“Itu bukan anakku! Sampai mati aku tak sudi mengakuinya!”
Dhuuaarrrr
Seperti baru saja ada godam besar yang menghantam dan memporak-porandakan hatiku hingga benar-benar tak bersisa, saat mendengar pernyataan Kak Sean barusan. A-apa katanya? Sampai mati pun dia tidak mau mengakui bayiku? Lalu ... harus bagaimana aku sekarang?
Oh, Tuhan. Malang sekali nasib bayiku. Belum sempat melihat dunia saja, sudah ditolak oleh papanya. Kejam sekali pria ini.
Maaf, nak. Maafkan Mama karena membiarkan kamu mendengarkan pengakuan kejam itu. Maafkan Mama yang tidak bisa membuatmu diakui, dan ....
Plak!
“Sean, cukup!” seru Mama Sulis dengan murka, setelah menampar keras pipi
Setelah kata talak terucap tadi. Aku pun berusaha tetap menegakan kepala, saat keluar dari rumah itu.Tidak, aku tidak akan kalah hanya karena penolakan ini. Aku akan buktikan pada pria arogan itu. Bahwa yang akan menyesal di sini adalah dia, bukan aku. Entah bagaimana caranya, aku tahu Tuhan tidak pernah tidur. Dia pasti akan memberikan keadilannya padaku suatu hari nanti. Di mana-mana, pembalasan itu lebih kejam dari perbuatan iya, kan?“Ra, Mama mohon. Jangan pergi dulu. Semuanya masih bisa dibicarakan dengan kepala dingin, kan?” Mama Sulis masih mencoba memohon padaku, seraya mensejajarkan langkahnya denganku yang hampir menuju gerbang rumahnya.Aku pun menghentikan langkahku pelan, sambil mendesah berat sebelum menoleh pada Mama Sulis. Sebenarnya, dari semua yang akan aku tinggalkan dalam pernikahan
Aku hancur! Benar-benar hancur! Bukan hanya hati saja, tapi juga kehidupanku. Karena ternyata Sean Abdillah itu licik sekali. Selama perusahaan dipegang olehnya, ternyata dia juga mendirikan perusahaan lain, dan menarik satu demi satu investor di perusahaan papi untuk bergabung bersamanya.Tak hanya itu, dia juga menjilat mereka supaya percaya padanya. Sampai ketika dia akhirnya memisahkan diri dari perusahaan papi, investor lain yang sudah dia jilat ikut serta dan ... kini perusahaan papi ada di ujung kehancuran.Licik sekali, kan?Sekarang, aku bukan hanya sudah kehilangan 50% saham di perusahaan Papi yang telah berpindah atas namanya, tapi juga para investor yang selama ini bekerja sama dengan papi.Istimewanya, kondisiku sekarang seperti ini, terlibat gosip yang tida
Sepertinya, aku tak sadarkan diri setelah jatuh di trotoar siang itu. Apalagi saat merasa cengkraman menyakitkan dari bawah perutku. Rasanya, aku tak kuat menerima rasa sakit itu, hingga akhirnya menyerah pada kegelapan yang menyambut.Pokoknya aku tak ingat apa-apa lagi setelahnya. Yang ku ingat hanya tubuh yang ringan, dalam kegelapan yang menyelimutiku.Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang jelas, saat kesadaranku kembali. Aku sudah berada di sebuah ruangan serba putih, yang beraroma antiseptic.Rumah sakit. Ya, aku yakin jika sekarang aku ada di Rumah sakit. Siapapun orang baik yang membawaku ke sini, aku sangat berterima kasih sekali. Karena itu berarti aku dan bayiku pasti sudah dapat pertolongan medis untu--Ah, iya. Bayiku! Menyadari hal penting itu, aku
Aku hanya bisa mendesah berat entah untuk keberapa kali. Saat mendengar mendengar penuturan Selly, tentang apa yang sudah dia lakukan waktu aku tidak sadarkan diri. Kesal, sih, sebenarnya, karena dia seenaknya saja membuka aibku, dan membaginya pada orang asing.Tidak. Sebenarnya bukan orang asing juga, karena mereka tahu dan kenal papi. Hanya saja, berhubung aku tidak terlalu kenal, bahkan tidak dekat. Jadi ... tentu saja aku tidak mungkin membagi aibku pada mereka. Makanya sejujurnya aku kesal sekali dengan Selly yang sudah bertindak lancang tanpa izinku.Namun, jika mendengar dari alasan yang dia kemukakan, mau tidak mau aku harus mencoba mengerti, karena toh, apa yang dia lakukan semuanya demi untuk kepentinganku dan bayiku.Ya. Saat aku tak sadarkan diri, dan harus segera mendapat penanganan, rumah sakit ini me
Berbeda denganku yang sudah menatap Aika dengan horor. Suaminya sendiri, Kairo, malah hanya menaikan alisnya sebelah.“Kenapa saya harus menikahi Rara?” tanya Kairo kemudian, dengan nada datar, ciri khasnya.“Ya, Karena Aika pengen punya bayi! Kebetulan Mbak Rara juga gak ada suami, kan? Jadi, mending Mas Boss aja deh yang nikahin. Biar nanti bayinya pas lahir bisa Aika urusin. Gimana, tawaran menggiurkan, kan?”Astaga! Wanita ini benar-benar gila, ya? Bagaimana mungkin dia menawarkan sebuah poligami pada suaminya, dengan alasan remeh seperti itu dan ... selugas itu. Ya, ampun! Pasti ada yang tak beres dengan otaknya.Lagian, kenapa harus poligami, sih? Kan, dia bisa hamil dan punya anak sendiri. Iya kan? Kenapa pula harus nawarin aku jadi madunya
Gara-gara nama Abdilla yang tercetus tadi, aku pun sukses tak bisa tidur malam ini. Karena apa? Tentu saja karena aku penasaran tentang pemilik nama itu sebenarnya. Apa seperti dugaanku? Atau bukan? Pokoknya, hal itu benar-benar menggangguku sekali.Bukan apa-apa. Masalahnya, Mama Sulis juga punya nama belakang yang sama, dan aku benar-benar khawatir pada nenek dari bayiku itu.Terlepas dari kelakuan anaknya yang sudah membuatku hancur sedemikian rupa. Mama Sulis tetaplah orang baik, yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri.Tentu saja, aku tak ingin sampai terjadi sesuatu pada Mama Sulis. Akan tetapi, bagaimana caraku mengetahui info tersebut.Atau ... apa aku telepon Mama Sulis aja? Pura-pura tanya kabar atau apa gitu, gak papa, kan? Tapi .... Gimana kalau ternyata ya
“Okeh! Mulai hari ini saya bakal serius naklukin hati kamu!”Eh? Maksudnya?Plok!“Ih, bukan itu maksud saya!”Aku pun refleks menabok lengan Ken, saat mendengar ucapannya itu. Namun, tak lama setelahnya, aku juga langsung kikuk sendiri, saat menyadari kelancangan sikapku terhadap pria itu. Duh! Kok, aku malah jadi sok akrab gini, sih? Aku pun jadi merasa malu sendiri dengan kelancanganku pada Ken tersebut.Namun, seperti yang sudah-sudah. Ken malah menanggapiku dengan kekehan renyah khas pria itu. Sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan sikap lancangku. Malah setelah terkekeh renyah, dia seenaknya mengacak puncak kepalaku hingga rambutku sediki
Sebenarnya, aku tidak terlalu menganggap serius ucapan Ken malam itu. Karena aku kira dia hanya bercanda saja seperti biasanya. Lagi pula, saat itu aku dalam kondisi yang memang tidak mau memikirkan sebuah hubungan serius lagi. Aku masih trauma dengan pernikahan sebelumnya. Aku masih ingin sendiri dan memfokuskan diri pada apa yang lebih penting saat itu.Anakku yang paling utama. Karena dia adalah satu-satunya hal yang berharga yang masih aku miliki. Nomor duanya ialah perusahaan Papi, yang masih harus ku coba selamatkan. Jadi, aku hanya menganggap ucapan Ken itu seperti angin lalu. Atau ... sebut saja hanya sebagai penghibur dan penyemangat. Lebih dari itu, aku sendiri sadar siapa aku? Sekarang aku janda beranak satu. Tentu saja, statusku itu membuatku insecure jika harus mendampingi seorang Kenneth yang ... terlalu se
Pov Kenneth” “Bang?”“ “Hm ....”“ “Itu siapa?”“ Kairo mengangkat wajahnya dengan kesal, sebelum mengikuti arah pandangku.” “Maba,” jawabnya singkat. Membuat aku kesal sekali.” Abang kembarku ini memang pelit sekali berkata-kata. Seakan setiap kata dia ucapkan itu harus membayar.” “Ck, Dari baju yang dia pakai pun, gue juga bisa nebak kalau di masih Maba.” Aku berdecak cukup keras, menyuarakan kekesalanku pada pria yang lahir tiga menit lebih awal dariku.” “Kalau begitu, kenapa masih tanya?” gumamnya kemudian, membuat kekesalanku makin menjadi-jadi.”
“Loh, Kak Sean? Udah pulang? Kok, gak ngabarin? Gimana kabar Kakak sama Kak Audy? Baikkan?”“ Aku cukup terkejut melihat keberadaan Kak Sean di Ruang tamu kediamanku, saat baru saja menidurkan Kean yang lumayan rewel hari ini.” Kak Sean tidak menjawabku. Hanya tersenyum tipis, sebelum menyerahkan sebuah amplop padaku.” “Aku baru datang. Sengaja langsung ke sini untuk memberikan itu padamu,” ucapnya sendu, tidak seperti biasanya.” Entah kenapa, aku melihat kesedihan yang teramat sangat dalam matanya.” “Ini apa?” tanyaku kemudian, sambil menerima amplop yang sepertinya berisi surat di dalamnya.” “Baca aja, itu dari Audy.”“ Eh?”
*Happy Reading*” “Saya terima nikah dan kawinnya Andara prameswari Binti Matheo Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai!”“ “Bagaimana para saksi? Sah?”“ “Sah ....”“ Alhamdulilah ....” Rasa haru pun menyeruak tak terbendung, saat moment itu kembali terulang dalam hidupku.” Meski ini memang bukan yang pertama ku alami. Tapi rasa haru ini benar-benar pertama kali aku rasakan dan ....” Terima kasih Tuhan. Akhirnya aku punya hari bahagiaku sendiri.” Aku benar-benar tak pernah menyangka akan punya kesempatan lagi, bisa merasakan moment ini kembali dalam hidupku, setelah semua yang sud
*Happy Reading*”“Andara Prameswari. Kau ku talak.”“Alhamdulilah ....”Senyumku pun langsung terbit, setelah mendengar kata talak kembali diucapkan pria ini.”Please ... tolong jangan bilang aku gila. Karena apa? Karena ini memang harus dilakukan, agar aku bisa meraih kebahagiaanku yang sudah menunggu.”“Makasih ya, Kak,” ucapku tulus, seraya menatap pria yang sekarang sudah sah ku sebut Mantan suami.”Iya, dia adalah Sean Abdilla, yang baru saja mengucapkan kata talak untuk kedua kalinya terhadapku.”Kenapa bisa begitu? Ya ... karena aku sendiri sebenarnya selama ini r
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi.” Mama Sulis terus membelai rambutku, mencoba menenangkan aku yang benar-benar tak bisa menghentikan tangis.”Bagaimana tidak? Aku harus menerima kenyataan kembali ditinggalkan, oleh pria yang sangat penting dalam hidupku. Juga pria yang sudah aku labeli akan menjadi pasangan hidup sampai tua nanti.”Demi Tuhan. Tujuanku ke Rumah ini kan, untuk menyelesaikan masa lalu, agar bisa hidup tenang dengan pria itu.”Tetapi pria itu malah seenaknya pergi, tanpa memberi kabar apapun padaku. Seakan aku ini sudah tak penting dan ....”“Apa perlu kita pesan tiket ke London sekarang. Agar kamu bisa menyusul Dokter Ken ke sana?” usul Kak Sean kemudian. Tampak ikut bersalah akan kejadian itu.”
“Kalau begitu, apa Kakak keberatan jika aku bilang kita impas?” ucapku kemudian, setelah cukup lama membiarkan Kak Sean larut dalam penyesalannya.”Sayangnya, Kak Sean malah menggeleng, dan tersenyum miring saat mengalihkan atensinya padaku.”“Kurasa kata impas lebih tepat diucapkan Papimu, Ra. Karena kamu tak punya salah apapun di sini. Hanya aku saja yang bodoh sudah menjadikanmu alat untuk balas dendam. Jadi, kamu tak pantas mengucapkan hal itu,” balasnya dengan bijak.”Ah, i see.”“Kalau begitu. Apa ini sudah cukup untuk kakak, agar tak menggangguku lagi. I mean, Kakak gak akan meminta aku kembali sama Kakak lagi, kan? Karena aku benar-benar tidak--”“&ldqu
“Terima kasih karena sudah datang, dan membuat Mama bisa tertawa bahagia seperti itu lagi,” ucap Kak Sean. Saat kami akhirnya punya kesempatan duduk berdua, seraya memperhatikan interaksi Mama Sulis dan Kean di Taman samping Rumah.”Ya, aku memang membawa serta Kean ke Rumah ini. Bukan sengaja sebenarnya. Hanya saja, tadi saat aku akan ke sini. Kean terbangun dan rewel sekali tak ingin ditinggalkan. Makanya, sekalian saja kubawa. Toh, ini rumah Neneknya juga, kan?”“Kamu tahu, rasanya saya sudah lama sekali tak melihat Mama tertawa lepas seperti itu,” gumamnya lagi, tak melepaskan sedikitpun pandangan dari Mama Sulis.”Tatapan matanya syarat akan rasa haru, dan binar bahagia yang tak pernah aku lihat selama ini.”Tentu saja
“Rara gak tahu, Bund,” ungkapku akhirnya, sambil menunduk lesu. Setelah sebelumnya berpikir cukup lama sesuai titah Bunda barusan.”Entahlah, aku juga bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini. Karena jujur saja, hal itu tak pernah aku pikirkan sebelumnya.”Karena bagiku, kebahagiaan Kean itu di atas segalanya, jadi aku tak terlalu memikirkan diriku sendiri. Yang penting Kean bahagia, maka aku pun pasti akan ikut bahagia.”Bukankah saat kita menjadi seorang ibu, itu berarti sudah bukan saatnya egois lagi. Karena kepentingan anak itu di atas segalanya.”Jadi ... apa salah jika aku berpikir demikian dan melupakan keinginan hatiku sendiri?”“Gak tahu siapa yang kamu cintai sebena
“Rara gak pernah bilang gitu, Bun!” batahku cepat tanpa sadar, membuat Bunda lumayan berjengit kaget di tempatnya. Melihatnya, aku langsung gelagapan karena merasa bersalah sudah mengagetkan Bunda Karina.“Eh, maaf, Bund. Rara gak maksud ngomong keras sama Bunda,” ucapku kemudian, menyuarakan permintaan Maafku. Bunda hanya tersenyum menanggapinya dan menepuk tanganku satu kali.“Gak papa, Bunda ngerti, kok,” jawabnya pengertian. “Tapi, apa yang kamu bilang barusan ... beneran?” Bunda Karin lalu mengembalikan topik obrolan.“Ah, iya, Bund. Beneran, Kok! Rara gak pernah ngomong kayak gitu sama Ken.” Aku pun mencoba meyakinkan Bunda.“Lho, tapi Kata Ken, waktu itu kamu ngobrol dengan mantan mertuamu dan&mdash