"Di mana-mana itu gak ada yang gratis. Kamu tinggal di sini juga gak bisa gratis. Cuci semua baju di belakang. Pisahkan pakaian berwarna dan putih. Setelah itu kamu masak. Aku sudah belanja. Ayam empat potong untuk aku dan Bang Hadi. Kamu makan telur ayamnya. Makan telur itu bagus untuk ibu hamil. Setelah masak, kamu baru boleh lanjut setrika." Nabila memerintah Hani yang baru saja selesai menyapu, lalu mengepel rumah. Pinggangnya panas, perutnya pun terasa kencang karena setiap hari mengerjakan ini itu di rumah abangnya. Lalu, apakah Hadi tahu? Tentu saja Hadi tidak tahu karena Nabila yang melarangnya untuk memberitahu. "Perut saya keram, Mbak," kata Hani dengan sedikit meringis. "Alesan! Kamu itu gak boleh manja, Hani. Hidup menumpang itu gak enak. Makanya hidup itu yang lurus. Satu lagi, kamu gak boleh keluar rumah. Nanti tetanggaku di sini jadi ribut gara-gara aku menampung wanita hamil dari pria yang tidak jelas." Hani yang lelah, hanya bisa menghela napas, tanpa ingin membalas
Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh Abah Haji. Ia duduk di depan penghulu yang akan menikahkannya. Kenapa penghulu yang menikahkan? Karena Abah Haji mendapatkan ijin berpoligami dari Haji Umi selalu istri pertama. Berkas pun sudah diisi disertai materai. Nela akan menjadi istri sah pria pemilik pesantren itu, sama seperti Haji Umi. Mimpi pun ia tidak pernah. Mantan wanita malam yang sudah berhijrah itu masih meneteskan air mata saat menunggu ijab kabul diselesaikan. "Mbak Nela jangan nangis, nanti make up-nya luntur," kata Laila yang kini tengah menemani Nela di bilik yang ada di belakang mimbar masjid. Baju brukat panjang berwarna putih dengan hijab yang menutupi dada, serta siger Sunda yang menghias di kepalanya, membuat Nela begitu cantik. "Saya terharu, Laila. Apa ini gak salah?""Jangan ada keraguan terhadap keseriusan Abah saya. Saya anaknya yang paling tahu bagaimana Abah saya. Mbak Nela wanita paling beruntung yang bisa mendapatkan buku nikah sah dari negara karena ijin
"Bah, lampunya dimatikan dulu ya, saya malu," kata Nela sambil menunduk. Dua kancing atas gamisnya sudah terbuka akibat ulah suaminya. "Iya, biar saya yang matikan. Kamu di sini saja." Abah Haji berjalan untuk menekan saklar lampu. Kini kamar dalam keadaan gelap. Dugh!"Aduh!""Kenapa, Bah?" Nela terkejut mendengar suara kegebug. Ia berdiri dan mencoba menghampiri suaminya. "Kesandung karpet. Ya ampun, aya-aya wae. Mana kena lutut." Abah Haji berjalan pincang menuju ranjang dituntun oleh Nela. "Maaf ya, Bah, gara-gara lampunya padam, jadi gak keliatan jalannya." Nela merasa tidak enak hati. Ia mencium tangan suaminya, lalu ia letakkan di pipi. "Gak papa. Setannya emang lagi iseng aja sama saya, he he he... tolong nyalakan lagi lampu, lalu oleskan minyak but-but di kaki saya ya." Nela mengangguk. "Hati-hati, jangan sampai kamu kesandung juga," kata Abah Haji mengingatkan. Nela pun menyalakan lampu, lalu mencari minyak yang dimaksud suaminya di dalam laci, tetapi ia tidak menemuk
Siapkan Jantung Anda! "Naksir perempuan?" tanya Bu Umi memastikan ia tidak sedang salah mendengar ucapan putranya yang masih sangat muda. Syamil mengangguk. "Siapa, Sya?" Didin bertanya dengan suara beratnya. "Namanya Hanum, Bang. Teman kampus dan satu kelas. Pakai bajunya sopan, tertutup seperti Teh Laila dan Ummi. Masih sekedar dekat aja, buat penambah semangat saat kuliah," cerita Syamil sambil senyum. "Gak papa, asalkan hanya sekedar berteman saja, Sya. Kamu pasti lebih tahu mana yang benar dan tidak, Ummi percaya sama anak Ummi." Syamil merasa lega telah mengatakan hal ini pada Ummi nya. Paling tidak, orang tuanya mengetahui ia sedang dekat dengan siapa. Syamil masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk termenung, merasa ada yang tidak lengkap dalam dirinya. Mungkin karena sampai saat ini ia belum mengetahui di mana keberadaan Hani. Jika saja ia tahu wanita hamil itu tinggal di mana, mungkin ia akan lebih tenang. Terakhir ia bertemu Hani adalah saat ia pamitan pindahan dan wanita itu
Hani panik bukan main, bayinya lahir di dalam kamar mandi mushola dan tidak ada siapapun yang mengetahuinya dan membantunya. Untuk beberapa saat Hani menangis, tetapi ia ingat, bayinya kedinginan. Lekas ia angkat bayinya dengan tangannya yang gemetar. Dibungkus dengan handuk yang tadi ia ambil dari dalam tas. Bayinya laki-laki dan sangat tampan. Hani sesegukan karena bayinya lahir dengan wajah arab-araban. Ia menutup mulut agar suara tangisnya tidak pecah. Oek! OekBayinya menangis. Hani semakin kalap, karena khawatir akan banyak orang yang mendatanginya. Lekas ia memenangkan sang bayi dengan menggendongnya, mengindung-ngindung dengan tali plasenta yang masih menggantung. Bayi itu pun berhenti menangis, Hani bergegas keluar kamar mandi dan berjalan mengendap-ngendap agar tidak ada yang melihat dirinya. Namun, sebelumnya ia sudah mengguyur lantai kamar mandi yang terkena noda darahnya. Jalannya pun kepayahan karena masih menggantung tali placenta. Untunglah lampu teras mushola mati
"MasyaAllah, b-bayi. Allahu Akbar, Abah, Ummi, Rukmini, ada bayi!" Teriak Laila membangunkan semua penghuni rumah. Didin menggendong bayi itu dengan tatapan sedih, sekaligus haru. Bayi masih merah dan masih ada sisa darah kering di bagian wajah dan lehernya. Alis tebal, rambut hitam legam yang banyak, hidung tinggi, membuat Didin takjub dengan bayi yang ada di tangannya. "Bawa masuk, La, saya mau kejar ibunya mungkin belum jauh." Didin memberikan bayi itu pada Laila, lalu ia berlari keluar lewat pintu samping yang ditumbuhi banyak ilalang. Namun, Didin tidak menemukan siapa-siapa di sana. Didin pun kembali ke dalam rumah. Ummi Haji tengah menggendong bayi itu dengan linangan airmata. "Rukmini, pakai air panas dispenser saja, siapkan di baskom!" Seru Bu Ummi gugup. Semua mata memandang bayi tampan itu dengan tatapan iba. "Ya Allah, Nak, ibumu tega sekali meninggalkanmu di sini." Nela ikut berkaca-kaca, teringat akan bayi kembarnya yang tidak bisa ia lahirkan dengan selamat. "Bu, a
"Akhirnya si Hadi tahu juga kelakuan istrinya yang setiap hari teriak-teriak sama adiknya Hadi yang lagi hamil itu.""Iya, Bu, coba kalau adiknya Hadi gak pergi, sampai selamanya itu si Hadi gak tahu jahatnya istri cantiknya dan juga sombong.""Rasain diusir! Jadi tetangga sok kaya, jadi istri sok paling dicintai, jadi ipar galaknya ngalahin anjing herder. Makan tuh pencarian!" Nabila hanya bisa menulikan telinganya saat para ibu-ibu tetangga sibuk menggosipkannya. Wanita itu memungut pakaiannya satu per satu yang dilemparkan suaminya ke luar rumah, hingga mereka pun sontak menjadi tontonan. "Pergi, jangan balik lagi ke sini!" Blam! CklekHadi membanting pintu, lalu menguncinya. Nabila hanya bisa berlingangan air mata karena perkataan suaminya yang sangat menyakiti hatinya. Suaminya juga sudah menalaknya dan semua itu karena Hani. Gadis itu seharusnya mati saja dan kenapa harus kembali ke Jakarta? Nabila terus saja menyalahkan Hani atas apa yang terjadi padanya. Setelah memastikan
"Makasih untuk traktirannya, Sya," kata Hanum sambil tersenyum. Keduanya sedang duduk di kantin, sambil mengerjakan tugas, sambil makan baso. Awalnya memang mereka bersama teman yang lain, tetapi karena yang lain ada urusan, akhirnya tersisa Syamil dan Hanum saja."Sama-sama, Num. Aku wajib kasih kamu persenan karena udah kasih kerjaan ke aku. Yang di bimbel juga kan infonya dari kamu. Makasih banyak pokoknya," kata Syamil tulus. Ini adalah gajian kedua kali dari bimbel dan juga dari privat adiknya Hanum. Tentu saja ia tidak boleh serakah dengan menikmati gajianya sendiri."Jangan sungkan, Sya. Semoga kita tetap bisa berteman baik. Syukur-syukur sampai lulus dan berjodoh." Kalimat terakhir Hanum membuat Syamil menoleh kaget. Gadis di depannya sudah menunduk karena malu."Masih jauh kali, Num. Kita belajar aja yang bener. Kalau kita bener, dapatnya juga bener," kata Syamil bijak. Hanum merasa sangat malu karena perkataannya tadi sudah membuatnya ditegur Syamil. Ia mengira ucapannya tad
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki