Ami menyuapkan bubur kacang hijau ke dalam mulut Amira. Gadis kecil itu makan dengan lahap, sambil sesekali menoleh pada ibunya yang masih saja meneteskan air mata.
"Ibu, janan sedih telus. Nanti juga ada Papa Emil," ujar Amira dengan mulut penuh bubur kacang hijau.Ami semakin sedih bila mengingat Emir, lelaki yang takkan pernah menjadi imam dalam hidupnya. Ditambah lagi kehilangan uang hasil jerih payah menjual peyek, membuat air matanya tak mau disuruh berhenti. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri, karena teledor menyimpan uang, sehingga ia kehilangan uang banyak di sakunya. Hanya tersisa lima ribu rupiah di saku baju Amira, yang ia selipkan saat menerima kembalian dari beli nasi semalam. "Belum rezeki, Mbak. Sabar ya," ucap mamang bubur yang merasa iba dengan keadaan Ami dan Amira."Iya, Mang. Terimakasih," sahut Ami sangat pelan. Sungguh ia tak berdaya kini, walaupun mamang bubur tetap memberikan semangkuk bubur tanpa harus"Enak, Yut," ucap Amira saat tengah asik menyantap aneka makanan yang terhidang di atas meja makan besar di rumah Tuan Wijaya.Lelaki tua itu tersenyum, lalu mengangguk, "makannya yang banyak. Semua makanan ini punya Amira," katanya sambil mengusap rambut kriting Amira dengan lembut. Di depan Amira, ada Aminarsih yang juga tengah menyantap nasi, lengkap dengan aneka lauk pauk yang sangat enak."Tuan, ini ....," ucap Ami dengan mata berkaca-kaca."Makanlah dulu yang banyak, kenyangkan perutmu. Setelah itu beristirahatlah, nanti malam kita akan berbelanja kebutuhan kamu dan Amira, cicitku." Kakek tua itu memilih pergi meninggalkan Ami di meja makan bersama Amira, agar keduanya makan dengan lebih leluasa. Dia masuk ke dalam ruangan besar, di mana itu adalah kantor sekaligus kamar baginya. Diambilnya ponsel, lalu mencoba menghubungi seseorang.["Hallo, Pak Dibyo. Bisa segera diurus berkas warisan saya? Cucu dan cicit saya sudah ditem
Dua hari sudah Ami dan Amira tidur di rumah Tuan Wijaya. Semua kebutuhan Ami dan Amira selalu dicukupi. Mereka dilayani bak ratu dan putri. Mulai dari bangun tidur, makan, berpakaian, dan melakukan semua hal di dalam rumah dengan bantuan dua orang pelayan Tuan Wijaya.Kamar Amira sudah disulap bak kamar tuan putri dengan nuansa merah muda. Ada satu set lemari pakaian, ranjang, rak buku, dan rak mainan, semua serba baru dan serba merah muda. Tentu saja Amira sangat senang dengan kamar barunya yang tadi malam sudah ia tiduri bersama dengan ibunya.Mau makan apa, tinggal bilang pada dua orang pelayan. Mau pergi ke mana, tinggal bilang sama Pak Samsul, maka dengan senang hati Pak Samsul mengantar Ami dan Amira berkeliling dengan mobil mahal milik Tuan Wijaya. Ya, meskipun Ami tidak diizinkan untuk bepergian jauh, jika tidak dengan dirinya.Seperti sore ini, Amira diajak berkeliling dengan mobil yang bisa terbuka cap atasnya. Mirip seperti mobil yam
Emir sudah berada di dalam kereta api menuju Surabaya. Ya, malam ini, ia memutuskan pulang ke Surabaya, karena harus segera mengurus perceraiannya dengan Farah. Bagaiamana bisa? Bukannya Farah hamil? Pertanyaan itu terus yang berputar di kepalanya. Hingga ia bertemu dengan salah seorang ustadz di masjid rumah Suraya. Ia menanyakan perihal talak saat istri hamil. Maka hukumnya sah, karena istri dalam keadaan suci. Hanya untuk menyelesaikan semua berkas secara negara, maka sebaiknya ditunggu sampai dengan masa nifasnya selesai.Tekad Emir sudah bulat, ia takkan ragu untuk menceraikan Farah. Besok pagi, begitu sampai di rumahnya, ia akan merapikan semua barang dari rumah yang ia beli bersama Farah. Biarlah rumah itu menjadi milik Farah saja. Ia tidak mau tinggal di atap yang berisikan kenangan bersama Farah.Amira bagaimana? Setelah semuanya selesai, Emir akan kembali mencari Amira dan Ami. Pasti ia akan menemukan keduanya.Drrt
Prrang"Amira!" Ami berlari menghampiri Amira yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas minumnya."Diam di situ, Mira! Nanti terkena pecahan kacanya!" Bik Astri yang kaget dengan suara benda pecah, bergegas ke dapur untuk mengambil sapu dan serokan sampah."Biar saya, Non. Neng Amira, jangan bergerak ya. Biar Bibik sapu dulu," ujar Bik Astri pada Amira. Gadis kecil itu mengangguk, sekaligus takut. Air mata sudah mengalir di pipinya."Sudah sayang, sudah selesai. Ayo, sama Ibu sini!" Ami mengulurkan tangannya untuk menggapai Amira yang masih terdiam karena takut. Belum pernah sekalipun Amira terlepas memegang gelas atau pun piring."Amira kenapa? Licin ya tangannya?" tanya Ami lemah lembut. Amira sudah duduk di pangkuannya, sambil mengusap air mata."Ibu, Mila inet Papa Emil. Kenapa kita didak ke kantol Papa, Bu?" tanya Amira lagi diiringi isakan. Gadis kecil itu begitu merindukan Emir, begitu juga deng
Farah dilarikan ke rumah sakit, keesokan harinya. Sang Mama baru saja bangun saat pukul lima shubuh dan menemukan Farah terkapar tak sadarkan diri di lantai ruang televisi, dengan bau pesing yang sangat menyengat. Lekas Bu Sinta menghubungi Daniel dan mengabarkan kondisi Farah.Begitu sampai di rumah sakit, Daniel langsung menggendong Farah masuk ke dalam ruang IGD untuk diperiksa. Seorang dokter muda yang berjaga pagi itu, segera memeriksa kondisi Farah."Apa yang terjadi?" tanya dokter itu pada Daniel dan Bu Sinta."Saya bangun pagi hari dan menemukan anak saya sudah pingsan di ruang televisi," terang Bu Sinta dengan khawatir."Aromanya tak sedap," ujar dokter itu sambil mencebik, merasa terganggu dengan bau pesing pasien yang tengah ia periksa."Maaf, Dok. Sepertinya memang anak saya buang air kecil di celana," timpal Bu Sinta merasa tak enak dengan dokter dan beberapa perawat di sana."Saya periksa dulu ya."
Sepanjang perjalanan menuju Surabaya, dengan pesawat pribadi milik Tuan Wijaya. Ami tak hentinya meneteskan air mata, sedangkan Amira bingung, kenapa ibunya dari tadi menangis terus. Amira memang tidak tahu jika Emir sakit, Ami tak sampai hati menyampaikan kabar buruk pada Amira. Apa lagi, gadis kecil itu tahunya Papa Emir sedang bekerja. Tentulah Ami bisa dicap membohongi Amira lagi. Gadis kecil Aminarsih itu begitu pintar.Ada Bik Astri yang menemani penerbangan sore ini, Tuan Wijaya juga ikut serta, begitu juga Pak Samsul. Tuan Wijaya yang memaksa pergi ke Surabaya dengan pesawat pribadi miliknya, karena lelaki tua itu ingin mengucapkan terimakasih pada Emir, karena telah menolong cucu menantunya."Ibu, sudah ya, janan nanis." Amira bergelayut manja di tubuh Aminarsih. Bola mata abunya terus saja menatap Ami penuh harap, agar ibunya itu berhenti meneteskan air mata."Iya, Amira." Ami tersenyum, lalu menghapus air matanya."Makanla
"Kamu ...," suara bariton tua milik Tuan Wijaya membuat Bu Farida menoleh pada sosok lelaki, yang kini berdiri dengan tongkat di depannya."Allahu Akbar! Papa?!""K-kamu Farida, temannya Deandra'kan?" tanya Tuan Wijaya lagi sambil mendekat ke arah Bu Farida."I-iya, Pa. Ya Allah." Bu Farida menghambur ke hadapan Tuan Wijaya, bahkan ia mencium punggung tangan lelaki tua renta itu, sembari memeluknya singkat."Ada apa ini, Ma?" tanya Suraya menginterupsi. Ia merasa heran dengan kedekatan antara ibunya dan kakek sepuh yang sedang memakai tongkat ini."Kamu ingat Tante Deandra'kan? Ini mertuanya. Ayah dari Pak Broto," terang Bu Farida dengan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Suraya mengangguk kaku, bukankah Tante Deandra sudah meninggal bunuh diri?"Papa Emil sakit ya, Bu?" suara Amira yang kini berdiri di dekat brangkar Emir, membuat semua yang ada di sana ikut menoleh kepada Amira. Mereka tersenyum penuh ha
Opa Wijaya, Pak Samsul, dan Bik Astri, sudah pergi menuju hotel yang terdekat dari rumah sakit tempat Emir dirawat. Sedangkan Amira dan Ami, memilih untuk tidur di rumah sakit bersama Bu Farida, karena Suraya besok harus kembali ke Jakarta.Bola mata abu Amira masih terus saja memandang Emir yang terlelap di brangkarnya. Gadis kecil itu memilih tidur di sofa yang mengarah pada Emir. Tak sedikit pun ia memejamkan mata. Amira benar-benar merasa sedih karena Papa Emirnya masih saja terlelap."Tidur, Sayang," tegur Ami pada puterinya. Ami mengusap rambut Amira penuh sayang, lalu mengecup kepala Amira yang masih sangat harum. Jika dulu rambut dan kepala anaknya bau apek, karena hanya memakai sampo dua hari sekali. Sekarang, entah sampo apa yang diberikan oleh Bik Astri, sehingga rambut Amira selalu wangi sepanjang hari, walaupun gadis kecilnya itu berkeringat."Papa boboknya lama ya, Bu? Tapan banunnya?" Amira yang tadinya berbaring, kini memi