"Moza nggak papa kalau, Kak Rena sama Kak Hilman nikah.Pernikahan kami cuma terpaksa, entah besok atau lusa kami pasti akan bercerai," jelas Moza.Hilman pun terkejut mendengar ucapan Moza yang sepertinya cukup membingungkan itu."Apa itu mungkin?" tanya Rena yang juga terkejut bercampur rasa penasaran."Moza sama, Kak Hilman sama-sama nggak saling suka. Apa lagi cinta.Kak Hilman, dipaksa nikahin Moza.Moza yakin sebentar lagi kami akan bercerai, hanya perlu menunggu waktu.Kak Rena, nggak usah khawatir lanjutkan saja pernikahan kalian," terang Moza.Rena cukup lama terdiam setelah mendengar penjelasan Moza.Akan tetapi perasaan bahagia tentu saja ada karena itu artinya Hilman tetap menjadi miliknya."Moza, kamu bicara apa?Ini tidak main-main, jangan mempermainkan orang lain!" terang Hilman yang tak mau memberikan sebuah harapan palsu pada orang lain."Kok main-main sih, Kak? Ini benar!" jawab Moza lagi.Hilman tak ingin terus berdebat apa lagi di tempat umum seperti ini.Menjadi t
Akhirnya Rena pun turun dari mobil setelah sampai di rumah.Sedangkan Moza dan Hilman pun akhirnya kembali menuju rumah.Dan Moza masih duduk di jok belakang meskipun sebenarnya jok yang bersebelahan dengan Hilman telah lorong.Namun, saat belum sampai di rumah Moza pun meminta Hilman untuk mengantarkan dirinya ke sebuah toko roti.Hilman tahu itu adalah toko roti langganan Rena.Tapi dia tidak banyak bertanya."Kak, Moza mau ketemu sama Nilam dulu. Kakak, pulang duluan aja," kata Moza.Hilman hanya diam sambil menatap Moza yang keluar dari mobil.Tapi Hilman bingung bagaimana caranya untuk bisa meninggalkan Moza sendirian di sana.Akhirnya Hilman juga ikut turun."Kok, Kak Hilman ikut turun?" tanya Moza yang masih berdiri tak jauh dari mobil Hilman."Kok kamu panik?" tanya Hilman lagi melihat ekspresi tak biasa Moza."Nggak papa, cuman Moza bingung aja," jelas Moza dengan suara bergetar tapi berusaha untuk tetap tenang agar Hilman tidak banyak bertanya lagi."Kakak, mau nungguin kamu
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Hilman pada Moza.Moza hanya diam saja sambil menahan rasa sakitnya dengan keringat dingin yang semakin membasahi tubuhnya.Rasa takut dan rasa sakit benar-benar bercampur menjadi satu."Kita pergi dari tempat kotor ini!" Hilman langsung menarik lengan Moza hingga dengan penuh emosi.Tapi saat itu tubuh Moza justru terjatuh dari atas ranjang.Hilman tidak tahu jika Moza tengah tidak baik-baik saja.Dia berpikir sakit yang dirasakan oleh Moza hanya sekedar dan tidak sesakit itu hingga rasanya seperti setelah mati.Dia tak tahu Moza sudah menelan ramuan herbal untuk mengakhiri janin di rahimnya."Sakit, Kak," rintih Moza dengan suara bergetar hebat begitu juga dengan tubuhnya.Mungkin karena pengaruh obat yang barusan dia telan mulai bereaksi terhadap tubuhnya dan rasanya sakit luar biasa seperti semua tulang dipatahkan dalam bersamaan."Ya ampun apa yang sudah terjadi sebenarnya," Hilman pun segera mengangkat tubuh Moza.Bahkan Hilman sendiri masi
"Mas, kita ke luar dulu. Ini urusan rumah tangga Moza dan Hilman," kata Dinda."Tapi ini masalah yang serius," tolak Dimas.Dia ingin sekali mendengar penjelasan Moza saat ini."Moza di jual sama Mami, abis itu Moza di beli sama Om-om tua.Sampai di sana Moza dipaksa minum sesuatu yang nggak tahu itu apa.Terus bangun pagi tiba-tiba udah di apartemen milik siapa? Nggak tahu.Dan, Moza udah kotor," jelas Moza dengan suara bergetar hebat seiring air matanya yang mengalir.Saat itu Dimas langsung saja menatap wajah Hilman dengan tajam.Hilman tahu arti tatapan mata Dimas saat ini apa."Kak Hilman nggak pernah ngapa-ngapain Moza, bahkan Moza yang selalu menghindar," tambah Moza lagi agar Dimas tidak salah paham akan Hilman.Bagaimana pun di mata Moza, Hilman tidak bersalah sama sekali."Moza, takut kalau Papi dan Kak Hilman tahu tentang kehamilan Moza.Makanya Moza mau aborsi, tapi sekarang Moza nyesel.Moza nggak papa kalau kalian semua benci.Moza emang salah," jelas Moza lagi dengan pe
Moza lagi-lagi terdiam hanyut dalam pikirannya yang penuh dengan tanya.Bahkan tadi Hilman mengatakan bahwa Megan ada di dalam penjara.Apakah itu benar?Moza tidak membenarkan apa yang telah dilakukan oleh Megan terhadap dirinya.Tetapi, Moza juga merasa kasihan.Namun, saat ini dan entah sampai kapan Moza masih terlalu trauma dengan kejadian itu.Hingga belum ada keberanian untuk menjenguk Megan.Sungguh apa yang dilakukan oleh Megan membuat masa depannya hancur berantakan.Hingga hampir saja dirinya menjadi seorang pembunuh.Bahkan membunuh anak sendiri, menjijikkan sekali!"Moza, kamu kenapa?" tanya Hilman yang melihat Moza tampak larut dalam pikirannya.Saat itu Moza pun menggeleng pelan sambil kembali melihat wajah Hilman."Nggak papa kok, Kak."Hilman pun mengangguk kemudian memijat pelipisnya, apa yang terjadi hari ini sungguh luar biasa membuatnya shock.Hingga saat itu ponsel Hilman pun bergetar ternyata Rena yang mengirimkan pesan.[Mas, undangan pernikahan kita udah bisa d
Jika awalnya Moza yang banyak murung kini tidak.Kini Hilman yang lebih banyak murung dengan pikirannya yang tidak baik-baik saja.Bahkan dia sendiri bingung harus bagaimana dalam bersikap.Entah bahagia atau tidak karena akan menjadi seorang ayah.Karena dirinya sendiri belum bisa melepaskan Rena dari hatinya."Kak Hilman, kenapa?" tanya Moza yang melihat wajah kusut Hilman sejak kembali ke rumah sakit.Hilman pun melihat wajah Moza."Kamu butuh sesuatu?" tanya Hilman kembali tanpa ingin menjawab pertanyaan Moza sebelumnya."Nggak, Kak. Kak Hilman, yang butuh sesuatu dari tadi kenapa murung terus?" tanya Moza lagi."Nggak papa," jawab Hilman."Kak Hilman, mikirin Kak Rena ya?" tebak Moza dengan suara pelan.Dia mencoba untuk berhati-hati dalam bertanya tak ingin Hilman marah padanya.Hilman pun diam tidak tahu harus mengatakan apa lagi pada Moza."Moza ngerti, tapi Moza nggak masalah kok kalau, Kak Hilman tetap nikahin Kak Rena.Justru Moza merasa bersalah atas semuanya.Moza juga si
Kiara pun segera membuka pintu mobil Chandra kemudian memaksa Nilam untuk duduk."Kiara, kok aku di depan?" tanya Nilam bingung."Kamu duduk di dalam, kalau di depan di sana," Kiara pun menunjuk bagian ban mobil."Maksudnya nggak gitu, maksud aku kok aku di sini?" Nilam pun kembali bertanya karena dia tidak mau duduk di samping Chandra.Itu menyeramkan."Karena, kamu kernet!" jelas Kiara."Kok kernet?" Nilam semakin bingung tapi pintu sudah terlanjur di tutup oleh Kiara.Saat Kiara berbalik badan ternyata Chandra berdiri di sana."Kamu mau duduk di pangku," tebak Chandra.Kiara pun tersentak mendengarnya dan langsung menggelengkan kepalanya menepis ucapan Chandra."Ayo," Chandra pun tersenyum sambil menarik tangan Kiara."Enggak!" tolak Kiara dengan panik.Tapi tangannya terus ditarik oleh Chandra."Aku nggak mau!" pekik Kiara.Sedangkan Nilam menatap dua orang itu dengan aneh.Bayangkan saja saat ini Kiara duduk di pangkuan Chandra yang akan mengemudikan mobilnya."Aku nggak mau!" se
Di tempat yang berbeda namun di waktu yang sama.Dimas dan Dinda masih duduk di depan ruangan dimana Moza di rawat.Namun, sepertinya Dinda merasa tidak nyaman pada perutnya."Kamu kenapa?" tanya Dimas melihat Dinda yang mulai berganti tempat duduk."Perut aku mules, Mas," jawab Dinda."Mules?" tanya Dimas."Hu'um, tapi kaki aku kesemutan," kata Dinda lagi."Kalau begitu biar Mas angkat saja.""Boleh deh, mules banget soalnya.""Mules banget?" wajah Dimas mulai panik setelah mendengar ucapan Dinda."Iya, tapi gimana? Jalannya sudah kaki Dinda kesemutan," Dinda pun melihat kakinya dan sejak perutnya semakin besar ini memang sangat sering terjadi jika terlalu lama duduk."Mas, telpon ambulan saja," cepat-cepat Dimas pun mengeluarkan ponselnya dari saku celananya."Mas, kita di rumah sakit! Ngapain telpon ambulan?!""Oh, iya," Dimas pun mulai menyadari dimana kini keduanya berada."Ada-ada saja!" kesal Dinda.Lagi pula untuk apa Dimas begitu panik Dinda sendiri ingin bertanya, sayangnya
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang