"Kenapa Kakak petik langsung dari pohonnya? Gak boleh, Kak! Saya saja yang punya kebunnya tak pernah memetik langsung. Ya allah, bagaimana ini?" Amira tampak ketakutan. Meisya yang tengah memegang buah apel sangat dingin, tiba-tiba saja berubah pucat.
"Ayo, minta maaf sama pohon apelnya!" titah Amira dengan bulir keringat sebesar ketumbar sudah memenuhi keningnya."Gila nih bocah!" hardik Meisya sambil bergidik ngeri. Reza yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi memilih diam saja sambil memperhatikan."Kita datang ke rumah orang sombong, Za. Ayo, kita pulang! Minta maaf itu sama manusia, bukan sama pohon!" ujar Meisya ketus. Lalu ia menarik Reza untuk segera keluar dari rumah Amira."Bukannya saya sombong. Kakak yang serakah. Saya sudah bilang, jangan petik langsung dari pohonnya!" teriak Amira yang didengar sepintas lalu oleh Meisya dan juga Reza. "Langsung bawa pulang ke rumah, Om!" teriak Amira lagi. <Keesokan harinya, kondisi kesehatan Meisya belum benar-benar membaik. Tenggorokannya masih belum bisa menerima asupan air. Apalagi makanan. Sehingga Meisya hanya memperoleh tenaga dari cairan infua saja. Kedua orang tuanya menatap puteri kesayangan;si bontot calon dokter yang kini terbaring lemah tanpa bisa makan dan minum apapun.Tak jauh dari sana, Reza ikut tertunduk sedih ditemani oleh mama dan papanya. Ia tidak tahu bagaimana keadaan Meisya tiba-tiba seperti ini. Padahal, waktu pulang dari rumah Amira ....Tiba-tiba saja, mata Reza berbinar saat mengingat nama bocah SMP itu. Meisya memetik buah apel yang sudah dilarang oleh Amira. Mungkinkah gadis itu bisa membantunya menyembuhkan Meisya."Ada apa, Za?" tanya Yasmin pada puteranya, saat lelaki itu berjalan keluar ruang perawatan VIP dengan tergesa."Sebentar, Ma," jawab Reza yang sudah berada di luar. Lelaki itu berlari ke taman luar rumah sakit yang terletak di lantai tiga. Tug
Sejak saat itu, Amira, Meisya, dan Reza berteman semakin akrab. Gadis itu tak pernah lagi menolak saat diantar ke sekolah oleh Reza, atau sekedar makan baso bersama dengan Meisya. Amira serasa memiliki kakak sekaligus abang.Gadis itu juga merasa senang, karena kebun apel ajaib miliknya kembali tumbuh subur. Itu karena, Meisya mengembalikan buah yang ia petik pada Amira dan sekaligus mengucapkan permintaan maaf yang tulus atas keegoisannya. Ketiganya menjadi sangat dekat dan sangat bersahabat. Tak jarang, Meisya dan Reza membantu Amira merawat kebun apelnya yang sudah mulai tumbuh.Kedekatan mereka bahkan menjadi bahan candaan Yasmin;saat menghadiri acara sukuran sunatan Mahesa dan Mahendra siang ini.Mama dari Reza datang bersama suaminya dan juga ketiga anaknya. Mereka banyak berbincang ringan sambil sesekali tertawa. Orang tua dari Meisya pun turut diundang. Ketiga keluarga besar ini, bagaikan sudah bersaudara lama dan dekat.
"Sya, sepertinya aku jatuh cinta pada Amira."Hening beberapa saat. Wanita bermata abu lensa kontak itu merasakan ini hanya sebuah halusinasinya saja. Diberanikannya menatap Reza yang kini menunduk tanpa melepas genggaman tangannya dari gadis itu.Meisya membuang pandangan sambil terus berusaha menahan air matanya. Mencoba melepaskan genggaman tangan Reza, tapi tak bisa."Trus, kamu maunya bagaiamana?" tanya Meisya dengan suara bergetar menahan tangis."Aku hanya tak ingin membohongi perasaanku saja, Sya. Maafkan aku." Reza mengangkat wajahnya. Menatap Meisya yang air beningnya sudah tumpah membasahi kedua pipinya."Oke, kamu sudah mengutarakannya. Sudah tenangkan sekarang. Oh, mungkin maksud kamu kita putus saja? Biar kamu bisa memadu kasih dengan bocah dukun itu.""Sya ....""Maaf ya, Za. Kita udah pacaran sejak SMA dan hanya karena bocah dukun kamu berpaling dari aku? Oke, kamu sudah masuk dalam perangka
Reza berkendara santai menuju apartemen Meisya. Lelaki muda itu bahkan sempat mampir membeli martabak telur super untuk ia bawa ke sana. Tak lupa minuman kekinian yang ada bubblenya;minuman kesukaan Meisya. Dalam hati ia berkata, walau tak bisa menganggap Meisya sebagai pacar lagi, tetapi ia tetap bisa berteman, atau mungkin bersahabat.Reza memarkirkan sepeda motor maticnya di lobi parkir paling bawah. Lelaki itu merasa seperti ada yang mengintai, Reza menoleh-tak ada siapa-siapa di sana. Parkiran motor sepi karena baru saja azan magrib. Tak menghiraukan halusinasinya, Reza masuk ke dalam lift dan memencet angka enam pada tombol lift. Digenggamnya dua bungkus makanan dan juga minuman dengan hati riang. Ia yakin, Meisya akhirnya menyutujui keputusannya tadi pagi.Azan magrib masih menggema. Reza memutuskan untuk menumpang solat di apartemen mantan pacarnya itu. Karena sudah mengetahui kode buka pintu apartemen, Reza langsung saja memencet papan tombol yang ada
Gadis yang bulan depan akan berusia empat belas tahun itu, masih saja menangis menutupi wajahnya dengan bantal tidur. Sepulang dari sekolah ia tidak keluar kamar lagi, sehingga membuat san ibu kebingungan. Makan malam pun ia lewatkan begitu saja. Tak ada yang tahu Amira kenapa. Aminarsih bertanya pada Adam, tetapi sepengetahuan Adam, Amira pulang bersama teman kembar tiganya. Ami juga menelepon Bu Dewi dan dari beliau juga menyampaikan hal yang sama, bahwa Amira pulang bersama Andrea, Aleta, dan Andini.Berbekal nomor yang diberikan wali kelas Amira, kini Aminarsih tengah melakukan panggilan ke nomor rumah teman anaknya itu. Sudah tiga kali memanggil, tapi belum juga diangkat padahal hari masih sore.“Hallo, assalamualayku. Siapa ini?” sapa riang suara di seberang sana.“Wa’aalykumussalam. Hallo, saya ibunya Amira. Maaf, saya bicara dengan siapa ya?”“Oh, Tante Aminarsih. Saya Andrea, Tante.”
Dua hari tidak masuk sekolah, karena Amira masih harus mengontrol emosinya. Apalagi masih sangat sedih atas kehilangannya Om Reza yang ternyata diam-diam ia sukai. Tak banyak bicara, tersenyum, hanya sesekali menyahut, dan sesekali memberikan seringai pada ledekan teman-temannya.Kadang, ia merindukan keisengan Deni, Roni, Acel, dan teman-teman lelaki lainnya pada rambutnya. Namun, kemarin rambut itu sudah berubah menjadi lurus dan panjang. Yah, walau tak selurus penggaris, tetapi penampilan Amira berubah seratus persen dan membuat semua teman di kelas tas mengenalinya.Sang papa yang memintanya untuk meluruskan rambut. Menjadi Amira yang baru, yang kuat, dan mampu berprestasi di sekolah. Ingat, tak ada lagi yang namanya jatuh cinta dengan siapa pun itu, sampai memang waktunya tiba."Gue baru sadar, kalau lo itu benar-benar cantik. Mau rambut tawon, mau rambut jalan tol. Gaya apa aja pasti cantik," puji Andrea pada Amira yang diikuti anggukan d
Amira menghentikan kayuhan sepedanya. Ia menoleh sekilas dan melihat ada lelaki yang hampir tiga minggu ia rindukan. Wajahnya dibuat sedatar mungkin, lalu tanpa menyahut, Amira kembali mengayuh sepedanya. Hatinya berdebar tak karuan. Belum pernah rasanya seperti ini. Ditambah lagi, Reza mengatakan saya rindu. Namun Amira tahu, jika itu hanya bualan.Hampir semua lelaki pandai membual, kecuali sang papa. Takkan ada lelaki seperti papanya. Kayuhan yang awalnya santai cenderung pelan, berubah menjadi kencang. Apalagi lelaki itu masih terus mengikuti Amira."Mira, saya mau bicara. Makan baso di depan mau tidak? Saya akan ijin Tante Ami sekarang," rengek lelaki itu dengan wajah memelas. Sayang sekali, Amira tak dapat melanjutkan kayuhannya, karena Reza sudah turun dari motor dan memegang sepedanya."Gak mau! Mira mau pulang," balas Amira dengan air mata bersiap tumpah. Ish, cengeng sekali diriku ini. Umpat Amira kesal dengan dirinya sendiri. Amira b
Sepuluh hari sebelum ulang tahun Amira.Pagi tak menyampaikan kabar baik hari ini. Masih sama seperti kemarin. Hujan rintik-rintik sejak malam. Tanah yang dipijak terasa amat beku tanpa setitik tanda-tanda kehangatan akan muncul. Lelaki itu hanya bisa memeluk erat bantal kursi, menaruh gadunya di sana sambil memandangi air hujan dari jendela kamarnya. Merasakan kebekuan hati yang sama. Rindu dan kesal itu menjadi satu. Namun jika membayangkan akan benar-benar meninggalkan itu terasa amat sakit.Sepuluh hari sudah Reza memilih berdiam diri di rumah. Tidak kuliah, tidak berkumpul bersama teman-teman, apalagi berjumpa dengan Meisya. Entah apa yang membuatnya begitu berat menjalankan tanggung jawab untuk Meisya. Hatinya terlalu berat untuk seorang gadis kecil bernama Amira.Jika dibilang lebay, ya ... dia memang lebay;bahkan cengeng. Untuk urusan percintaan sekelas usia dua puluh satu tahun, tentulah ia termasuk kategori cengen
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira