Terima kasih telah mengikuti cerita ini. Yuk dukung terus dengan memberikan ulasan bintang lima dan GEMS sebanyak-banyaknya.
"Biarkan Shila dan Alkafi disini bersama kami Mbak. Setidaknya beberapa hari atau seminggu, karena sebentar lagi mereka tidak akan sering tidur di sini, mereka sudah tinggal dengan papanya."Asma dan Adam terlihat bingung, namun mereka sadar kalau Lidya dan ibunya ingin dekat dengan anak mereka."Baiklah untuk sementara biar mereka di sini. Begitu kamar mereka siap, kami akan menjemputnya kemari."Asma dan Adam memutuskan untuk meninggalkan Shila dan Alkafi. Mereka jadi bisa mempersiapkan kamar untuk anak-anak itu."Selamat pulang kerumah Sayang."Adam membuka pintu dan mengajak Asma masuk ke dalam rumah yang dia tinggalkan dulu. Pria itu tersenyum melihat tatapan istrinya yang penuh kerinduan."Tidakkah ini seperti saat pertama kali kau masuk ke rumah ini sayang."Asma tersenyum, dia menjerit saat Adam mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam kamar. Bibirnya tak lepas mencium bibir istrinya, kerinduan itu belum terpuaskan, sehingga dia ingin kembali melepaskan dengan menyentuh istr
POV : Adam.Hatiku hancur saat melihat apa yang di lakukan Asma, dia rela menyerahkan tubuhnya asal aku pergi menjauh darinya. Kecewa tentu terluka apalagi, dengan perasaan hancur aku memilih pergi. Namun beberapa hari berjauhan jiwaku hampa, hingga tanpa sadar menabrak pohon besar karena melamun saat mengemudi."Apaan sih Mas, seperti anak kecil dapat masalah sedikit langsung mau mati. Kalau tak demi adikmu pikirkan kedua anakmu, Shila dan Alkafi masih butuh papanya, apa kau tak kasihan pada mereka? Yang tak mendapat kasih sayangmu selama kabur dengan ibunya."Baru sadar dari pingsan Carisa langsung mengomel panjang. Dia pikir aku mau mati karena masalahku dengan Asma."Kau hebat Gus, tahan punya istri seperti ini? Anak baru satu tapi mulutnya seperti emak-emak anak sepuluh."Plak ...."Aduh sakit Ca, kau lupa aku baru selamat dari kematian dan kau main tabok aja."Aku melotot pada adik perempuanku yang terlihat semakin kesal. Dia pasti takut aku mati makanya mengomel daritadi."Sudah
POV : AdamAku mengusapkan cairan percintaan ku dengan Asma, ke wajah mantan suami pertama istriku. Pria itu terkejut namun akhirnya bisa membuatnya pergi meninggalkan rumah itu. Tak ada yang tau apa yang telah aku lakukan pada wajah Alam kecuali Bagus, adik iparku benar-benar tak memandang abang iparnya.Saat aku membawa istriku pulang. Lidya dan ibunya kembali menjadi penyelamat, mereka memberiku waktu berduaan dulu dengan Asma, caranya melarang kami membawa Shila dan Alkafi. Tentu saja kesempatan itu aku gunakan dengan sebaik mungkin, begitu sampai rumah aku menggauli istriku sepuas hati."Mas sedang apa?"Aku terkejut melihat kedatangan Asma ke kamar. Aku kira dia masih membereskan meja makan, ternyata dia melihatku mengenggam pil penenang."Apa yang kau lakukan Mas? Tunjukkan padaku. Apa yang kau sembunyikan di belakang tubuhmu?"Aku mengenggam obat itu di tangan, takut Asma sedih melihatnya. Dengan terpaksa aku menunjukan obat itu, karena Asma memaksa dengan cara menarik tanganku
POV : AdamAku terbangun ketika merasakan gerakan. Langsung melompat takut Asma pergi lagi seperti biasanya. Namum wanita itu tersenyum sembari memegang kedua pipiku."Hai ...tenang aku masih di sini Mas, sudah mau subuh kita sholat yuk."Aku mengusap wajahku dengan lega, ternyata malam ini Asma masih ada, saat mata ini terbuka setelah bangun tidur.Cup ...cup ...cup ....Aku melotot saat merasakan kecupan tiga kali di bibir. Asma mendorong tubuhku karena waktu subuh sudah tiba."Sholat dulu Sayang, setelah itu terserah padamu. Aku siap kapan saja kau mau."Wanitaku sudah sangat pandai membujuk. Aku segera ke kamar mandi, untuk bersiap melaksanakan sholat subuh. "Langsung ke mushola ya Mas, aku mandi di kamar sebelah."Aku hanya menjawab singkat, bagus dia mandi di kamar sebelah jadi tak banyak makan waktu. Aku juga tak bengong menunggunya mandi."Sayang mau sarapan roti atau nasi goreng?"Aku mengulurkan tangan untuk di cium. Tadi menawarkan diri untuk aku nikmati, sekarang tanya sar
"Apa! Kau menjual perusahaan, tapi kenapa?"Asma terkejut saat George datang dan berkata, kalau perusahaan yang dia pegang akan di jual."Aku dan istriku akan pergi dari Indonesia. Kami akan program bayi tabung, karena orangtua kami minta kembali, maka kami menjual semua aset yang di negara ini."Tapi kau tenang saja, perusahaan dan rumah yang kau tempati sudah ada yang bayar. Kau tak perlu bekerja padaku lagi, karena suami tampanmu sudah membeli semua atas namamu."Asma terkejut mendengar ucapan George. Dia tak menyangka Adam membeli perusahaan dan rumah George, perasaan kartu sakti milik suaminya masih dia pegang, lalu uang darimana untuk membayar semua itu."Ini kartu milikmu dan ini milikku. Gunakan untuk membayar perusahan dan rumah George yang kau beli, kalau masih kurang akan aku cicil."Setelah George pergi Asma langsung pergi ke menemui Adam. Dia kesal karena suaminya tak bicara apapun, soal pembelian perusahaan dan rumah itu."Hai tunggu dulu, duduklah biar mas jelaskan."Ada
Adam mencium bibir istrinya dua kali, dia berjanji akan memenuhi apa yang Asma mau saat mengidam. Sesalnya begitu besar hingga ingin menebus kesalahan, saat istrinya mengandung Alkafi."Bagaimana? Bapak Adam sudah sadar. Kalau sudah bisa langsung pulang, karena semua baik-baik saja. Perut Bu Asma hanya keram biasa, saya sudah resepkan obat dan vitamin untuk menguatkan kandungannya. Pesan saya hanya satu, berhubungan intim boleh-boleh saja tapi tetap harus hati-hati."Adam dan Asma menganggukan kepala, walau harus menahan rasa malu. Kini kedua pasangan itu sudah dalam perjalanan pulang, dengan raut wajah bahagia. Adam terus memegang tangan istrinya dengan erat."Sayang itu martabak, itu rujak, es cendol."Di sepanjang perjalanan, Adam menyebut makanan yang mereka lewati. Tak hanya itu dia juga turun membelinya, meski Asma sedang tak ingin makan sesuatu."Dia benar-benar ingin merasakan saat aku mengidam."Asma menatap sang suami yang sedang antri membeli sate. Pria itu melambaikan tanga
"Selamat pagi Mas Adam. Mau berangkat kerja ya?"Adam menelan ludah yang mulai terasa pahit. Melihat tetangganya mendatanginya, ingin rasanya bersimpuh dan meminta maaf, karena semalam telah mencuri buah yang di tanam dengan sangat baik oleh pria di depannya.Tara tersenyum menatap Adam yang terlihat gugup. Kalau bukan karena istrinya ngidam, Adam tak akan nekad mencuri jambu milik tetangganya."Santai saja Mas, saya sudah ikhlas dan ini saya kembalikan amplopnya. Asal mas tau istri saya juga sedang hamil anak pertama, lima tahun menikah belum memiliki keturunan. Tapi tadi pagi saat saya hendak melabrak kalian, istri saya malah ngidam."Adam terkejut dia tak menyangka ada kejadian seperti ini. Dia merasa istrinya membawa keberuntungan baginya karena tak jadi di labtak Tara."Terima kasih Mas Tara, semalam istri saya ngidam dan ingin makan jambu mas Tara. Terpaksa saya ikuti walau awalnya saya takut, Mas akan marah dan menyerang kami, syukurlah ada bayi kalian menjadi penyelamat kami."
"Sri tolong jaga Shila, ingat jangan lengah. Bapak tidak mau terjadi sesuatu pada anak cantik ini."Adam mencium pipi anak tirinya. Dia begitu menyayangi anak itu, karena sejak kecil dia sudah dekat dengannya. Perasaan itu tak berubah meski Asma pergi membawa anaknya."Kakak jangan sedih lagi, papa dan mama sayang banget sama Shila dan juga adik Alkafi. Nanti kita pergi main bersama setelah pulang sekolah. Bagaimana, setuju kan Nak?"Shila menatap wajah papanya lalu tersenyum. Dia tak mau papa dan mamanya sedih karena melihatnya sedih, meski mamanya melupakan ulang tahun yang selalu di rayakan walau tanpa Adam."Sri bapak pulang duluan, ingat jaga Shila jangan lengah. Siapapun tak boleh menemuinya tanpa ada ijin dari saya dan ibu."Sri mengangguk lalu membawa Shila masuk ke kelas. Sebelum pergi Adam menemui wali kelas putrinya dan meminta untuk menghubungi orangtua murid lainnya, agar datang merayakan ulang tahun Shila di rumahnya. Dia akan mengirimkan bus untuk menjemput anak-anak nan
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari