Tantri menunggu jawaban keluar dari bibir Arsaka. Apa pun itu ia harus tahu demi mengobati rasa penasaran yang begitu membuncah. Tiba-tiba dipecat tanpa sebab yang pasti membuatnya keukeuh menemukan jawaban yang mungkin saja akan terdengar tidak masuk akal. Tapi, ia tak mempermasalahkannya.
Office girl. Ini adalah pekerjaan pertamanya setelah lulus sekolah menengah atas dan kini ia dipecat tanpa hormat seperti ini, siapa yang tidak marah? Ia harus memperjuangkan haknya, meski tak ada Josh maupun Banyu di belakangnya untuk mendukung dirinya. Ia yakin dapat menerima konsekuensi yang sebentar lagi terungkap dari seorang Arsaka.
"Namira!" panggil Arsaka pada sekretaris pribadinya yang lebih tua beberapa tahun darinya.
"Iya, Pak Saka!" jawabnya cepat dan penuh kesopanan.
"Tolong tinggalkan kami berdua dan kembali kerjakan tugasmu!" titah Arsaka tak menerima bantahan.
"Baik, Pak!" jawab Namira.
Namira yang telah
Arsaka terdiam. Ia menimang-nimang sesuatu dalam pikirannya, hendak ia keluarkan atau cukup ia sendiri saja yang tahu, jujur saja, alasannya nanti pasti akan terdengar tidak masuk akal.Ya, alasan konyol!Bukankah wajar jika seorang pembesar seperti dirinya bertindak seenaknya? Ini adalah kantor milik ibunya dan dapat dipastikan akan jatuh ke tangannya karena dirinya adalah anak tunggal. Tapi melihat keteguhan gadis itu yang terus mendesaknya membuat ia dilema.'Ah, baiklah! Kalau ini yang kamu mau!' batin Arsaka."Apakah kamu tahu sejak pertama kali aku bertemu denganmu membuatku tak segan untuk langsung membencimu? Karena kamu adalah orang pertama yang membuat aku dan ibuku bertengkar.Apa yang kamu ucapkan pada ibuku sampai-sampai beliau menginginkan aku untuk menikahi gadis sepertimu? Jangan-jangan kamu memakai mantra tertentu?" ungkap Arsaka dengan senyuman sinis terbit di wajahnya.Tantri tak menduga
Arsaka balas menatap wajah sendu Tantri. Ia bisa merasakan ada rasa sakit di dalam hati gadis itu. Sungguh, ia tak menyangka bahwa ia masih bisa bersimpati padanya. Sekelebat kejadian tiba-tiba membanjiri pikirannya. Ia tampak bersalah pada gadis miskin yang baru saja ia pecat. "Kamu boleh bekerja di sini lagi! Asal dengan satu syarat, jangan pernah berpapasan denganku ke depannya!" tegas Arsaka. Tantri mengernyit heran. Kepalanya mendadak pening. Sepertinya pria si hadapannya memang bermasalah dengan isi di dalam otaknya. "Terima kasih atas tawaran Bapak Arsaka yang baik. Tapi tidak perlu anda lakukan, karena setelah mendengar pemecatan dan alasan yang telah disampaikan Bapak pada saya sudah cukup menjadi penguat bagi saya untuk segera keluar dari perusahaan ini. Sekali lagi terima kasih, Pak Arsaka!" tolak Tantri mentah-mentah sembari mengulas senyum tipis. Tantri membungkukkan badan sembilan puluh derajat dan b
Tantri berupaya mengembalikan amplop di tangannya pada Josh. Bagaimana pun juga dirinya sudah tidak bekerja lagi di perusahaan ini. Untuk apa lagi ia menerima uang yang bukan haknya?Gadis muda nan cantik itu tersenyum sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduknya sementara waktu."Pak Josh, maaf saya mau pulang. Saya merasa sudah tidak memiliki hutang atau beban apa pun di sini. Permisi, Pak!" ungkap Tantri setelah meletakkan amplop itu di atas meja.Josh yang menangkap basah ulahnya segera mencegah kepergian Tantri."Jangan pergi dulu, Tantri! Terimalah ini! Maafkan aku karena gagal menyelamatkanmu dari amarah pimpinan. Aku menyukai cara kerjamu, pasti aku akan merindukan segala tentangmu," ungkap Josh jujur yang sebenarnya dapat membuat siapa pun yang mendengarnya berpikiran ambigu.Tantri mengangguk mantap."Terima kasih juga Pak, sudah mengijinkan saya bergabung dengan perusahaan ini. Dan untuk uang
Banyu menunggu penjelasan Tantri. Ia merasa tak dianggap oleh gadis cantik itu. Apakah dirinya tidak berharga sama sekali dalam hidup Tantri? Kenapa hal sepenting ini ia ketahui dari beberapa teman sejawat Tantri di sini? Segala macam pertanyaan menelusup ke dalam hati pemuda tampan tersebut. "Jawab aku, Tantri!" paksa Banyu. Tak berani melihat sepasang netra hitam di hadapannya, Tantri lebih memilih memalingkan pandangannya ke arah lain. Tangannya bergetar hebat. Ia tak mampu menjelaskan hal itu pada Banyu. "Tantri!" panggil Banyu, kali ini terdengar lebih melunak dibandingkan beberapa detik sebelumnya yang begitu menggebu. Tantri perlahan menghadapkan wajahnya ke arah pemuda bertubuh tinggi nan tegap tersebut dengan malu-malu. Ia meragu untuk beberapa saat. Tapi pemuda itu terus menunggu jawabannya. Menghela napas berat dan panjang, Tantri mengulum bibirnya ke dalam sembari merancang segala jawaban
Banyu menggebrak meja kerjanya lumayan kencang hingga membuat perhatian orang-orang tertuju padanya. Tak bisa menjawab pertanyaan Josh, ia memilih keluar dari ruangan sepupunya dan kembali ke ruang kerjanya. "Kenapa, Bro?" tanya Sony, sahabat Banyu di kantor tersebut. Banyu menggeleng cepat. "Nggak apa-apa!" bantah Banyu yang tampak sekali menghindari tatapan mata lawan bicaranya. "Kalau nggak kenapa-napa, kenapa itu meja dipukul kayak gitu? Ngerasa kuatkah? Apa mau gaya doang?" ledek Sony. "Bercanda kamu nggak lucu! Mending kamu minggir dulu deh, sebelum kamu jadi sasaran kemarahanku!" ancam Banyu yang sebenarnya tak akan terjadi. Ia hanya gertak sambal pada sang sahabat. Mendengar itu, Sony mengangguk dan berkata, "Ya udah pukulin aja meja itu! Biar kamu puas! Kalau udah rada enakan, cerita sama Abang, siapa tahu abang bisa bantu adek Banyu!" Niat hati ingin mengajak ber
Yusti menampar kedua pipinya sendiri. Menyangka yang baru saja dikatakan sang keponakan adalah khayalan semata. Ternyata… "Aduh, sakit!" keluhnya saat telapak tangannya dengan lancang terus memberi jejak merah di pipinya. Tantri merasa semakin bersalah. Sungguh, ia dilema. Bohong itu jelas dosa, dan jujur pasti akan terus dicecar. Lalu dia bisa apa? Tantri menatap dalam wajah sang bibi. "Maaf ya, Bi! Sekarang aku jadi pengangguran dan nggak bisa bantu bibi mencukupi kebutuhan rumah. Tapi, aku janji dan akan terus berusaha biar bisa dapat kerja lagi, Bi!" ucapnya menenangkan sang bibi. Yusti menghela napas panjang. Ia menatap balik Tantri dan tersenyum penuh kehangatan. Sambil mengelus punggung gadis cantik itu, Yusti menyandarkan kepalanya di bahu Tantri. Ia pun memeluk tubuh mungil Tantri dengan penuh kasih sayang bak seorang ibu kandung pada anaknya. "Tantri, pernahkah bibi memintamu
Arsaka tampak kesal. Bukan lagi kesal malahan, tingkatannya sudah amat sangat kesal level dewa. Ini benar-benar keterlaluan!"Mama, tolong jangan bersikap seperti ini! Please, ayo kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik! Aku nggak mau ada masalah sama Mama.Mama tahu kan, aku tuh sayang banget sama Mama? Sementara saat ini aku nggak tahu apa yang menyebabkan Mama marah-marah begini sama aku!" keluhnya pada sang ibu.Mbok Sum tak bisa berbuat banyak. Wanita yang lebih tua dua tahun dari usia Mona itu pun dengan berat hati mengusir Arsaka dari kamar. Tanpa mengurangi rasa hormat, ia menunjukkan arah pintu pada pemuda tampan itu agar segera keluar dari ruangan Mona."Maaf, Den Saka. Biar Nyonya Mona istirahat dulu! Sepulang dari rumah sakit, beliau masih lemas. Beliau butuh waktu yang banyak untuk pemulihan. Den Saka bisa menemui nyonya nanti setelah Nyonya merasa lebih baik lagi!" ucap mbok Sum dengan sungkan."Mbok, aku
Yusti merasa berdosa jika melakukan hal itu. Bungkusan ini bukan miliknya meski sejuta tanya menyeruak ke dalam pikirannya, ia tetap harus bisa menahan egonya."Ya Allah, ampuni aku! Untung nggak jadi dibuka. Kalau jadi, bisa-bisa nanti Tantri marah sama aku karena lancang bukain barang-barang dia! Deuh nih tangan nakal bener, sih!" ucapnya sadar.Yusti segera membawa bungkusan itu menuju ke kamar. Berharap esok pagi setelah matahari menyambut, ia bisa segera menyerahkan titipan Banyu pada Tantri tanpa kurang sedikit pun.Membuka pintu dengan buru-buru, ia malah tanpa sengaja berpapasan dengan Tantri yang kini menatapnya penuh tanda tanya di ambang pintu kamarnya."Astaghfirullah, Tantri! Ngapain kamu di sana? Untung jantung bibi nggak copot! Astaga!" pekik Yusti sambil mengelus dadanya lalu berusaha menenangkan atmosphere pekat di dalam hatinya yang berkecamuk hebat dan satu tangan lagi membawa bungkusan dari Banyu."
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "