"Elena, apa yang kau pikirkan?" tanya Darryl ketika melihat Elena tampak diam. Wanita itu melamun setelah bertanya soal keluarganya. Elena hanya terlihat sesekali menyantap makanannya. "Makanannya bisa dingin.""Ah, maaf, aku tidak memikirkan apa-apa."Elena meringis dan menyantap makanan kembali. Dia mencoba untuk tetap tenang, walau sekarang dirinya juga tidak bisa tenang. Elena memikirkan soal bagaimana hidupnya nanti bersama Darryl. "Tapi wajahmu terlihat jelas seperti kau memikirkan sesuatu. Elena, tenang saja, tidak akan ada yang tidak setuju jika kau jadi istriku. Jadi jangan berpikir apa pun."Elena terdiam. Dia menatap Darryl dengan pandangan penasaran. Pria itu seperti menyadari kegelisahannya. "Ngomong-ngomong, boleh aku bertanya tentang mantan istrimu?"Darryl terkejut. Dia terdiam saat mendengar pertanyaan Elena yang tiba-tiba. Dia merasa sedikit enggan saat harus membahas soal mantan istrinya. Walau tidak masalah jika Elena ingin tahu. "Apa? Kau bisa bertanya.""Kau sang
"Tante!"Teriakan Ezekiel melengking keras. Menyapa Elena yang baru turun dari mobil. Pelukan pun didapatnya dan Elena hanya tersenyum. Dia juga membalas pelukan tersebut tak kalah semangat sembari menunduk dan mengecup pipi Ezekiel."Sayang, Tante kangen kamu.""Iel juga!" Ezekiel tersenyum senang. Dia tampak puas melihat Elena tidak lagi murung. Ucapan ayahnya ternyata benar. "Jadi gimana Dedenya? Udah jadi belum?""Eh." Elena melepaskan pelukan Ezekiel dan menatap bocah itu yang tampak sangat antusias. "Itu—""Tidak secepat itu, Ezekiel. Butuh waktu sembilan bulan untuk Elena punya anak. Kemarilah sama Tante!" Kathleen mendekat dan menarik Ezekiel agar menjauh dari Elena. Dia tersenyum ramah pada wanita itu ketika mereka bertatapan, lalu matanya beralih pada Darryl. "Kak, apa kau mau minum sesuatu? Atau kalian lapar? Aku akan membuatkannya.""Aku ingin minuman segar," jawab Darryl sambil mengeluarkan koper kecilnya."Baiklah, ayo, Ezekiel ke dalam!" ajak Kathleen pada Ezekiel. Dia
"Ezekiel, coba kamu kerjakan PR-mu. Jangan main terus, ya, Sayang. Besok 'kan Bu Guru Siena akan datang."Elena menegur Ezekiel yang saat ini tampak sedang asyik bermain gadget, tepatnya memainkan permainan anak. Sudah hampir satu jam lamanya, mereka menghabiskan waktu di ruang bermain dan Elena menemaninya. Namun Ezekiel tampak mengabaikan Elena dan sibuk dengan bermain dengan gadget hingga Elena menjadi kesal melihatnya. "Ezekiel ...."Elena memanggil Ezekiel dengan nada lembut, tapi sekali lagi, anak itu tak menggubrisnya. Sampai akhirnya, Elena berdiri dan berkaca pinggang. "Ya sudah kalau kamu tidak mau menurut sama Tante, Tante pergi saja kalau gitu!"Ezekiel yang sedang sibuk bermain terkejut ketika mendengar ancaman Elena. Dia sontak melempar gadgetnya dan berlari memeluk erat Elena dengan ketakutan. "Tante mau ke mana? Katanya mau temenin Iel main? Kok mau tinggalin Iel sih?""Habis kamu juga sibuk main. Kamu tidak mendengarkan perkataan Tante." Elena berpura-pura marah melih
"Tidak biasanya kau baik begini. Apa kau sangat mengkhawatirkanku?"Darryl menoleh. Dia menatap Elena yang menyuapinya makan siang setelah menemaninya dan membantunya yang masih terus bolak-balik ke toilet, walau sekarang tidak separah sebelumnya. "Tidak ada manusia yang tega melihat manusia lainnya menderita," jawab Elena sambil memberi suapan pada Darryl yang masih berbaring. Pria itu tampak tersentak mendengar jawabannya, tapi pada akhirnya, Darryl menerima suapan Elena. "Kau menyindirku?"Elena yang sedang fokus pada makanan Darryl, menoleh seketika dan terbengong sesaat. Dia mencoba menelaah ucapan Darryl, sampai akhirnya menyadari apa maksud pria itu. Elena hampir lupa, Darryl adalah tipe manusia yang akan menari dan mencari keuntungan di atas ketidakberuntungan serta ketidakberdayaan seseorang. "Oh, ya, aku hampir lupa. Kau 'kan bukan manusia."Darryl mendengkus mendengar ucapan Elena, tapi dia tidak membalasnya. Baginya, perkataan wanita itu tidak sepenuhnya salah. Dia meman
Hari-hari berlalu. Perencanaan pernikahan yang diinginkan Darryl telah dirancang dan Elena tidak dilibatkan secara langsung. Semua tentang pesta pernikahan dan apa pun adalah hak mutlak dari Darryl. Elena tidak mampu menolaknya dan menerima dengan pasrah. Elena kembali menghabiskan waktunya bersama Ezekiel di rumah dan terkurung. Sementara Kathleen mulai sibuk bekerja dan selalu berangkat berdua dengan Darryl. Entah ini hanya alasan atau bukan, tapi Elena tetap merasa terganggu. Kathleen pada akhirnya tidak mau pergi dan tetap tinggal di rumah itu. Wanita itu juga sering bersikap kasar padanya. Hanya saja, Elena kali ini tidak pernah mempermasalahkan. Dia juga tidak mengadu pada Darryl, karena dia tahu pria itu akan menganggap dirinya terlalu pencemburu. Elena kesal saat tidak ada yang percaya padanya, tapi dia juga tidak tinggal diam dan membalas apa yang dilakukan Kathleen, sama seperti saat ini. Elena menyiram wajah Kathleen dengan teh yang dia minum ketika wanita itu menghina or
"Jika nanti Elena meninggalkanmu, jangan pernah mencariku."Darryl melangkah gontai saat memasuki rumah. Dia merasa bingung sekaligus khawatir ketika kepalanya terus memutar perkataan Mike. Temannya itu menakutinya, membuatnya merasa semakin khawatir jika apa yang dikatakan Mike benar terjadi. "Tidak ... aku tidak akan membiarkannya," gumam Darryl sambil berjalan menaiki tangga menuju kamarnya bersama Elena. Dia ingin memastikan apakah wanita itu sudah tidur atau belum. Setibanya di kamar, Darryl membuka pintu perlahan dan masuk tanpa menimbulkan suara. Dia langsung melihat ke arah ranjang dan menatap Elena yang sedang tertidur pulas. Bibirnya tersenyum tanpa sadar. Kakinya pun melangkah mendekat, setelah dia mengunci pintu. Darryl merangkak naik ke ranjang dan menatap wajah cantik Elena yang sedang tidur. Tanpa sadar tangannya terulur menyentuhnya. Mengusap pipi putih pucat itu dengan lembut. Wanita muda yang kehadirannya tidak lebih dari sekadar jaminan. Sosok yang berani melawan
"Elena, jadi bagaimana persiapan pernikahanmu dengan Darryl? Apa kau akan mengundangku juga?""Entahlah, aku tidak tahu, Siena," jawab Elena sambil menyesap teh manis buatannya. Dia menatap guru didik Ezekiel lebih lama. Mereka saat ini sedang berbincang kecil di gazebo setelah Siena selesai mengajar. Wanita itu tidak langsung pulang dan ingin bicara dengannya karena mereka akhir-akhir ini mereka jarang berbincang. "Tidak tahu? Kenapa bisa begitu?"Elena menghela napas kasar dan mengangkat bahunya. Dia menatap lurus Siena. "Ya ... karena, Darryl yang mengurus semuanya. Jadi aku tidak tahu apa pun. Aku juga tidak tahu siapa yang akan kuundang. Mungkin saja, tidak ada.""Apa? Bagaimana mungkin? Kenapa kau tidak protes? Ini pernikahanmu, kau harus dilibatkan."Elena hanya tersenyum menanggapi ucapan Siena. "Siena, kupikir kau juga tahu dengan baik aku ini siapa dan kenapa ada di sini sebelumnya. Biarkan saja Darryl melakukan apa yang dia inginkan. Aku tidak terlalu peduli soal pernikaha
"Kak Darryl, apa kita akan langsung pulang? Bisakah kita mampir sebentar?"Darryl yang sedang mengendarai mobil, sontak menoleh ke arah Kathleen yang duduk di sampingnya. Dia menjemput wanita itu seperti biasa sepulang bekerja. Semua karena Darryl merasa bertanggung jawab. "Kau mau ke mana? Ezekiel dan Elena pasti menunggu.""Hanya sebentar. Ke toko kue langganan Kak Kayleen."Deg.Wajah Darryl berubah tegang saat Kathleen menyebut nama mantan istrinya. Dia melirik sekilas Kathleen, sampai akhirnya dia menurut. Darryl membawa mobilnya menuju toko kue langganan mantan istrinya. Tempat yang pasti membuatnya rindu sekaligus sedih. Sesampainya di lokasi, Darryl juga ikut turun. Dia berniat memilih kue untuk diberikan pada Elena."Kak Darryl juga mau menemaniku?" Kathleen melirik Darryl yang ikut masuk ke toko kue dengan penasaran. Mereka disambut oleh pelayan toko dengan ramah dan membiarkan mereka memilih. "Aku mau memberikan Elena sesuatu."Darryl langsung melihat-lihat dan memikirkan
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel