Bab 19 Tak seindah impian“Jeng Sri, ngapain kita ke sini,” ulang Herni cemas.“Kita mau bersenang – senang bersama teman Om Ha. Dia lebih royal dari Om Ha. Nanti Jeng Herni minta apa saja, pasti dikabulkan” Hidung Sri kembang kempis saat mengatakannya. “Jeng Herni suka uang kan? Nanti uangnya bisa ditabung atau buat senang – senang. Biar gak usah minta dan ngemis – ngemis sama anak. Bener kan, Om Ha?”“Iya, Ibu Herni bisa membeli dan membelanjakan uang semaunya tanpa takut.” Pria berkepala lonjong itu melirik Herni yang duduk di belakang dengan tatapan penuh arti.“Iya, tapi kenapa harus ke hotel?” Herni semakin khawatir. Saat Om Ha membuka pintu mobil.“Nanti Jeng Herni tahu. Kita cuma disuruh mengerjakan apa yang mereka mau, dan itu gampang sekali pekerjaannya. Ndak usah banyak tanya, ayo masuk.” Sri menggandeng tangan Herni dan mengajak masuk ke dalam hotel mengikuti Om Ha yang berjalan terlebih dahulu.Herni tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, ketika mereka melewati lobi ho
Bab 20 Rayuan setan Semakin Herni berontak, lelaki itu semakin beringas memuaskan dahaganya. Sedangkan Herni hanya bisa menangis, tanpa berani melawan. Inikah yang disebut Sri ada lelaki yang mau memberinya uang? Inikah yang disebut Sri, pekerjaannya gampang? Wanita itu baru sadar, Sri telah tega menjual dirinya pada lelaki hidung belang. Air mata deras membanjiri pipinya, dan ia merasa dirinya kotor. Ia berlari ke kamar mandi, dan berkali – kali mencuci area intimnya. Sayangnya, perbuatan itu membuat dirinya merasa makin kotor dan bodoh. Herni menyandarkan dirinya ke dinding kamar mandi dengan rasa sesal menggunung. Ketakutan menghantui dirinya. Bagaimana jika anak – anaknya tahu? Saat itu juga dirinya ingin lenyap dari muka bumi. Lelaki itu mengetuk pintu. “Cepatlah, aku mau mandi.” Herni keluar kamar mandi dengan muka lesu dan mata sembab. Dia melewati lelaki itu tanpa bicara lalu memakai pakaiannya. “Uangnya sudah kutaruh di atas kasur, kapan kita bisa bertemu lagi?” teriak
Bab 22 Penguntit Bening memperhatikan Ajeng yang lebih banyak melamun. “Apakah tugas yang Kakak berikan terlalu berat?” tanyanya suatu sore yang lembab. Ajeng menggeleng. “Tidak, Kak, hanya saja aku belum bisa merayu Mas Ibra?” keluhnya pelan. Menutupi kegelisahan hatinya memikirkan ibunya yang belum pulang dari semalam. Bening tersenyum tipis. “Setidaknya kamu sudah berusaha,” ucap Bening menenangkan. Dia cukup puas dengan kinerja Ajeng, dan hendak memberikan bonus untuknya. Ia lalu duduk di kursi miliknya, memeriksa email. “Oh, ya, apa ada pesan menarik yang mau kamu bagikan dari media sosial?” Semenjak Ajeng turut bergabung dengan Joli Flower, ia memiliki meja sendiri. di pojok ruang. Sehingga ia nyaman melakukan pekerjaannya. Di seberang, Ajeng tersedak, lalu terbatuk – batuk. Trik jitu agar tidak menjawab pertanyaan Bening. Beberapa hari ini, dirinya menerima pesan masuk yang isinya kata – kata tak senonoh tentang Bening dan Joli Flower, dan ia berulang kali menghapus pesan
Bab 23 Dia yang cemburu Perlahan Kama menjalankan mobilnya membelah jalan raya. Mata lelaki itu tegang dan waspada melihat kaca spion. Mobil itu masih mengikutinya. “Ayo kita lihat siapa yang paling lihai di sini,” gumam lelaki itu pelan, sembari terus awas mengawasi keca spion. Sebelum lampu merah, dia menancap gas, kemudian dengan lihai ia berbelok ke kiri lalu berputar melewati jalan tikus yang tembus ke jalan utama yang sepi. Tak berselang lama, ponsel Kama berdering. Pria itu mengangkatnya. “Oke, terima kasih.” Senyum lelaki itu menyeringai setelah mendapat informasi dari sekretarisnya. “Jadi kamu mau menguntitku. Silahkan saja dan tunjukkan sampai di mana keberanian kamu,” gumamnya. Kening Kama tampak berkerut, kelihatan sekali ia berpikir keras mengatur strategi. Setibanya di ujung jalan, dia sengaja berhenti, sedangkan matanya awas memperhatikan jalan. Selanjutnya setelah melihat mobil hitam itu melintas di depannya, Kama langsung tancap tas mengejar mobil itu. Setelah mo
Bab 21 Ketahuan “Ma, Papa tahu, tapi kita tidak memaksa Bening menyewa pengacara untuk menyelesaikan masalah. Kamu tahu sifat anakmu bagaimana. Semakin kamu tekan, Bening akan menjauh. Buktinya dia tidak bercerita kenapa dia mengajak Ajeng bekerja bersamanya. Coba Mama sekarang tanya Atun, dia tiap hari bersama Bening.” Iswati menoleh pada Atun yang duduk di sampingnya. “Tun, coba ceritakan pada kami apa yang kamu tahu.” Atun serba salah, dan dia menceritakan sebatas yang dia tahu. Iswati yang mendengarnya tercengang. Selama ini Bening tidak pernah menceritakan masalahnya di rumah. “Masak begitu, Mba Atun? Ibra benar – benar kejam dan dia manipulative. Apa yang harus kita lakukan, Pa?” “Kita awasi saja dia Ma, tapi jangan terlalu frontal, supaya Bening tidak jengah.” Sesampainya di Mall dan mau naik elevator, mata Iswati tertumbuk pada sepasang pasangan yang sedang makan dengan riang. Mereka tampak akrab. Buru – buru dia mengambil foto lalu mengirimkannya pada Ajeng. Dengan dad
Bab 24 Curiga “Ada apa? Kamu seperti melihat sesuatu yang mencurigakan,” tanya Kama ketika melihat kerutan di dahi Bening. Matanya cepat menyisir ke sekeliling, siapa tahu Ibra nekad membuntuti mereka. “Tidak ada apa – apa.” Sebenarnya Bening tadi melihat Herni - mertuanya bersama seorang pria muda, masuk ke tempat penjual lalapan yang mau mereka tuju. Masalahnya ia terlalu malas untuk sekedar menyapanya. Wanita itu lalu melemparkan pandangan pada deretan penjual lapak yang berderet rapi di sepanjang jalan Hang Tuah. Tempat ini seperti pusat kuliner, dan menjadi tempat murah meriah untuk nongkrong bersama keluarga, karena menjual aneka makanan dan minuman. Pembeli tinggal memilih sesuai dengan budget masing – masing. “Bagaimana kalau kita makan di situ saja.” Bening menunjuk Lalapan Pak Shodiq yang posisinya menyempil, tertutupi oleh penjual bubur ayam. “Kamu yakin?” tanya Kama. Dibandingkan dengan tempat lain Lalapan pak Shodiq sepi. “Yap! Siapa tahu, kita merupakan pelanggan p
Bab 25 Mulai kelihatan busuknya“Uang! Uang terus yang kamu pinta! Apa kamu tidak tahu, aku sedang capek!”Ibra mendengkus kesal dan melemparkan tubuhnya pada kursi di ruang tengah.Darah Intan mendidih, gelas minum yang dibawanya ia lemparkan ke lantai dan pecah seribu. “Bagaimana kamu tidak capek, setiap hari kamu kerjanya keluyuran, main slot dan nyabu. Cari kerja dong Mas, uang kita sudah habis.”Muka Ibra makin berkerut. Rahang kedua lelaki itu mengatup rapat. Matnya nanar menatap Intan yang semakin lama ia amati sikapnya makin menjengkelkan.“Aku keluyuran buat cari kerja. Bukan seperti kamu yang bisanya menghambur – hamburkan uang. Coba hitung, berapa banyak uang yang kukasih selama ini kepadamu. Semuanya habis tanpa sisa, bahkan uang hasil penjualan rumah Bening, sebagian besar kamu pakai. Sedangkan Ibu dan adikku tidak mendapatkan jatah sama sekali.”Intan tidak terima. “Hey! Jangan mengada – ada, mana hasil keluyuranmu itu! Terus, memangnya untuk perjalanan kita ke Eropa, te
Bab 26 Gosip“Be, apa mertuamu menikah lagi?” tanya Iswati pada Bening yang baru menidurkan Evan.“Gak tahu, Ma, kenapa memangnya? Ngapain juga pengen tahu urusan mereka.” Bening lalu duduk di samping mamanya di ruang tengah ikut menonton televisi.Atun kemudian datang membawa sepiring pisang goreng dan seteko teh hangat. Bening mencomot satu pisang goreng, kemudian memakannya dengan nikmat.“Bukan begitu, Ajeng kan bekerja denganmu. Siapa tahu dia cerita.”“Aduh, Ma. Ajeng kan bekerja bukan bergosip. Hubungan kami professional. Lagipula Bening tidak mau tahu lagi urusan Ibra dan keluarganya, mending mikirin bagaimana membeli rumah lagi buat Evan.”“Mamamu kan begitu, suka kepo dengan urusan orang,” celetuk Gatot yang menguping pembicaraan mereka.“Ihh Papa. Mama hanya mau meluruskan informasi. Waktu kita jalan – jalan ke Mall bersama Evan, Mama tak sengaja melihat Bu Besan bersama lelaki paruh baya. Mama kira itu suaminya, gayanya mesra sekali. Tapi Mama tidak menyapa, malas.” Iswati
Bab 121 Last episode - Immortality “Cukup, Kak, cukup. Stop mentololkan keluarga saya!” Sesabar – sabarnya Bening, hatinya panas mendengar Tita menyebut keluarganya bodoh. Kebencian kakak iparnya itu kian menjadi, setelah tahu Dinda berniat bunuh diri, kemudian memutuskan hengkang dari rumah Tita, dan memilih tinggal bersama kakeknya di Gunung Gajah. Sementara Arum lebih suka tinggal bersama Kama dan Bening. “Kenapa? Ini mulut saya dan saya bebas mengatakan apa yang saya mau. Keluarga kamu memang tolol, dan mau pansos pada keluarga kami. Puas!!” Sorot mata Tita penuh kebencian saat mereka mau ON AIR di salah satu stasiun televisi. Sekonyong – konyong, tangan Tita mengambil gunting dari balik bajunya, dan secepat kilat merobek gaun Bening. Saat Bening belum sepenuhnya sadar, perempuan itu lalu menarik rambut panjang Bening, kemudian dengan bengis memotongnya sangat pendek. “Ya ampun!” teriak beberapa kru yang melihat setengah rambut Bening terlempar lepas ke lantai. Mereka tidak
Bab 120 Morning call“Kak… aku mau menikahi Dinda.”Sontak donat yang ada dalam mulut Bening muncrat keluar. Dia menoleh dan menatap bola mata adiknya tak percaya. “Kejutan apa lagi ini, Lang?” tanyanya kaget.Wanita itu ingat, saat Andini meninggalkan Elang, lelaki itu terpuruk dan berpikir tidak mau menikah lagi. Eh, sekarang tiba – tiba dia bilang mau menikahi keponakan Kama. Hatinya dag – dig – dug. Ketakutan yang selama ia simpan, terjadi juga.Elang duduk dengan santai di kursinya.“Salah satu alasannya adalah Kanaya, dia butuh sosok Ibu. Walaupun aku tahu, Mama dan Kakak sangat sayang kepadanya. Tapi, Kanaya butuh real mom, dan aku pikir Dinda adalah wanita tepat untuk Kanaya. Dia sangat sayang pada Kanaya.”“Apa kamu sudah memberitahu Mama soal ini?” tanya Bening. Donat bedak kesukaannya tak lagi membuatnya bergairah.Elang tersenyun nakal. Sifat isengnya mulai tumbuh. “Justru karena itu, aku bilang sama Kakak, supaya Kakak mau membantuku bilang sama Mama. Please… hanya Kakak
Bab 119 Forgiving“When a deep injury is done to us, we never recover until we forgive.” – Alan Paton“Aku benci Ibra! Aku muak melihat laki – laki itu!” Bening meremas – remas tangannya. “Tolong jangan pinta aku untuk menemuinya!” Bening benar – benar marah saat Kama tiba – tiba mengajaknya ke rumah sakit untuk menjenguk mantan suaminya itu.Bening masuk ke dalam kamar, dan menenggelamkan mukanya di bantal. Air matanya tumpah teringat dengan semua yang dilakukan Ibra.Kama menarik napas panjang, kemudian duduk di tepi ranjang, sembari mengelus kepala Bening.“Sayang, aku paham dengan kemarahanmu. Tapi Ibra menunggumu, aku tidak tega melihat dia selalu memanggil namamu.”Bening bangun dan duduk di sebelah Ibra. Air matanya meluncur deras. “Hatiku sakit Kama! Ibra sangat jahat kepadaku dan Evan, biarkan saja dia menanggung karmanya!”Kama memeluk dan mengecup kening Bening. “Aku mengerti sayang. Hanya saja, tak ada salahnya memafkan orang yang telah menyakiti hati kita. Ibra sudah mend
Bab 118 The last wish “Tolong beritahu Kak Bening, Mas Ibra sekarat dan ingin sekali bertemu dengannya.” Intan memegang kedua lengan Atun dengan kuat. Setelah dia menceritakan semua yang terjadi. Atun menggeleng. “Maaf Jeng, aku tak bisa. Aku takut Ibu Bening marah kepadaku. Kamu tahu kan, apa yang telah kakakmu lakukan pada Ibu Bening?” Dia khawatir, permintaan itu akan memporak – porandakan kebahagiaan Bening. Ajeng tidak mau perjalanannya sia - sia. “Aku tahu Mba, kakakku memang brengsek, dia telah menghancurkan hidup Kak Bening, tapi tolong Mba Atun, beritahu Kak Bening, bahwasannya kakakku mau meninggal dengan tenang. Aku tahu, selama ini dia menunggu Kak Bening. Mungkin dia mau meminta maaf sama Kak Bening langsung.” Terburu – buru Ajeng mengambil ponsel yang disembunyikan di dalam kantung celananya bagian dalam. “Kalau tidak percaya, lihatlah, lihatlah video ini.” Ajeng memutar video tentang kakaknya. Atun tercekat melihat kondisi Ibra yang sangat mengenaskan. Timbul rasa
Bab 117 A sweet kiss“Sial!!” Suara gedoran pintu itu membuyarkan kenikmatan Kama yang hampir mencapai puncak nirvana. Dia menghentikan gerakannya.“Buka dulu sayang, siapa tahu penting,” kata Bening, mengusap peluh di kening Kama yang berada di atasnya.Muka Kama cemberut, kelihatan kesal sekali dengan gangguan yang ditimbulkan pagi itu. “Biarkan saja. Kita lanjutkan saja permainan kita. Tanggung!” Tangannya menarik selimut dan menutupi tubuhnya dan Bening.Laki – laki itu kemudian memagut bibir Bening, mengulumnya dengan lembut, kemudian melakukan gerakan lamban naik – turun tapi dengan intense, seirama dengan alunan instrument piano yang mengalun lembut. “Kama… kama apa kamu ada di dalam? Tolong buka pintunya sebentar. Kakak mau bicara.” Dengan tak sabar, Tita menggedor – gedor pintu kamar Kama.“Ibu Tita, maaf, tolong jangan ganggu Bapak dan Ibu dulu, mereka mungkin masih tidur,” kata Atun. “Ibu silahkan tunggu dan duduk dulu di situ.”“Hey… diam kamu!” bentak Tita kasar. “Saya i
Bab 116 A slice of life“Oh my God! Meskipun kamu sudah menjadi istri sah Kama, saya tidak sudi dekat – dekat dengan kamu!” ucap Tita songong, saat Bening menyambangi rumahnya siang itu dengan membawa makanan.Kebencian perempuan itu pada Bening telah membuatnya menjadi perempuan buruk, hingga melupakan etika sebagai tuan rumah, dan membiarkan Bening berdiri dari 10 menit lalu.Telinga Anggi yang mendengarnya turut panas, ekor matanya melirik Bening yang berdiri dengan tegar dan tatapan teduh.“Tidak apa – apa, Kak, saya mengerti. Tujuan saya ke sini, selain untuk menjenguk Kakak, saya mau mengajak Kakak untuk menemui Ibu Irina, pekan ini. Beliau ingin sekali bertemu dengan Kakak ipar saya, sekaligus ingin mengajak Kakak bergabung dalam paguyuban Empowering Woman.” Intonasi suara Bening sangat tenang, dan tampak sangat professional menguasai emosinya. “Email resminya, nanti akan dikirim oleh Meli Sudrajat – sekretaris beliau.”Dagu Tita mendongak, sedang tangannya melipat ke depan dad
Bab 115 A perfect wedding “Tidak! Tidak! Saya tidak setuju dengan pernikahan mendadak ini!” Iswati melipat kedua tangannya ke depan. Dia memaksa tersenyum. “Saya paham kalian orang kaya dan bisa melakukan semua yang kalian mau, tapi tidak pada anak saya.” Terlihat jelas Iswati melindungi keluarganya. “Halah sok, paling juga menginginkan pernikahan mewah tujuh hari tujuh malam, supaya bisa disombongin ke media sosial,” celetuk Tita dengan mulut mencibir. “Cukup Ibu Tita, saya mendengar apa yang Anda katakan! Saya memang tidak seberuntung kalian, tapi seujung kuku pun, saya tidak berniat pansos kepada Kama!” balik Bening. Dia menatap tajam mata Tita. Tita kaget dengan keberanian Bening menyanggah perkataannya. Wanita yang dianggapnya lemah itu ternyata pemberani. “Stop! Papa minta tolong jaga sikapmu.” Sapto memperingatkan Tita. Dia kemudian menghadap ke Iswati dan Gatot. “Maaf jika sikap saya menyinggung keluarga Pak Gatot. Masalahnya, menurut pendapat saya, lebih baik menyegerak
Bab 14 Agreement “Sebelum istri saya meninggal, dia telah menyiapkan perhiasan buat istri Kama. Tolong terima ini, sebagai tanda pengikat dari Kama.” Sapto melihat orang tua Bening dengan mata lembut. Asisten Sapto kemudian meletakkan kotak kayu berukir di atas meja, dan membukanya. Kedua mata Gatot dan Iswati terbelalak melihat isi kotak tersebut. Di dalamnya terdapat perhiasan lengkap mulai, cincin hingga kalung bertahtakan berlian. Iswati yang duduk di samping suaminya, menelan ludah yang mendadak kering. Sebagai perempuan tak bisa dipungkiri dia terkesima dengan perhiasan seindah itu. Dalam hati dia menaksir harganya mencapai milyaran. Dia ngeri menbayangkan berapa jumlah kekayaan orang tua Kama, sehingga begitu mudahnya memberikan perhiasan dengan harga fantastic. Sementara Bening, terlihat duduk dengan anggun sambil memangku Evan. Kemilau perhiasan itu sama sekali tidak menggetarkan hatinya. “Maaf, Pak, bukannya saya lancang, tidak menghargai niat baik Bapak Sapto. Tapi,
Bab 113 Fools “Katakan sejujurnya Andini, apa benar Kanaya itu bukan anak kamu dan Elang?” desak Bening saat menemui sahabatnya itu di rumahnya. Ia sengaja datang ke rumah Andini pagi – pagi sekali. Andini yang masih memakai jubah tidurnya, tanpa ragu menuang anggur putih ke dalam kristalnya yang mahal. Kemudian dia duduk di seberang Bening. Mulutnya yang habis di filler menyesap anggur putih itu dengan nikmat. “Iya. Amir meninggalkan aku setelah mengetahui diriku hamil.” Wanita cantik itu membasahi bibir bawahnya. “Saat itu aku panik, aku takut menambah dosa, jika aku menggugurkan Kanaya. Maka, ketika Elang menawarkan pernikahan. Kuanggap itu jalan ninjaku untuk menyelamatkan muka. Dari awal aku berniat meninggalkan Elang setelah Kanaya lahir.” “Lantas, apa kamu bisa menjelaskan tentang Elang yang mengidam itu?” tanya Bening dengan mata berkilat. Ia tahu Elang sempat drop saat awal Andini hamil. “Aku mensugesti Elang, itu saja.” Dengan santai Andini menyesap anggur putihnya, dan