Bab 13A Siasat licikLangit senja mulai menampakkan semburatnya. Wajah lelah yang terlukis di barisan anak-anak muda tidak menyurutkan semangat mereka menggapai asa.Gita dan kedua sahabatnya baru saja menyelesaikan Ospek. Berjalan beriringan, Gita dan Ela mencari keberadaan Toni."Hai, mau langsung pulang?" teriak Toni dari kejauhan."Iya, mumpung tidak ada tugas," sahut Gita diangguki Ela."Kalau gitu besok kita jalan-jalan aja keliling Yogya atau ke Sunday morning, gimana?" tawar Toni membuat wajah keduanya berbinar."Siap!""Oke, kita kumpul di gerbang kampus ya," imbuh Toni.Mereka bersepakat jalan-jalan esok hari.Drrt,drrt,Ponsel Gita di sakunya bergetar."Sebentar, ada panggilan."Gita mengerutkan dahi saat membaca nama yang ada di layar. Tak biasanya Tuan Ardi menelponnya."Siapa?" tanya Ela heran."Tuan Ardi.""Halo, Tuan.""Posisi dimana? Aku jemput di gerbang seperti biasa. Cepat kesini!""Hah," belum melayangkan protes, panggilan sudah ditutup dari seberang."Menyebalkan
Bab 13B Siasat licik"Ini kan baju mahal. Kenapa Tuan Ardi sampai membeli untukku. Ah, nanti juga pasti disuruh mengembalikan."Dengan percaya diri baju tunik floral sudah melekat di tubuh Gita. Sangat pas ukurannya dan terlihat modis tapi masih sopan. Dilengkapi dengan pasmina instan polos warna senada."Eh, Tuan Ardi tahu juga pakaian yang biasa aku pakai."Berjalan menuju mobil yang terparkir, Gita membuka pintu dengan perasaan canggung."Sudah?" Ardi terpana melihat penampilan segar Gita yang baru saja duduk di samping kemudinya. Gita hanya mengangguk dengan seulas senyum.Jika tidak mengingat gadis di sampingnya ponakan Revan pasti Ardi sudah mengajaknya bersenang-senang mengelilingi kota Yogya."Lho, Tuan Ardi mau kemana?""Ke mushola, ayo!"Gita tertegun, tak percaya apa yang didengarnya barusan."Saya sudah sholat, Tuan.""Saya belum," teriaknya.Gita mengekori dengan wajah keheranan. Angin dari mana yang mengubah pikirannya, batin Gita."Ajari aku cara berwudhu!" "Hah, masak
Bab 14A Mahkota yang terenggut"Ini pasti gara-gara Laras. Gadis kampung itu sudah mencuci otak Ardi. Aku harus membuat perhitungan dengannya." Seringai licik terbit di bibir merah Jessy."Ras, Tuan Ardi minta dibuatkan minuman. Kamu antar ke kamarnya, aku mau pulang."Jessy menyodorkan bungkusan ke tangan Gita.Sempat heran, Gita membuang jauh pikiran buruknya. Segelas minuman yang diberikan Jessy siap diantar ke kamar Ardi."Tuan, ini minumnya." Gita hanya menelan ludah melihat ketampanan Ardi di depan mata. Mengenakan kaos slim putih dengan bawahan celana hitam."Saya nggak minta dibuatin, Ras. Eh tapi nggak apa-apa, kemarikan!"Gita berlalu masuk ke kamar lagi.Beberapa menit berlalu, suara teriakan Ardi sampai ke telinga Laras."Jessy, Jess sini kamu!""Ada apa, Tuan Ardi berteriak." Detak jantung Gita bertalu-talu. Ingin mengatakan kalau Jessy sudah pulang."
Bab 14B Mahkota yang terenggut"Astaghfirullah, Non Laras. Non...," pekik Bi Irah tanpa mendapat respon dari Gita.Susah payah Bi Irah mengganti pakaian Gita dan mengeringkan rambutnya. Gadis yang seusia cucunya itu kini meringkuk di ranjang minimalisnya. Bi Irah membalur perut dan punggung Gita dengan minyak kayu putih untuk menghangatkan badan.Gita berpikir cucuran air dingin yang mengalir deras dari kran pun tak mampu membuat perasaan kotor di tubuhnya menghilang."Tenanglah! Bibi buatkan sup dulu, Non!"Bi Irah sudah menduga hal buruk terjadi. Tak ingin menambah Gita terpuruk, Bi Irah bergegas ke dapur membuatkan sup. Jam masih menujukkan satu jam menuju subuh tiba."Ini, Non. Sup dan susu jahe. Bibi suapin."Bi Ira menyuapi dengan penuh kelembutan, lalu disodorkan segelas susu. Melihat tatapan kosong Gita membuat Bi Irah trenyuh."Apa yang sudah Tuan Ardi lakukan hingga Non Laras jadi
Bab 15A Menghindar Hati yang terluka lebih terasa sayatannya daripada fisik yang tersakiti. Andai waktu bisa diputar ulang, Gita akan memilih tinggal dan patuh pada suaminya. Kini penyesalan yang tersisa, hanya akan menambah dosa jika dia tak mampu bertaubat memperbaikinya. "Ta, jadi ke Sunday Morning, yuk!" Suara penuh semangat dari seberang yang melakukan panggilan ke ponsel Gita "Maaf, El. Aku demam nih. Tolong bilangin Toni lain kali saja ya!" "Astaga, kamu sakit. Share loc, Ta. Kita nggak jadi jalan-jalan aja. Aku dan Toni yang kesitu." Panggilan berakhir, Gita resah dengan kondisinya. Remuk badannya belum pulih benar. Mengirimkan lokasinya, Gita merasa dengan bertemu dua sahabatnya mampu meredam kesakitannya. "Ras, boleh masuk?" Suara maskulin itu mengagetkan Gita. Jiwanya terbang entah kemana. Tubuhnya meremang kala mengingat perbuatan tak ampun tuannya. Dia tak sanggup menatap wajah lawan bicaranya. "Gimana kondisimu sekarang?" tanya Ardi dengan intonasi rendah. "Al
Bab 15B Menghindar"Ckk, sejak kapan kamu mengakui istrimu. Bukankah kamu mau balas dendam dengan menghancurkannya?"Sejatinya itu hanya alasan Ardi supaya Jessy tidak melakukan hal buruk pada Laras. Kalau terjadi apa-apa pada Laras, persahabatannya dengan Revan pasti hancur."Kamu mau menemaniku ketemu Pak Robert atau tidak? Kalau masih mau berdebat, lebih baik aku tinggal," ancam Ardi membuat Jessy mencebik kesal."Aku ikut."Di luar rumah tampak muda mudi bertanya pada satpam penjaga rumah."Pak, apa benar Gita tinggal di sini?"Ela mencoba bertanya sembari melongok ke arah rumah bergaya modern dengan taman kecil asri menghiasi halaman depan."Maaf, mbak. Di sini rumahnya Tuan Ardi. Tidak ada penghuni rumah bernama Gita. Adanya Bi Irah dan Non Laras yang perempuan."Ela dan Toni saling berpandangan."Non Laras itu masih kuliah ya?""Iya barusan masuk kuliah tahun ini.
Bab 16A Tamparan Fakta Setelah tiga hari menghindar, Gita mulai bersikap biasa saat bertemu Tuan Ardi. Dia tidak ingin mengundang curiga jika terlalu lama dalam kecanggungan. Biarlah waktu tergerus dengan sendirinya yang akan menghapus kenangan penuh duka."Hari ini ke kampus jam berapa, Ras?" Ardi berdiri di belakang Gita yang sedang membereskan alat masak, sementara Bi Irah menjemur baju di teras belakang."Saya berangkat siang, karena pagi jadwal kuliah kosong, Tuan.""Ya sudah, nanti berangkat naik taksi saja! Ini gajimu bulan ini, lebihannya untuk ongkos perjalanan."Gita terkejut melihat amplop coklat diletakkan di meja oleh Tuan Ardi. Mencoba mengambil lalu mengintip isinya. Berlembar-lembar uang ratusan ribu tersimpan disana."Tapi, Tuan, saya belum genap sebulan di sini.""Anggap saja, bayaran mingguan.""Kalau mingguan, ini terlalu banyak.""Yang memberi gaji kan saya, nggak usah protes, kamu tinggal terima saja, mengerti!" Nada tegas dengan intonasi tinggi membuat Gita ter
Bab 16B Tamparan FaktaAkhirnya, satu dari sekian sertifikat bertuliskan lengkap Bintang Lazuardi Atmaja."Hah, jadi nama belakangnya Atmaja."Seketika Gita syok, kepalanya bagai dihantam palu. Tanganya pun gemetar memegang sertifikat itu. Mendaratkan pant*tnya ke kursi, mulut Gita menganga tak percaya seraya tangan kanan menutupinya.Dari sekian banyak nama kenapa bisa sama persis. Gita masih berharap ini hanya sebuah kebetulan. Namun bagaimana kalau ini nyata. Tuan Ardi anak tiri atau justru suami. Seperti orang linglung, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Gita segera mengambil nafas dalam dan berulang."Ya Rabb, cobaan apalagi ini. Kalau dia suamiku, aku sangat bersyukur dosa malam itu berpeluang menjadi pahala. Namun kalau dia anak tiriku, sungguh dosa itu tak bisa termaafkan. Apa yang harus aku lakukan." Mondar-mandir memutar otak, tidak hanya tangan, sekarang tubuhnya pun ikut gemetar. Mengingat malam panjang
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu
Bab 131 TipuanHari berganti hari hingga menjadi minggu, Cantika berperan dengan tipuannya sebagai wanita penggoda Sakha. Dia bersikap manja saat bersama laki-laki itu. Sesekali meluncurkan rayuan saat di depan Robert. Toni sampai harus menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat aksi mesra keduanya. Akting Sakha dan Cantika layak diberi apresiasi seperti bintang sinetron"Gimana, Sayang. Kita ambil saja proyek dengan Pak Robert. Track recordnya sudah tidak diragukan lagi. Bagi hasil keuntungannya juga besar. Ayolah, nanti setelah proyek selesai, kita bisa liburan ke pulau yang indah berdua," ungkap Cantika dengan gaya centilnya.Robert yang melihat dari balik meja kerjanya tersenyum menyeringai. Dia memang memerintahkan Cantika untuk merayu Sakha supaya bisa diajak kerja sama. Dengan nama perusahan Sakha, kerja ilegal Robert bisa disamarkan."Baiklah, saya perlu membaca surat kerjasamanya terlebih dulu Pak Robert. Paling lama tiga hari, saya akan memberi kabar hasilnya.""Jangan lam
Bab 130 SepakatSetengah jam, Sakha dan Toni duduk di luar kamar yang dimasuki Cantika dan wanita yang sudah renta tadi. "Pak, gimana? Kenapa gadis itu belum keluar juga?"Sakha hanya mengedikkan bahu. Ia lalu beranjak dari duduk dan mendekati kamar. Berhenti sejenak di depan pintu yang sedikit terbuka. Tampak di sana Cantika sedang membenarkan posisi yang nyaman untuk wanita tua tadi."Nek, istirahat saja. Ika baik-baik saja, kok.""Jadi gadis itu biasa dipanggil Ika. Pantas tidak ada yang kenal Cantika."Sakha mengembuskan napasnya kasar. Ia baru sadar kalau Cantika bekerja untuk menghidupi wanita tua yang pantas jadi neneknya itu.Beberapa menit kemudian, Cantika sudah turun dari ranjang dan berniat keluar. Sakha segera kembali ke kursi duduk bersama Toni."Gimana, Pak?" tanya Toni penasaran.Sakha hanya memajukan dagu ke arah pintu kamar di mana Cantika keluar dari sana."Kenapa kalian masih ada di sini? Sana pergi, jangan ganggu aku!"Cantika melenggang masuk ke sebuah ruangan ke
Bab 129B Ancaman"Berhenti! Atau kalian babak belur keluar dari sini.""Ups, sial. Gadis ini kuat juga, Bos.""Awas!" pekik Sakha saat bogeman Cantika mengenai Rahang kiri Toni.Tidak keras tetapi mampu membuat nyeri di pipi Toni."Astaga, perempuan ini ganas sekali."Sakha jengkel sekaligus menahan tawa. Bisa-bisanya ia dan Toni dikalahkan perempuan."Oke,oke. Kami mundur. Sekarang katakan. Apa tujuanmu berbuat licik padaku, hah?"Sakha mencoba bernegosiasi. Ia tidak ingin salah melangkah dan akhirnya usahanya membela hak warga gagal."Aku jelas butuh uang. Jadi kalian pergi saja. Karena kedatangan kalian ke sini hanya akan membuat masalah bagiku.""Oke, berapa uang yang kamu butuhkan? Aku bisa mencukupi lebih banyak dari yang diberikan Robert. Kamu tahu dia bukan siapa-siapa. Dia mantan napi karena sudah menipu ayahku. Sekarang katakan butuh uang berapa kamu? 100juta, 200juta, setengah milyar?"Cantika terkesiap mendengar uang yang besarnya menggoda."Pak. Jangan gila! Pak Ardi tidak