"Apa kau menungguku?" bisik Brian pelan, memandangi wajah Luna yang sedang tertidur pulas di sofa.Brian baru kembali dari menyegarkan pikirannya, dengan cara menyelesaikan beberapa pekerjaan untuk beberapa hari kedepan. Brian memang tidak langsung pulang ke rumah setelah berkunjung ke apartemen Adrian, saat itu. "Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan padaku, hingga aku jadi seperti ini. Kau bahkan tidak bisa hilang dari pikiranku Luna, meski aku sudah berusaha menjauh agar tidak melihatmu." Brian membelai lembut rambut Luna yang menutupi wajahnya."Aku takut, aku tidak ingin memaksamu untuk bertahan di sisiku jika kau tidak ingin. Namun, aku juga tidak bisa jika harus melepaskanmu. Perjanjian itu, aku menyesal membuatnya. Sekarang, tidak bisakah kita melupakan itu?"Brian terus berbicara, mencoba menyampaikan isi pikirannya yang sangat berisik. Karena itu pula, Brian sampai meninggalkan rumah selama dua hari, tanpa berpamitan pada Luna dan juga Bintang.Andai saja Brian tahu, bahwa Lu
"Kau bisa pergi dari rumah ini, setelah aku dan Bintang berangkat ke luar negeri besok," ucap Brian, acuh. Setelah penolakan yang diberikan Luna semalam, membuat harga diri Brian tertoreh. Brian tidak menyangka, bahwa Luna akan mendorong, dan meninggalkannya sendirian.Oleh sebab itu, Brian memutuskan untuk pergi keluar negeri selama beberapa hari. Ia butuh waktu untuk menerima penolakan Luna. Menenangkan pikirannya agar bisa kembali fokus tanpa bayang-bayang Luna."Bagaimana dengan Bintang? Apa kau memberitahukan padanya? Tentang kita," tanya Luna, ia jadi merasa enggan. Ada rasa sesal dalam dirinya, namun ia tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Luna harus menepati janjinya, atau ia akan kehilangan segalanya."Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, cepat atau lambat dia akan tahu. Dan, aku akan mencarikan Mama baru untuknya, kau tenang saja." Brian berlagak sombong, masih tidak terima atas penolakan Luna.'Cih, apa kurangnya aku,' batin Brian.'Aku itu tampan. Ah, bukan lagi seked
"Jawab, Luna!" seru Brian, menatap tajam pada Luna yang hanya menutup rapat mulutnya sembari terus menunduk."Luna!" geram Brian tertahan, ia sedang memupuk sabar untuk menghadapi diamnya Luna. Lagipula, apa sulitnya menjawab pertanyaan singkat Brian."Luna …."Mendengar panggilan Brian yang melunak, Luna memberanikan diri menatap Brian, membuat ia menyadari. Brian tengah menahan amarahnya, rahangnya mengatup keras."Brian, bisa kita bicara di dalam?" ucap Luna dengan gusar sembari menunjuk ke dalam ruang kerja Brian.Meski di lantai teratas gedung ini dikhususkan untuk ruangan Brian, sehingga tidak memungkinkan para pegawai yang bekerja untuk sampai di sana tanpa keperluan yang mendesak. Namun, Luna tetap saja merasa khawatir akan ada yang melihat mereka saat ini."Baiklah, mari bicara di dalam!" Brian menurut atas apa yang dikatakan Luna, mempersilakan Luna untuk masuk ke dalam ruangannya."Sekarang, katakan! Apa maksud dari pesan ini?" tanya Brian, menatap tajam Luna yang berada di
"Luna! Bisa kau bekerja dengan serius! Kau bahkan belum genap sebulan bekerja, tapi sudah membuat banyak masalah!"Telinga Luna terasa berdengung saat mendengar suara bentakan dari seorang wanita paruh baya, pemilik cafe tempat ia bekerja. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi, namun Luna tidak punya pilihan lain selain memaksakan diri untuk tetap bekerja."Maaf," ucap Luna, berusaha menahan rasa pusing yang membuat kepalanya berdenyut nyeri."Kau terus saja meminta maaf, tapi tidak pernah bekerja dengan becus. Jika terus seperti itu, lebih baik kau mencari pekerjaan yang lain. Di sini tidak membutuhkan pekerja yang sering membuat kekacauan sepertimu!" ujar wanita paruh baya tersebut, ia lalu pergi dari hadapan Luna.Setelah kepergian wanita paruh baya itu, Luna segera membersihkan sisa-sisa tepung yang masih berhamburan di lantai. Karena tiba-tiba merasa pusing, Luna tidak sengaja menumpahkannya."Seharusnya kau lebih berhati-hati!" cibir rekan kerja Luna."Kami pulang dulu, jangan
Brian tertegun melihat Luna dari balkon rumahnya. Hujan yang baru saja reda membuat tubuh Luna yang basah kuyup jadi menggigil. Bibirnya begitu pucat, tampak jelas dari pantulan lampu yang menyorot wajahnya.Awalnya Brian tidak begitu peduli, ia sudah tahu alasan mengapa Luna datang ke rumah ini. Brian sudah melihat berita yang beredar. Meski merasa geram, namun Brian belum juga melakukan tindakan apa pun.Pantulan cahaya lampu menyorot wajah Luna yang pucat, membuat Brian segera turun untuk menemuinya. Sisi kemanusiaan Brian masih ada, hingga ia masih meluangkan sedikit waktu untuk menemui Luna."Untuk apa kau datang ke sini?" tegur Brian sembari terus berjalan mendekati Luna yang sudah akan pergi. Keterkejutan Brian bermula saat Luna tiba-tiba berbalik dan menghampirinya, membuat Brian mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak di antara mereka."Brian, aku membutuhkan bantuanmu," ujar Luna, menatap Brian dengan tatapan memohon, "rekaman video yang sempat aku ceritakan, sekaran
"Papa berbohong lagi!"Luna menoleh, tatkala ia mendengar suara Bintang yang berteriak diiringi isak tangis yang memekik. Membuat Luna segera menyelesaikan urusannya, membersihkan wajah dan segera keluar dari kamar mandi yang ada di kamar Brian.Saat bangun tadi, Luna merasa pusing dan mual. Belum sempat mengonsumsi makanan semenjak siang, menjadi salah satu penyebab Luna merasa pusing disertai mual."Bintang," lirih Luna dengan lemas. Ia berdiri memandangi Bintang yang menangis dalam gendongan Brian, suara Luna masih sangat lemah, Luna bahkan harus berpegang pada dinding agar ia tidak jatuh."Luna, kau baik-baik saja?" Brian yang masih begitu khawatir, segera membawa Bintang menghampiri Luna yang terlihat masih sangat lemas. Brian segera menurunkan Bintang dan membantu Luna."Mengapa tidak memanggil aku, bagaimana jika kau terjatuh dan pingsan lagi," gerutu Brian sembari menuntun Luna untuk kembali berbaring.Bintang yang tidak mengetahui apa pun hanya mengikuti Brian yang menuntun Lu
"Siapkan pakaianku! Mulai sekarang, kau harus membangunkan aku setiap pagi, juga menyiapkan pakaian!" perintah Brian, tegas. Ia masih juga merasa kesal saat melihat Luna.Kejadian yang membuatnya harus bangun begitu pagi, karena Luna yang mendorongnya begitu keras. Padahal, Brian hanya memeluknya, itu juga karena tidak sengaja, Brian tidak menyadarinya karena masih tidur."Baik," jawab Luna patuh, segera masuk ke ruang ganti pakaian."Seharusnya aku yang marah, kau yang memeluk dan menyentuh dadaku," gerutu Luna, mengambil pakaian yang kiranya tepat untuk digunakan oleh Brian, "meskipun kita masih berstatus pasangan suami-istri, tapi hubungan kita berbeda, masih sangat abu-abu," lanjutnya menggerutu, masih juga merasa kesal."Tidak perlu mengumpat di dalam sana, segera bawa pakaian yang harus aku kenakan ke sini!" teriak Brian. Ia sempat mengintip dan mendengar apa yang dikatakan Luna.Mendengar teriakkan Brian, Luna menutup rapat mulutnya. Menyadari bahwa ia baru saja ketahuan. Luna s
Rasanya Luna ingin memaki Brian yang selalu melakukan apa pun sesukanya. Bagaimana bisa Brian meminta Adrian datang ke rumah hanya untuk mengambil bekal makan siang buatan Luna."Brian yang memintanya." Adrian masih berusaha meyakinkan Luna yang tidak mudah percaya."Lebih baik Anda siapkan secepatnya, saya tidak memiliki banyak waktu," ujar Adrian, memperingatkan Luna yang hanya menatap tak percaya pada Adrian."Tetap saja, mengapa harus merepotkan aku, kau bisa membeli makanan di luar. Ada banyak restauran yang menyajikan makanan enak. Kau bisa langsung memesan dan membawanya pada Brian saat itu juga," protes Luna, enggan melakukan perintah Adrian."Andai saja Brian mau, saya tidak akan membuang-buang waktu untuk kemari, Nona Luna yang terhormat," geram Adrian, sudah cukup ia merasa kesal dengan perintah Brian yang tiba-tiba ini, sekarang ia malah semakin kesal dengan Luna.Entah mengapa, Kesialan Adrian terasa lengkap jika Luna ada di dekat Brian. Karena saat itulah, pekerjaan Adria
Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna
Brian duduk termenung, memandangi permukaan jari manisnya, dimana sebuah cincin mengikat di sana. Cincin pernikahannya dengan Luna."Aku begitu mencintaimu Luna, hingga melupakan satu hal. Bahwa aku akan melepaskanmu setelah kamu menemukan sosok pria yang bisa kamu jadikan rumah yang nyaman, yang akan melindungimu setiap saat," gumam Brian."Apakah sekarang sudah waktunya?""Apakah, dia orang yang akhirnya kamu pilih?"Brian menghela napas, perasaannya tak menentu. Apakah Brian bisa melepaskan Luna untuk orang lain? Bagaimana dengan anak yang dikandung Luna, bukankah itu anak Brian?"Anda hanya membuang-buang waktu di sini, saat istri Anda sedang kesakitan karena merasa keram pada perutnya."Adrian yang sedari tadi menatap Brian dari jarak yang cukup jauh, memutuskan untuk langsung menghampiri Brian. Adrian ingin merasa kasihan, namun disisi lain Adrian juga merasa kesal dengan sikap tidak sabaran Brian. Hingga ia terus menerus s
Suasana di rumah pemangku adat sedang ramai-ramainya, para warga berkumpul untuk memastikan berita burung yang sudah menyebar.Luna, perempuan yang baru pindah ke kampung mereka, diberitakan melakukan pelanggaran adat. Tantu saja hal ini menjadi buah bibir yang mengantarkan banyak warga menuju rumah pemangku adat, untuk memastikan bagaimana kebenarannya.Luna memang sudah dikenal oleh beberapa orang, termasuk orang tuanya, mengingat Luna dan orang tuanya pernah tinggal di kampung ini sewaktu Luna masih kecil. Dan Luna baru kembali lagi menampakkan diri selama beberapa bulan ini, dengan Luna yang berstatus sebagai istri dari Baim yang bekerja di kota."Jadi, Nak Luna bisa jelaskan dulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya sang pemangku adat, "apakah berita itu benar, bahwa kamu selingkuh disaat suami kamu sedang bekerja di kota?""Kami tidak selingkuh, dia istri saya!" tegas Brian.Brian tidak suka mendengar nama Luna disertakan sebagai istri dari pria lain, karena Luna hanyalah istrin
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah, meski terlihat sederhana, namun di sini benar-benar nyaman. Akan tetapi, bukan itu yang sekarang mengganggu pikiran Brian. Kemana saja Brian selama ini, membiarkan istrinya tinggal sendirian, merasakan kesulitan sendirian, di saat Luna tengah mengandung anaknya. Brian benar-benar dipenuhi rasa bersalah.Seandainya Brian tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan sempat menaruh rasa benci pada Luna, semua ini pasti tidak akan terjadi. Luna tidak akan menderita sendirian, karena Brian pasti akan menemukannya saat itu juga. 'Semua ini, salahku!' pikir Brian."Brian!""Brian!"Brian terkejut, sontak ia menoleh ke arah Luna yang duduk di dekatnya. Padahal mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, mengapa Luna harus berteriak segala."Aku bicara padamu! Mengapa hanya diam saja." Luna melotot, kesal saat ia bercerita panjang lebar tapi Brian hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri."Maaf, sayang. Aku tidak menden