POV MarniJika ada yang bertanya, apakah perubahan bisa terjadi sendiri? Tidak. Selain paksaan mertuaku dan Mas Anto, ada sosok lain yang ikut berperan. Sosok yang baru kutemui sekali dan bersikap seperti sudah lama saling mengenal.Kami bertemu di salon, sama-sama duduk di ruang tunggu. Dia melemparkan senyum padaku dan kubalas dengan canggung."Bukankah kamu Marni?" tanya dia lebih dulu, orangnya cantik dan sangat anggun, penampilannya layak diacungi jempol. Baju yang dikenakannya indah dan tentu saja barang mahal."Iya, maaf, Mbak siapa?" tanyaku padanya. Aku agak sungkan pada orang asing, sebisa mungkin menjaga jarak, akan tetapi melihat gelagatnya, dia tak berbahaya."Kau mungkin tak mengenalku, tapi aku mengenalmu, aku salah satu kenalan lama suamimu, tepatnya teman suamimu. Kita pernah berjumpa sekali, saat pesta pernikahanmu, kau lupa?"Aku menggaruk kening. Daya ingatku lemah, aku tak bisa menghafal para tamu yang hadir waktu itu."Aku Silvi. Temannya Wulan.""Oh," sahutku ag
POV MarniKudorong bahu Mas Anto menjauh, memisahkan tautan kami. Dia masih kebingungan, sambil kesusahan menata nafasnya. Matanya masih gelap dengan tatapan misterius yang tak bisa kufahami. Aku tak menyangka keisenganku malah membawa petaka."Keluar, Mas! Aku mau mengganti pakaian kembali." Kubelakangi dia, menatap pantulannya di cermin besar di depanku.Kudengar dia mendengkus, lalu keluar dari ruang ganti. Dalam konsisi apa pun, dia selalu marah, bahkan disaat dia menciumku.Aku menghela nafas panjang, mengusap bibirku sendiri. Bukan yang seperti ini yang kuharapkan, bukan sebagai pelampiasan kemarahan seperti waktu dia mengambil haknya dengan kasar. Aku akan memberikan apa pun, karena aku adalah seorang istri yang halal untuknya. Akan tetapi diperlakukan seenaknya seolah tak berharga amat menyakitkan hatiku.Setelah selesai, kukeluar dari ruang ganti. Apa yang kudapati? Mas Anto dan Wulan tengah berbicara berdua, mereka tampak akrab, entah membicarakan apa. Sesekali Wulan tertawa
POV AntoAku berbaring gelisah di atas ranjang. Sekeras apa pun aku berpikir, aku tetap tak menemukan jawaban apa pun dari sikap ajaib Marni. Apakah ini dia yang sebenarnya? Kepribadian berbeda yang belum sempat keluar kerena dia tinggal di pelosok dan selalu terkurung dalam rumah. Lalu kepribadian itu muncul setelah menikah? Yang kutahu, Marni memang keras kepala, tapi memiliki sifat penggoda rasanya mustahil.Selama ini, aku yang bisa mengendalikannya, akulah si pengendali yang harus selalu dia turuti dan patuhi, sekarang dia malah berbalik menyerangku dengan idenya yang tak masuk akal. Tak boleh menyentuhnya? Dia pikir dia semenarik itu? Tapi ... Kehalusan dan kelembutan kulit itu, seakan memanggil-manggilku. Sangat kesal memerangi diri sendiri."Sial," umpatku pelan."Kenapa, Mas?" tanya Marni bodoh, padahal kegelisahan ini karena dirinya. Salah satu sifat menyebalkan Marni adalah merasa tak bersalah setelah dia memulai masalah besar. Lihat saja, matanya yang lugu itu seolah menge
POV MarniAhmad, tak menyangka bisa bertemu dengannya setelah bertahun lamanya tak berjumpa. Kami satu kampung, satu sekolah juga, akan tetapi karena otaknya yang cerdas, dia melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.Dia berbeda dengan Ahmad yang kukenal dulu, dulu kulitnya hitam dan tubuhnya kurus, dia juga pendek. Hanya saja dia memang selalu juara satu. Karena kecerdasannya itu dulu, aku mengaguminya. Rasa kagum gadis kecil yang baru mengenal lawan jenis dengan arti yang berbeda. Bukan perasaan serius layaknya wanita dewasa."Jadi namanya Ahmad?"Kukira Mas Anto sudah lupa. Karena sepanjang perjalanan ke rumah dia diam seribu bahasa. Dia malah meninggalkanmu di belakang dan berjalan lebih dulu. Akan tetapi tampaknya dia ingin membahas ini lagi."Iya," sahutku santai. Kami tengah berada di ruang tamu. Kuberikan dia segelas air putih dingin."Dia tinggal di mana?""Sekampung sama kami.""Oh, jadi dia merantau ke Jakarta?""Dulu dia kuliah di Jakarta, mungkin dapat pekerjaan di sana
Pov MarniAku merasa pandanganku berputar, berulangkali kuusap mataku agar pandangan kembali jernih, tapi gagal. Bahkan wanita yang berada tak jauh dariku malah berubah menjadi dua.Kucoba berjalan walaupun sempoyongan, seakan tengah berjalan di atas sampan yang tengah berlayar di ombak pasang, hasilnya malah semakin pusing. Tak sengaja kumenabrak seseorang yang berpapasan denganku secara kebetulan, minuman yang berada di tangannya tumpah ke bajuku dan bajunya. Baju kami berubah bewarna cokelat. Dia menatapku nyalang, walaupun dia juga berubah jadi dua, aku tetap bisa melihat matanya yang membulat sempurna karena marah."Punya mata nggak sih?" umpatnya sangat kesal. Aku mencoba memfokuskan pandanganku yang kian kabur. Dia menghapus bajunya dengan sapu tangan, hasilnya noda itu kian melebar."Maaf," kataku, aku tak menunggu balasannya, aku harus mencari tempat untuk bisa duduk dan menenangkan diri atau mencari sesuatu untuk berpegangan, rasanya amat mual, seperti mabuk kendaraan yang
POV MarniAku membuka mata perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar bewarna putih, kemudian dinding kamar bewarna biru muda.Baru beberapa detik membuka mata, rasa sakit yang amat sangat menyerang kepalaku. Seperti tengah dipukul dengan benda keras. Aku bahkan belum sempat melihat lebih banyak tempat asing ini, karena rasa sakit, kupejamkan mataku sambil memijit kepalaku pelan."Nona sudah sadar?"Aku kaget, saat menyadari ternyata aku tak sendiri. Seorang wanita baya dengan rambut ditaburi uban, berdiri di sudut kamar yang asing bagiku, dan wanita itu juga asing. Dia memegang segelas air di tangan kirinya."Di mana saya?" tanyaku."Di rumah Tuan Bagus." "Tuan bagus?""Iya Tuan bagus pemilik rumah ini, maaf Nona, kata Mas Doni, kalau Nona sadar, Nona harus meminum ini, obat penghilang rasa sakit."Wanita itu meletakkan satu buah obat dan segelas air putih di atas meja kecil yang ada di sampingku. Padahal aku masih ingin bertanya banyak padanya."Saya permisi." Wa
"Duduk di sini, Marni!" Doni menyambutku amat ramah, sedangkan penghuni meja makan yang lain menatapku datar. Sempat menoleh sebentar, mereka kembali mengoleskan selai ke roti tawar mereka masing-masing.Ada empat orang di sana, wanita yang sudah berumur tapi masih cantik yang wajahnya mirip Mas Doni, yang kuyakini adalah ibunya. Sedangkan pria berkumis yang duduk di kursi paling ujung kemungkinan ayah Mas Doni, dan gadis berambut pirang yang terkesan acuh tapi mirip Mas Doni itu, kemungkinan saudaranya.Aku melangkah ragu, duduk di kursi kosong di sebelah Mas Doni."Jadi namamu, Marni?" Suara wanita berumur itu memecah kesunyian."Iya, Bu," sahutku canggung. Mas Doni menyerahkan roti tawar beserta sekaleng selai coklat. Sarapan orang kaya yang tak cocok di lidahku. Setiap pagi, aku terbiasa makan nasi, bukan makan roti."Bukannya kau ke pesta dengan suamimu? Bagaimana bisa kau pulang dengan anakku? Bahkan dalam keadaan mabuk."Senyumku surut, bertepatan dengan seluruh mata yang meman
POV AntoSabar ... Mungkin memiliki batas. Aku telah bersabar atas semua takdir yang menimpaku, menerima Marni menjadi istriku dan memberikan nafkah selayaknya suami pada istrinya. Aku juga telah berusaha mendidiknya semampuku, memikirkan kemajuan untuknya agar dia terlihat sama seperti orang kebanyakan. Agar dia tak terlihat aneh, agar dia terlihat terhormat. Agar dia bisa hidup normal dan tak diolok-olok orang lain.Sekeras apa pun kuberusaha, terkadang Marni kembali pada dirinya sendiri. Contohnya tadi malam. Bagiku apa yang dilakukan Marni sangat fatal, tak pernah aku merasa sangat malu melebihi rasa malu dengan perbuatan Marni kali ini.Dia bahkan mabuk di awal pesta, menumpahkan makanan yang tertata sehingga berserakan di rumput taman. Yang lebih memalukan lagi, dia mengotori baju anak pemilik pesta yang malam itu telah berdandan sangat cantik. Diakhiri dengan muntah di sembarang tempat. Selain membuat onar, dia juga menjadi tontonan gratis yang kelakuannya diabadikan beberapa t
POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I
POV Anto "Dia menangis terus," kataku pada Marni yang juga kehilangan akal mendiamkan Rayhan. Seperti biasa, Rayhan akan menghabiskan waktunya di siang hari untuk tidur, dan malamnya untuk begadang."Dia tidak mau menyusu," sahut Marni tak kalah panik.Keributan di kamar kami, memancing Ibu untuk bangun. Ibu masuk ke kamar yang memang sedikit terbuka."Ada apa?""Dia menangis terus," keluh Marni.Ibu mengambilnya, Rayhan terus saja menendang-nendang sehingga bedongnya terlepas."Kenapa tak dipakai kaus kakinya? AC kalian terlalu dingin, dia terbiasa di tempat hangat, jangan samakan bayi yang baru lahir dengan kita. Ini saja kalian tak faham."Ibu menggendong Rayhan, berjalan menuju box bayi yang terletak di samping ranjang. Marni belum pulih betul, ASI tersumbat sudah mulai keluar walaupun saat ini payudaranya masih bengkak."Popoknya juga basa," keluh Ibu. Dengan cekatan Ibu mengganti popok, memakaikan kaus kaki dan bedong baru. Tak lama setelah itu,bRayhan mulai tenang."Matikan AC
POV MarniTernyata, menjadi Ibu tidaklah mudah. Hamil yang melelahkan, melahirkan yang menyakitkan, ternyata tak hanya sampai di sana.Selain harus buang air dengan cara berdiri karena bekas jahitan yang masih basah, aku juga serasa mau menangis setiap menyusui Rayhan anak kami. Setiap dia menghisap, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku, sakit yang hampir mirip dengan kontraksi melahirkan. Setelah itu, darah berbingkah akan keluar setiap kali sakit itu mereda. "Itu biasa, semakin sakit, semakin cepat rahimmu menyusut," kata Ibu dengan petuah seperti biasa. Aku hanya meringis, selain perut yang amat sakit, aku juga merasakan nyeri luar biasa di puting payudaraku. Belum lagi perih di bagian jalan lahir, setiap aku bergerak sedikit, rasanya luar biasa."Berarti kau pemalas membersihkannya saat hamil, harusnya saat hamil, puting itu dibersihkan setiap habis mandi dengan minyak zaitun, dipencet agar yang menyumbat pintu ASI-nya keluar."Aku diam saja, mungkin maksud ibu baik,
Pov AntoTak mudah ternyata menjadi Ayah. Di tengah rasa yang membuncah Karena kedatangan anggota baru, aku harus menguji nyaliku melawan rasa jijik.Setelah anak kami di mandikan dan diazankan, perawat berpesan padaku untuk membawa kain kotor bergelimang darah milik Marni. Belum lagi ari-ari yang harus dibersihkan sebelum di kubur. Aku berulang kali menelepon teman kantorku, menanyakan bagaimana cara memperlakukan benda yang sebelumnya ada di rahim Marni itu.Berulang kali juga aku menahan mual. Ya Tuhan, aku tak terbiasa dengan sesuatu yang aneh dan menjijikkan. Anggap saja aku norak, akan tetapi semua ini harus dilakukan, bukan? Hanya ada kami berdua di sini, siapa yang akan kuharapkan. Akhirnya, benda kenyal yang selebar piring dan berbentuk aneh itu, selesai kubersihkan.Bunyi HP-ku terdengar dari dalam kamar. Ari-ari itu sudah bersih dan sudah kubungkus dengan kain dan di masukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat. Ya, perjuangan melelahkan itu berakhir juga, tinggal
Alangkah lucunya baju-baju kecil ini, aku tersenyum, membayangkan akan punya bayi sendiri itu, sangat membahagiakan.Sesaat kurasakan perutku agak mulas, hanya sebentar. Tak sampai dua menit. Setelah kurasa agak reda, aku kembali mengusap baju bayi yang dipilihkan Mas Anto. Kata Dokter, anak kami laki-laki, hal itu membuat Mas Anto amat senang. Kebanyakan warna pakaian yang dibelikan Mas Anto bewarna biru.Bagiku, laki-laki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat jasmani dan rohani.Setelah puas memperhatikan baju-baju lucu itu, aku berencana ingin merapikan kembali rak-rak yang berisi pot bunga, menata mereka dengan cantik.Satu jam setelah itu, aku kembali merasakan perutku mulas, lebih lama dan lebih sakit dari sebelumnya. Kupegang tiang rumah untuk mencari kekuatan, apakah ini tanda akan melahirkan? Tapi kata dokter masih tiga Minggu lagi.Mungkin karena terlalu banyak bergerak, seperti pesan Mas Anto, aku tak boleh melakukan hal berat. Baiklah, mungkin dengan tidur siang akan
POV MarniSeiring berjalannya waktu, kandunganku sudah genap memasuki usia sembilan bulan. Tak ada kendala berarti selama kehamilan, bahkan Mas Anto memujiku cantik. Ah, sejak kami mengungkapkan perasaan saling mencintai, aku dan Mas Anto lebih terbuka dari sebelumnya. Kami tak lagi canggung untuk menunjukkan kemesraan kami. Seperti pujian Mas Anto yang membuat hatiku berbunga-bunga.Kami baru saja selesai jalan pagi. Sebuah kegiatan rutin yang kami lakukan setiap hari. Dimulai setelah salat subuh, kami mengitari area kompleks lalu kembali ke rumah."Kakiku pegal," kataku sambil menaikkan kedua kakiku berselonjor di atas sofa. Tanpa diminta, Mas Anto dengan cekatan memijitnya. Rasanya nyaman sekali. Kebiasaan memijit ini juga dilakukannya tiap hari setiap kami selesai jalan pagi."Semalam, aku mendengar suara gaduh di sebelah. Padahal sudah tengah malam. Lama-lama, terganggu juga punya tetangga yang selalu ribut dengan suaminya.""Iya, mereka dari dulu memang begitu. Tapi, orang di se
Aku tersentak. Di tengah kepalaku yang sakit, aku membuka mataku dan bertemu dengan tatapan Mas Anto yang kelihatan bingung. Kemudian, telingaku berdenging kembali, diikuti oleh semua bayangan yang diputar seperti kaset rusak, terakhir, jeritanku saat mendorong Mas Anto menjauhi pohon yang akan mengenainya."Marni, kau tak apa-apa?" Mas Anto menangkapku yang hampir merosot ke lantai."Mas?" tanyaku dengan suara serak. Dia menatapku bingung.Dengan semua rasa membuncah, kupeluk erat dirinya. Ingatan itu kembali utuh dalam waktu sekejap, begitu cintanya aku padanya dulu, sampai mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawanya."Maaas!" Hampir seperti rengekan. Aku memeluknya makin erat, ternyata kami telah melewati banyak hal, Mas Anto telah memberikan begitu banyak waktu untukku mengingat bagaimana bergantungnya aku padanya dulu."Ada apa? Aku cemas, apa yang kau ingat?" Suara Mas Anto bergetar."Semuanya, aku sudah mengingat semuanya. Ya Tuhan, aku sudah mengingat semuanya." Keberi ja
POV MarniKami sampai di rumah adik-adikku jam enam sore. Aku dan Mas Anto sengaja ke rumah sebelum kembali ke Jawa Timur besok pagi. Setidaknya, malam ini bisa lepas kangen dengan adik-adikku. Kesempatan ini tak selalu ada, setelah sempat merasa asing dengan wujud mereka yang berubah, aku bertekad akan mendekatkan diri kembali pada mereka.Suasana rumah telah berbeda dari yang kuingat, lebih bersih dan catnya pun sudah ditukar, beberapa perabot lama sudah tak tampak lagi. Walaupun belum begitu akrab dengan wujud baru adik-adikku yang sudah besar, namun hati seorang Kakak tak bisa dibohongi, aku menyayangi mereka, sebagai seorang Kakak tertua yang dihormati dan pengganti Ibu bagi mereka."Kakak mau mandi atau makan dulu?" tanya Leni, sepertinya Leni habis berkutat di dapur, ada tiga menu sederhana yang sudah tersaji di meja makan, ikan asin digoreng dengan petai pakai cabe merah, gulai ayam dan sayur kates, menu yang sangat menggugah selera, mungkin sejak kutinggal menikah, Leni suda
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg