"Kudengar Kathleen sedang pergi."Elena menatap Darryl sambil sesekali menyentuh tubuh telanjang pria itu. Mereka kini berada di ranjang, tepatnya di kamar bersama setelah menghabiskan waktu untuk bercinta. Elena tidak bisa menolak fakta kalau dia memang sudah mulai menikmati hubungan ini dan ingin melupakan masa lalunya, termasuk soal dirinya yang dipaksa tinggal di sini. "Dia ada urusan pekerjaan.""Wanita itu sangat kurang ajar! Dia tidak mau bertanggung jawab setelah membuatku seperti ini." Elena mengeluh dengan emosi saat mengingat kembali kelakuan Kathleen. "Apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Jika benar, kenapa Kathleen sampai mendorongmu?"Elena mendongak. Dia menatap lekat Darryl, sebelum kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi. Dirinya yang difoto telanjang hingga aksi rebut merebut ponsel milik Kathleen dan Elena yang menghancurkannya. Namun dia kemudian didorong oleh Kathleen. "Itu yang terjadi, dia melakukan itu.""Memotretmu? Untuk apa?"Darryl merasa bingung sek
"Aku tidak percaya ini. Apa aku bisa mempercayainya?"Marcell menatap alamat yang diterimanya dan gedung di depan matanya. Dia tidak langsung masuk dan memilih untuk menghubungi nomor yang tertera di kartu nama di tangannya. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya panggilannya diangkat. "Kathleen, aku sampai. Di mana kau sekarang? Turunlah.""Ah, kau Marcell? Cepat sekali. Sebentar lagi, tunggu saja.""Lima menit, jika tidak, aku akan pulang.""Tidak sabaran."Panggilan diakhiri oleh Kathleen dengan cepat saat Marcell bahkan belum sempat membalasnya. Dia berdecak kesal dan mengumpat. Marcell tidak senang dengan sikap arogan wanita itu, tapi dia butuh informasi penting tentang Elena. Setelah pertemuannya kemarin malam dan fakta yang diungkap wanita itu, dia tidak bisa diam saja. Jika itu benar, dia harus membawa Elena segera. Marcell bertahan di luar gedung dan menunggu Kathleen, sampai setelah lima menit, wanita itu keluar. Matanya yang sedang memerhatikan pintu masuk, dapat dengan muda
Malam harinya. Hubungan Elena dan Darryl semakin lengket. Elena tidak bisa berhenti tersenyum di kamarnya. Dia masih mengingat pernyataan cinta pria itu. Elena tidak bisa mempercayainya, tapi dia juga tidak bisa tidak merasa senang. Apa yang diucapkan Darryl terus terngiang di kepalanya. "Tidak-tidak, ini bukan saatnya aku begini. Dia pasti tidak tahu apa yang diucapkannya." Elena bergumam sambil menampar wajahnya. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. Menyingkirkan semua apa yang dikatakannya. Sampai setelah tenang, Elena kini bangkit dari ranjang dan berjalan menuju keluar kamar. Dia hendak makan malam.Elena berjalan dengan tenang seperti biasa sembari melihat ke kamar Ezekiel. Dia memeriksanya, tapi kemudian menyadari kamar itu kosong. Sepertinya Ezekiel telah berada di lantai bawah. Elena yang semangat, langsung turun. Dia tentu saja senang karena berpikir, kali ini makan malamnya akan lebih menyenangkan tanpa Kathleen. Walau dia masih kesal karena wanita itu membuatnya ter
'Aku mencintaimu, Elena.'Elena diam. Dia duduk sambil menyantap makan malamnya tanpa bersuara sedikit pun. Tampak air matanya sudah dihapus. Tangannya sedikit gemetar saat dia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dan sialnya, itu menjadi perhatian bagi Ezekiel. Anak kecil itu menyadari sikap aneh Elena yang kembali setelah katanya mau menjemput sang ayah. "Tante, kok diam saja? Tante tidak kenapa-kenapa? Kenapa Ayah juga belum datang?"Elena menggeleng dan tersenyum lemah. Dia menahan air matanya agar tidak tumpah. "Tidak, makanlah, Sayang. Ayahmu akan segera datang, tunggu saja."Ezekiel mengangguk dan menyantap makan malamnya dengan tenang, tapi perhatiannya tidak luput dari perhatian Elena. Hingga tak lama mereka menikmati makan malam, pintu ruang makan terbuka dan menampilkan Darryl serta Kathleen yang berjalan santai bersama. Perhatian Elena dan Ezekiel seketika teralihkan. Ezekiel tampak biasa saja, berbeda dengan Elena yang tampak terkejut dan langsung memerhatikan penampila
Keesokan harinya. "Aku akan kembali dalam tiga hari. Diamlah di rumah seperti biasa."Cup. Elena diam ketika Darryl mengecup keningnya dan berpamitan untuk melakukan perjalanan bisnis. Ada masalah urgent yang begitu mendadak sampai hari ini, Darryl harus pergi ke luar kota. Elena tidak tahu apakah ini berhubungan dengan perusahaan milik Darryl atau hal lain. Dia tidak pernah tahu. Namun ini mungkin waktu yang pas untuk menenangkan hatinya yang kacau akibat kejadian semalam. "Ya, hati-hati.""Hmm." Darryl tersenyum, lalu perhatiannya tertuju pada Ezekiel. "Kamu jaga Tante. Jangan nakal.""Kapan Iel nakal? Iel selalu baik kok."Darryl menggeleng saat mendengar jawaban anaknya. Dia kemudian berbalik dan hendak melangkah masuk ke dalam mobilnya, tapi sebelum itu terjadi, suara teriakan terdengar. Seseorang dari dalam rumah muncul. "Kak Darryl, tunggu! Aku membawakan bekal untuk Kakak! Kakak harus makan, Kakak belum sempat sarapan." Kathleen berlari dari dalam rumah dan mendekati Darryl
"Jadi, apa kamu paham, Ezekiel?""Paham, Bu guru Siena." Ezekiel mengangguk antusias dan membaca tulisan di buku itu, saat Siena memintanya untuk membaca secara keseluruhan buku tersebut. Ezekiel melakukannya dengan agak terbata-bata dan sesekali dibantu Siena. Mereka berdua sibuk belajar. Lain halnya dengan satu orang lagi yang duduk tak jauh dari mereka. Elena. Kegiatan belajar mengajar Ezekiel dan Siena tidak mampu mengganggu Elena yang kini tampak melamun. Wajahnya murung dan terlihat seperti banyak pikiran. Elena terus merasa gelisah dan dadanya sesak sejak tadi pagi. Bukan karena penyakit, tapi karena Kathleen memberitahu sesuatu yang terus menghantuinya sepanjang hari ini. Ya, Elena melamun karena satu orang dan itu Kathleen. Wanita yang mengucapkan sesuatu yang mengganggunya sampai membuat dia kepikiran. Elena tidak bisa bertanya lebih jelas karena Kathleen sudah dengan cepat berangkat. Dia ingin tahu lebih lanjut dan bertanya apa maksud wanita itu sebenarnya. "Elena? Kamu
"Kesatria gagah itu akhirnya berhasil menyelamatkan tanah airnya dari para penjajah dan dinobatkan sebagai pahlawan. Selesai."Elena menutup buku dongeng yang dibacakan olehnya, yang isinya bercerita tentang kesatria sejati. Seri dongeng yang Ezekiel sukai, yaitu tentang kepahlawanan. "Ini sudah malam, sekarang saatnya kamu tidur, Ezekiel.""Hmm, Tante mau pergi sekarang?"Ezekiel yang merasakan sentuhan ringan tangan Elena di kepalanya, refleks menegang tangan itu dan menatapnya tidak rela. Dia tidak mau ditinggalkan. "Bisakah Tante tidur sama Iel? Ayah 'kan sedang tidak ada. Mau, ya? Iel mau tidur sama Tante.""Eh, tidur sama Tante?" Elena berkedip. Dia sedikit terkejut dengan permintaan dari Ezekiel. "Tapi, kamu sudah besar.""Tante, Iel mohon."Elena terdiam sesaat ketika melihat tatapan memelas dari Ezekiel. Dia tidak bisa menolaknya jika anak itu meminta. Namun, dia juga tidak bisa tidur malam ini. "Baiklah, Tante akan tidur di sini."Setelah pertimbangan singkat, Elena akhirnya
"Kejar wanita itu!"Suara teriakan menggelegar di antara banyaknya pepohonan terdengar. Dua pria dewasa mengejar seorang wanita yang berlari ketakutan di jalan setapak dengan wajah panik. Wanita yang dikejar itu adalah Elena. Dia terengah-engah kelelahan saat kakinya terus berlari tanpa arah. Bagaimana ini bisa terjadi? Elena sendiri tidak tahu. Dia hampir mencapai jalan raya ketika dua pria tiba-tiba mengejarnya. Membuatnya mau tak mau berlari ke arah lain, yang membuat Elena sendiri pusing ke mana dirinya. Gelapnya malam, menambah parah keadaan. Elena kesulitan mencari letak jalan utama. Beberapa kali dirinya bahkan harus merasakan sakit ketika kakinya tergores ranting kayu. Ketika dia menoleh, dia pun melihat jaraknya dengan dua pria itu semakin dekat. "TIDAK! TOLONG!" Elena berusaha berteriak keras, berharap ada seseorang yang mendengarnya, tapi dia tahu itu mustahil. Kawasan di sekitar rumah Darryl sangatlah sepi. Hanya ada pepohonan. Jauh dari pemukiman penduduk. Itu membuat E
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel