"Kita cari makan yuk," Dimas langsung saja menarik tangan Dinda untuk ikut bersamanya.Dinda ragu untuk ikut karena ini jam bekerja dan ada banyak sekali pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh Dimas."Ada banyak pekerjaan, Pak Presdir," kata Dinda mengingatkan."Nanti saja, aku lapar," Dimas pun langsung saja berjalan.Dan akhirnya Dinda pun mengikuti langkah kaki Dimas yang membawanya menuju salah satu restauran.Dinda masih kenyang dan belum ingin makan tetapi kini di atas meja ada banyak makanan yang tersedia."Ayo makan," kata Dimas."Pak Presdir, aku masih kenyang," tolak Dinda, "anda saja yang makan, saya duduk saja di sini saja," kata Dinda lagi.Dimas pun mengangguk kemudian dia pun mulai makan.Dinda hanya diam sambil menunggu Dimas selesai makan dan sesekali melihat sekitarnya.Sampai akhirnya ada makanan yang mengarah padanya.Membuat Dinda pun terkejut karena ternyata Dimas yang melakukannya.Tapi untuk apa?Apakah Dimas ingin menyuapi dirinya?Rasanya tidak mungkin bukan
"Pak Presdir, ini sudah sore," kata Dinda setelah melihat jam pada ponselnya.Sudah sore hari tapi Dimas masih saja betah bersama Dinda di kamar hotel.Tapi Dinda yang ingin segera pulang ke rumah.Pusing rasanya terus saja terkurung di dalam ruangan seharian."Lalu?" tanya Dimas tampaknya tidak ingin pulang."Aku mau pulang," kata Dinda."Kita pulang ke rumah bersama," Dimas pun segera bangkit dan menyambar ponselnya yang tergeletak di meja."Aku pulang ke rumah Ayah," Dinda masih ingin menenangkan dirinya.Dia tidak ingin bertemu dengan Moza.Bukan karena benci, melainkan tidak ingin terus melihat wajah Moza yang begitu membencinya jika bertemu.Sekaligus untuk menghindari adanya cekcok.Dinda juga merasa bersalah atas kehadirannya di antara Dimas dan Megan yang seharusnya sudah bersama sesuai keinginan Moza."Ke rumah Ayah?" tanya Dimas bingung.Dinda pun mengangguk kemudian meraih tas miliknya."Tuan Dimas, kira-kira sampai kapan pernikahan ini kita jalani?" tanya Dinda dengan sua
Malam semakin larut namun sampai detik ini Dimas masih memikirkan Dinda.Dia melihat ke sampingnya dimana selama ini Dinda tidur di sana dan kini tidak ada.Ada rasa sepi yang tidak bisa dijelaskan oleh seorang Dimas sejak Dinda memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya.Bahkan Dimas sendiri tak dapat melupakan saat-saat perdebatan mereka berlangsung di kamar itu.Bahkan di atas ranjang itu pula pertama kali Dimas merenggut kesuciannya seorang Dinda.Akh!Pikiran Dimas semakin kacau tak terkendali.*****Dinda masih sibuk dengan pikirannya.Rasanya sangat tidak nyaman dengan posisi seperti ini.Bahkan rasanya ia tidak ingin berjauhan dengan Dimas.Dinda juga bingung dengan dirinya sendiri karena rasanya dulu dan kini sudah sangat jauh berbeda.Tok tok tok!Terdengar suara ketukan pada jendela kamarnya.Membuat Dinda pun tersadar dari lamunannya dan bingung siapa yang mengetuk jendela kamarnya ditengah malam begini."Angin atau apa ya?" tanya Dinda.Dinda pun kembali mendengar sua
"Ya, ampun gerah banget sih," gerutu Dinda.Bayangkan saja harus tidur di atas ranjang yang sempit untuk dua orang.Belum lagi Dimas yang malah memeluknya begitu erat.Rasanya sangat tidak nyaman untuk Dinda."Sudah aku bilang, buka saja bajunya, kau tidak percaya," kata Dimas dengan santainya.Dinda pun akhirnya mendudukkan tubuhnya dan melepas bajunya seperti apa yang dikatakan oleh Dimas.Malu?Tidak sama sekali.Untuk apa malu, Dinda sendiri tak dapat menghitung jumlah berapa kali sudah Dimas menyentuhnya.Mungkin sudah terlalu sering.Sedangkan Dimas tersenyum melihat apa yang dilakukan oleh Dinda.'Sepertinya ada keuntungan besar,' batin Dimas dengan pikirannya yang benar-benar tidak baik-baik saja."Apa lihat-lihat!" kesal Dinda."Galak sekali," kata Dimas sambil tersenyum dengan pikirannya yang benar-benar sudah jauh di awan."Biasa aja!" ketus Dinda sambil kembali merebahkan tubuhnya."Memangnya kamu tidak malu?" goda Dimas.Dinda pun membuat senyuman mendengar pertanyaan Dim
"Pembagian otak? Kau kira otak adalah bantuan dari pemerintah?Kalau ada 10 saja jenis manusia seperti mu! Aku jamin, hancur berantakan dunia ini!" jawab Dimas.Dinda pun tersenyum seakan mengejek Dimas."Hubungannya apa? Nggak jelas! Lagi pula kalau 10 manusia seperti aku, apa ke 10 itu akan kamu nikahi?!" balas Dinda tak terima dengan perkataan Dimas.Tapi Dinda pun tak terima dengan perkataan Dinda saat ini."Kau yang tidak jelas!" Dimas pun segera menutup wajah Dinda dengan selimut.Gemas rasanya berdebat dengan Dinda yang tak pernah mau mengalah.Tampaknya kekalahan adalah sebuah hal yang sangat mengesalkan untuk Dinda.Sehingga dia sangat tidak menginginkannya.Apapun alasannya dia akan tetap melawan lihat saja saat ini pun."Apaansih!" Dinda pun berhasil melepaskan dirinya.Tapi tatapan tajam pun kini dilayangkan pada Dimas.Tanpa rasa takut seperti biasanya."Aku tanya! Tapi kalau 10 orang itu wanita semua masih wajar, tapi kalau ada yang pria?" Dinda pun tersenyum sambil men
"Ya, ampun. Aku yakin Zira berpikir yang tidak-tidak tentang kita," omel Dinda pada Dimas.Tapi apakah Dimas perduli?Sejak kapan dia perduli pada orang lain?Bahkan saat ini pun dia malah memeluk Dinda semakin erat.Tentunya juga membuat Dinda kesal."Tuan Dimas! Bisakah anda menjauh! Aku mau mandi!" kesal Dinda.Pikirannya sangat kacau karena Zira masuk ke kamarnya barusan.Dia bahkan sangat tahu seperti apa polosnya Zira.Berpacaran saja Zira tak mau dengan alasan takut hamil.Aneh sekali rasanya.Tidak mungkin juga hanya dengan berpacaran bisa langsung hamil.Dinda saja yang sudah sering kali disentuh Dimas tak mengandung sampai saat ini.Bahkan kini dia sedang datang bulan.Dinda memang mengkonsumsi pil KB.Dimas juga tahu itu.Yang keduanya tidak tahu adalah Laras menggantinya dengan pil penyubur kandungan.Tapi nyatanya Dinda memang belum juga mengandung.Menepikan tentang masalah mengandung kini Dinda pun mulai beranjak dari tempatnya.Meraih handuk dan segera menuju kamar man
Dimas harus kembali ke rumah terlebih dahulu sebelum pergi ke kantor.Laras tahu kemana perginya Dimas semalam, dan dia hanya diam saja saat melihat putranya yang pulang saat pagi hari ini.Membiarkan putranya itu untuk dekat dengan istrinya.Laras pun membiarkan Dimas sendiri yang menghadapi putrinya.Ia tahu bahwa saat ini putranya itu tengah berada dalam kebimbangan.Keinginan Moza untuk membuat Dimas dan Dinda berpisah tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Dimas saat inj.Dan Laras pun terus berusaha untuk tetap mempertahankan Dinda sebagai istri anaknya.Bahkan menurut Laras semakin sering Dimas berusaha untuk menemui Dinda diam-diam maka semakin sulit melepaskan Dinda.Laras bahkan tidak meminta Dimas untuk memilih putrinya atau istrinya.Karena Laras tahu sudah pasti Dimas memilih putrinya.Bahkan Laras sendiri sudah sangat menyanyi Moza layaknya cucu kandungnya.Hanya saja bagaimana pun keadaannya sekarang Dimas harus memiliki anak dari darah dagingnya sendiri.Karena
Dimas masih dengan tangan yang menggantung.Ia bingung akan Dinda yang terus saja memeluknya erat.Rasa kasihan pun jelas terasa.Hingga sesaat kemudian Dinda pun tersadar atas apa yang dilakukannya.Dia pun segera menjauh kemudian melihat wajah Dimas saat ini seperti apa?"Kenapa menangis? Dasar cengeng!" kata Dimas.Dinda pun cepat-cepat mengusap wajahnya yang basah karena air mata.Seharusnya dia tidak seperti ini.Tetapi ucapan Moza cukup menyakiti hatinya.Apakah saat ini di mata Moza dia begitu jahat hingga menuduhnya begitu kejam.Ah, rasanya Dinda sangat tidak sanggup menahan rasa sesak di dada kala mendengar semua ucapan pedas Moza.Rasa bersalah telah menghancurkan mimpi indah Moza melihat keduanya bersatu jelas dirasakan oleh Dinda.Dinda merasa orang yang paling jahat di dunia dan entah sampai kapan dia menerima hukuman ini.Tapi lagi-lagi ini semua diluar kendalinya.Dia sendiri tidak berhak untuk menentukan dengan siapa menikah.Hingga kini berakhir menjadi istri Dimas y
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang