveryne katakan malam kemarin. Dan Calix, terlihat sangat paranoid sembari melirik takut-takut sekeliling melalui ekor matanya.“Aku jadi rindu Cherrol.” Calix berbisik. “Apa dia makan dengan benar … ” Kesedihan bercampur ketakutan dalam nada suaranya, mengapit Iveryne kuat, takut tiba-tiba ada lumpur menghisap kakinya. Tidak sesuai dengan cerita Wilder dan Heros tentang Calix, bahwa dia adalah yang paling berani di antara mereka, dan laki-laki itu sendiri mengatakan kalau Wilder dan Heros hanya menjadi bebannya. Tapi mengapa kesannya dia lebih ketakutan daripada Iveryne sendiri! Omong-omong tentang Wilder dan Heros, dua pria itu berada di barisan belakang, mencengkeram gagang pedan
“Ayo,” ajak Reiger sembari memasukkan tali arloji sekaligus kompas. Dia bergegas berdiri dan mematikan api. “Sepuluh menit lagi,” balas Wilder setengah sadar, dia baru tidur beberapa menit dan dipaksa bangun oleh Reiger. “Tinggalkan saja. Kita bisa tumbalkan dia,” sahut Iveryne lantang. Wilder segera berguling dan memaksa matanya terbuka. Mereka terus berpindah dari satu tempat istirahat ke tempat lain setelah dua jam. Karena seperti perkataan Reiger, “Sesuatu bisa saja mengunci aromamu dan tertarik mencarinya.” “Kamu tega sekali, Karamel … ” rengek Wilder, kakinya berjalan beriringan dengan Iveryne. Matanya masih setengah terpejam, dan dengan tiba-tiba menyandarkan kepala di bahu Iveryne. Seberapa menyedihkan pria itu kelihatannya, Iveryne tidak peduli, dia mengenal Wilder terlalu lama untuk mengenali kebohongannya.Dia mendorong Wilder kasar dan tanpa sengaja menabrak Heros, yang juga setengah sadar karena panggilan Reiger sebelumnya. Untung pria itu punya refleks yang bagus, j
“Ini tidak benar-benar emas asli, kan?” Wilder bersuara, memecah keheningan sejak satu setengah jam yang lalu.Alih-alih khawatir dengan keselamatan mereka, tampaknya pria itu lebih memilih terpesona pada jeruji emas tempat mereka dikurung.Calix menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya, berusaha mengacuhkan pria itu. Sialnya adalah, dia terperangkap dalam jeruji emas yang sama dengan Wilder. Jadi tanpa aba-aba, dia bergegas menghampiri lelaki itu. “Mungkin palsu,” balas Heros sembari menguap, mereka sudah terkurung satu setengah jam lebih, dan yang bisa dilakukan hanya meluruskan kaki, itupun susah payah, mengingat duduk berdesakan.“Calix!” panggil Wilder, tempat duduk mereka hampir tidak berjarak, mustahil lelaki empat belas tahun itu tidak mendengarnya. “Apakah menurutmu emas ini asli?” Calix bersungut-sungut marah. Wilder kini menendang-nendang kakinya menanti jawaban. Dengan kesal dia berseru, “Demi Lucifer, Wilder Valdez ! Kita sedang terjebak di sarang Goblin!
“Heros … nyawa kita tergantung padamu.” Wilder berbisik lemah. Calix di sebelahnya ikut mengangguk dengan wajah sedih. “Biarpun kalian berlutut di kakiku, aku tidak bisa,” balasnya. Heros bersandar pada sudut kurungan sembari memandang nanar kedua tangannya sendiri. Tidak ada yang keluar dari sana.“Ayo coba lagi nanti,” sahut Iveryne, masih menunggu Heros menampilkan seberkas cahaya dari tangannya. “Dia tidak akan bisa. ‘Mana’ miliknya sudah terikat dengan pedang. Dia butuh Crusader.” Onyx kelabu menyorot tajam pada beberapa pedang yang tengah di kelilingi para goblin. “Kita tidak bisa terus menunggu. Ini hanya masalah waktu.” Iveryne ikut meluruskan kaki, bersandar pada jeruji di sebelah Reiger, ikut memandang ke arah para pedang. Namun anehnya, “Mengapa mereka tidak menyentuh Aelther dan Hellfire?” “Mungkin mereka takut api neraka.” Reiger menyahut datar, ekspresinya tidak terbaca antara serius dan bercanda. Dalam satu tarikan nafas, Wilder menepuk-nepuk bahu Heros dengan te
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.