“Lucy, maaf tapi aku tidak bisa lama-lama di sini. Teman-temanku sudah menunggu di cafe sebelah, jadi aku harus pergi.”Valerie berdiri setelah membaca pesan dari Isabelle. Isabelle juga mengirimnya rekaman suara yang isinya hanya suara menggerutunya karena dia tidak melihat Valerie di sana. Dia bilang berdua dengan Zach sedikit canggung, jadi Valerie memutuskan untuk segera kembali.“Baiklah. Sampai bertemu lain kali,” Lucy tersenyum.Saat Valerie melangkah beberapa langkah darinya, Lucy memanggil Valerie lagi. Valerie menoleh. “Ada apa?” tanyanya.“Soal aku mencium Emrys,” Lucy terlihat tegang. Terlihat dia beberapa kali membasahi bibir bawahnya lalu menarik nafas. “Kalau kamu mau memukulku, silahkan. Aku...” Dia kembali menarik nafas. “Aku salah. Maafkan aku.”Valerie memang tidak suka saat Lucy mencium Emrys dengan liar malam itu. Ketika Valerie melihat bahwa lipstik yang digunakan Lucy nyaris hilang karena terlalu intens mencium Emrys, dia sangat marah. Namun Emrys tidak tahu soa
“Bagaimana lukamu? Apakah sudah sepenuhnya sembuh?”Valerie dan Rick berjalan beriringan keluar dari cafe menyusuri jalanan kota di sore hari. Isabelle dan Zach berada beberapa langkah di depan mereka, sedang sibuk berdebat soal rasa permen kapas yang mereka beli sesaat setelah keluar dari cafe.“Sudah sembuh semuanya,” Valerie mengangguk. “Terimakasih sudah peduli.”“Aku seorang dokter, mungkin itu reaksi naturalku saat bertemu seseorang yang pernah terluka di depan mataku sepertimu.”Valerie hanya tersenyum kecil menanggapinya. Sesekali matanya merayap, memperhatikan setiap sudut jalanan itu. Di mana orang-orang Emrys sekarang bersembunyi? Di belakang pohon besar itu? Dia menatap sebuah pohon besar yang tumbuh di dekat taman. Atau di balik tukang es krim itu? Dia menatap sebuah mobil penjual es krim yang terparkir tak jauh dari mereka. Atau mereka sembunyi di dalam salah satu mobil-mobil ini? Dia menatap jejeran mobil yang memenuhi parkiran.Astaga, aku merasa sangat tersiksa berjal
Valerie duduk sendirian di balkon kamar, menatap pada langit malam yang gelap. Angin bertiup menandakan jika mungkin sebentar lagi hujan akan datang. Sesekali Valerie menggosok tangannya karena udara malam yang cukup dingin. Namun walau dingin, dia tidak berniat untuk masuk kembali ke kamar.Rys tidur dengan nyenyak di kakinya beralaskan sebuah kain. Anjing mungil itu melengkungkan badannya, suara dengkuran nafasnya terdengar bersahut-sahutan sehingga membuat Valerie tersenyum. Karena Emrys tidak menyukai hewan mungil itu namun dia mengizinkan Valerie memeliharanya, Valerie membuat rumah kecil Rys di balkon kamar. Dia mengatur sedemikian rupa supaya rumah Rys tidak terkena air hujan dan panas matahari yang berlebihan.[Apa Tuan Emrys sangat marah padamu?]Dia membaca pesan yang baru masuk dari Zach. Valerie menarik nafas, lalu mengetik di layar ponselnya.[Tidak. Dia tidak marah padaku.]Tak lama kemudian,[Sudah ku bilang rencana ini akan berhasil. Pasti Tuan Emrys sedang kalut deng
Saat Emrys menggenggam pergelangan tangannya dengan erat, Valerie hanya bisa diam. Dia mengangkat wajahnya, mencoba memberanikan diri menatap Emrys. Namun jantungnya langsung berdetak sangat cepat begitu matanya bertemu dengan mata Emrys yang saat itu juga menatapnya dalam.“Apa katamu?” Emrys mengulangi pertanyaannya, kali ini suaranya lebih lembut sehingga membuat perasaan Valerie malah semakin acak-acakan. “Jadi maksudmu, jika kamu bisa, kamu tidak akan menyukaiku? Lalu kamu akan menyukai siapa?”Valerie menelan ludahnya. “Siapa saja, asalkan dia bisa menghargai perasaanku dan membalasnya.”Emrys berdecak, menarik tangan Valerie hingga Valerie terjerembab dan kedua tangannya berada di dada Emrys yang bidang. Dengan tajam dan dalam, Emrys menatap kedua bola mata Valerie dan Valerie bisa bertaruh jika suara degupan jantungnya pasti terdengar oleh Emrys sekarang.“Jadi maksudmu, kamu bisa dengan gampang menyukai orang lain?” gumamnya pelan dan terkesan sedikit menggoda, karena dia men
Isabelle menatap Valerie dan Emrys bergantian saat sedang sarapan di meja makan. Sembari menggigit roti panggangnya, dia terus mengamati keduanya. Grandpa sudah kembali ke kamarnya karena beliau merasa sedikit kurang sehat dan di meja makan hanya ada mereka bertiga.Ada yang aneh, batin Isabelle. Bibir mereka berdua terlihat bengkak, khususnya Emrys. Dan luka di bibir itu? Ada apa dengan mereka berdua? Apa Valerie sudah mulai bisa meluluhkan Kakakku?“Apa kalian melakukan sesuatu tadi malam?” tanya Isabelle tiba-tiba.Valerie yang sedang meminum susu segarnya nyaris tersedak, namun dia berpura-pura tetap tenang. Berbeda dengannya, Emrys yang duduk di sebelahnya tampak tenang-tenang saja dan tidak terpengaruh oleh pertanyaan Isabelle.“Emrys, aku tidak mengizinkanmu melakukan sesuatu pada Valerie. Aku akan membunuhmu jika kamu melakukannya,” Isabelle menunjuk Emrys yang sedang sarapan dengan tenang.Emrys meletakkan roti panggangnya ke atas piring. Di sebelahnya Valerie tampak mengulum
Bibir itu tampak mengkilap karena Valerie menyapukan lipgloss di sana. Hal itu membuat nafas Emrys tersekat. Belum lagi setelah Valerie melepas cardigannya sehingga dress tali satu yang dikenakan Valerie terlalu mengekspos kulit putih di area dada dan punggungnya.Emrys tidak tahan. Dia meraih cardigan dari tangan Valerie dan langsung membalutkannya ke punggung Valerie sebelum dia kehilangan realistisnya yang tersisa.“Pakai pakaianmu. Di sini hutan, banyak serangga liar yang mungkin bisa mengigitmu,” ujar Emrys, sedikit berkelit. Dia kembali membersihkan kaki Valerie dan memakaikan sneakersnya kembali. “Ini bukan milik Victoria. Aku membelikannya dulu untuk Isabelle, namun aku lupa jika aku pernah membelinya.”“Bisakah kamu jangan menyebut nama Victoria terus-terusan di depanku?” gumam Valerie pelan.Dia menunduk. Wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya yang terurai. Emrys menatap Valerie yang nyaris menangis. Dia menghela nafasnya, lalu mengangguk. “Baiklah,” ujarnya.“Benarkah?” V
Emrys segera bangkit dan menemukan Valerie sudah tergeletak setelah cabang pohon menimpa kakinya sementara kepalanya juga terluka. Tetesan darah segar mengalir dari keningnya karena terbentur dengan sebuah batu kecil yang tergeletak di atas tanah.Dia berusaha mengangkat cabang pohon besar itu, namun dia tidak sanggup. Dari kejauhan, Zach dan Ky menoleh saat mendengar teriakan Emrys. Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu segera berlari karena mereka tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Astaga, Valerie...”Zach berteriak saat melihat Valerie tergeletak di atas tanah sementara Emrys terus berusaha mengangkat patahan cabang pohon. Zach dan Ky langsung membantu Emrys. Dengan kekuatan tiga pria dewasa, akhirnya cabang pohon itu bisa mereka geser dan Emrys langsung menghambur memeluk Valerie.“Valerie, sadarlah. Jangan menakutiku,” seru Emrys gugup.Namun Valerie masih tidak bergerak. Kedua bola matanya terpejam dan tubuhnya lunglai.“Valerie...” kembali Emrys mengguncang tubuh Val
Salah satu wanita itu mengangkat lengan Valerie setelah mereka tertawa bersama karena membahas Emrys. Terdegar suara ritmis dari mesin tensimeter yang dibebatkan ke lengannya, lalu salah satu dari mereka mengatakan, “Tensinya bagus. Dia sangat stabil.”Valarie memutuskan membuka kelopak matanya perlahan. Dia menoleh. Dua orang wanita yang sedari tadi bicara adalah perawat yang sedang memeriksanya. Kepalanya masih sedikit pusing dan berat, dan dia menyadari jika dia berada di ruang perawatan. Valerie memutar kepalanya menghadap ke langit-langit ruangan itu. Dia tidak terlalu ingat sejak kapan dia bisa ada di sana, namun dia ingat jika dia mendorong tubuh Emrys hingga dia terkena patahan cabang pohon yang sudah tua yang jatuh menimpanya. Tapi di mana yang lain? Tidak mungkin mereka kembali, kan?“Kamu sudah sadar? Apa kamu merasa sedikit tidak nyaman?” seorang perawat menyadari jika dia sudah membuka matanya.Valerie menggeleng. “Hanya sedikit pusing.”“Baiklah. Akan ku panggil dokter
Hal pertama yang dilakukan Isabelle adalah memeluk erat Valerie ketika dia turun dari sedan yang membawanya kembali ke rumah. Dalam diam, dia menangis sesenggukan, menumpahkan semua rasa sakit hati dan penyesalan yang tak terukur dalam dirinya. Isabelle tidak bisa menggambarkan betapa terlukanya perasaannya dan sedalam apa rasa sakitnya.Rasa sakit itu bukan hanya karena dia berpikir jika dia kehilangan Valerie, namun juga karena rasa cinta yang sudah menggebu-gebu dalam dirinya untuk Rick. Tapi keadaan ini membuat dirinya sendiri tidak mengizinkan cinta itu berbalas. Dia sangat sakit hati hingga dia membatasi dirinya untuk tidak mencintai.“Heh, berikan Grandpa kesempatan.” Isabelle melepas pelukannya. Dia berdiri di sisi Valerie, menyeka air matanya dan membiarkan Grandpa memeluk sosok yang sangat dirindukannya itu.Tangisan Grandpa pecah saat memeluk Valerie. Dia terus mengelus punggung Valerie dan mengatakan maaf, bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali hingga Valerie pun
“Emrys bunuh diri.” Lucy tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Karlis ketika Valerie sedang menonton televisi.Valerie berdiri, kedua bola matanya membulat tak percaya, namun dia kembali duduk dengan santai. "Jangan membohongiku. Aku tidak akan percaya.""Valerie...""Aku tahu kamu selalu memaksaku pulang. Tapi jangan menggunakan cara seperti ini." ujar Valerie."Aku tidak berbohong. Emrys benar-benar bunuh diri." Lucy membuka ponselnya, menunjukkan pesan yang dikirim oleh Ky padanya. “Apa katamu?” desis Valerie.“Setelah mengirim pesan padaku, dia menghubungiku juga. Dia bertanya dimana aku sekarang dan aku berbohong jika aku sedang diluar kota untuk urusan pekerjaan. Dia memintaku untuk menenangkan Isabelle dan memberitahu jika Emrys bunuh diri.”“Ke-kenapa bisa...”“Dia melompat dari tebing yang sama dengan tebing tempatmu nyaris dibunuh. Dalam suratnya yang dia letakkan di meja kamar, dia mengatakan jika dia ingin mengalami sendiri apa yang kamu alami.”“Tapi ini sudah satu setengah
Lucy berguling menghadapkan tubuhnya pada Valerie yang masih terlentang menatap kosong langit-langit kamar. Setiap akhir pekan, Lucy selalu menyempatkan diri untuk melihat Valerie dan bermalam di sana. Valerie selalu mengalami mimpi buruk, berteriak dalam tidurnya untuk diselamatkan. Lucy tahu sahabatnya itu terluka sangat dalam hingga dalam mimpi pun dia masih bergulat. Namun, Lucy juga tidak bisa melakukan apa-apa.“Belum mengantuk?” bisik Lucy.Valerie menggeleng, menarik selimut menutupi dadanya. Dia mendesah panjang. “Bagaimana kondisi perusahaan Emrys?”“Sudah lebih baik.” Lucy memilih duduk. “Sejak aku memutuskan untuk menarik semua produk yang kami luncurkan dan mengembalikan apa yang seharusnya milik Lysander Kingdom berikut hak ciptanya, perusahaan mereka semakin membaik.”“Bagaimana dengan Isabelle?”“Isabelle?” Lucy mengingat-ingat. “Aku tidak terlalu sering bertemu dengannya karena aku sibuk di perusahaan. Tapi Rick mengatakan jika Isabelle masih marah dan menolak dirinya
Sebulan kemudian.Sepasang bola mata yang indah dan teduh itu menatap layar televisi yang ukurannya nyaris seukuran dengan kardus pembungkus mie instan yang biasa dimakannya. Kedua bola mata itu bergerak mengikuti arah gambar yang menayangkan acara komedi. Dia tidak tertawa saat tokoh dalam acara itu menjatuhkan dirinya ke dalam kubangan lumpur. Apapun adegannya, dia tidak tersenyum.Seorang wanita paruh baya masuk ke ruanganya. Dia membawakan semangkuk bubur yang masih mengepul panas dan meletakkannya di atas meja. Dengan lembut wanita itu menarik remote dari tangannya dan mematikan saluran televisi. “Sudah malam, Nak. Makanlah dulu. Kamu perlu tetap hidup demi janin dalam perutmu.”Pemilik mata teduh itu adalah Valerie. Ketika wanita yang menemukannya dan menyelamatkannya itu menyebut janinnya, dia secara naluri memegang perutnya. Di keningnya ada beberapa bekas luka goresan yang belum hilang, begitu pula di tangannya.Dia ingat. Ketika tubuhnya dihempas oleh arus, seseorang tiba-t
“Bagaimana Grandpa, Belle?” Rick dan Zach menghampirinya bersamaan.Isabelle tidak menyahut, pun tidak melirik mereka. Dia melengos begitu saja lalu pergi mengambil beberapa kaleng alkohol dari dalam kulkas dan membawanya ke taman belakang rumahnya. Hati Isabelle benar-benar kacau dan dia masih sakit hati. Semua kebohongan yang mereka lakukan di depannya membuat dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara pada keduanya.Dia membuka kaleng alkoholnya dan langsung menenggaknya. Dalam sekali tegukan panjang, dia menghabiskan seisi kaleng itu hingga tumpah ke pakaiannya. Isabelle menghela nafas, menyeka sisa alkohol yang membanjiri dagunya. Isabelle mengingat Valerie. Dia menunduk, air matanya jatuh dan dia menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sangat sesak. Dia memukul-mukul dadanya yang seolah terhimpit oleh beban berat, berusaha mencari oksigen agar bisa bernafas lebih leluasa. Namun sesak itu bukan karena jantungnya kekurangan oksigen, melainkan karena semua kekacauan dalam h
Angin malam yang kencang membuat tubuh Victoria yang terayun-ayun merasakan kengerian yang teramat besar. Dia berteriak meminta agar Emrys menurunkannya. Rasanya dia nyaris pingsan melihat betapa tingginya posisinya berada hingga benda-benda di bawahnya terasa sangat kecil. Victoria menangis, kembali memohon agar Emrys bermurah hati padanya.Hati Emrys tidak tergugah. Dia sama sekali tidak tergerak. Tekadnya sudah bulat sekalipun dia akan membayar apa yang dilakukannya dengan nyawanya sendiri.Dia akan melakukan apa pun, dia sanggup menukar apa pun, hanya jika Valerie bisa kembali.Ketika Emrys hendak melempar tubuh Victoria dari lantai enam belas bangunan itu, tiba-tiba beberapa anggota kepolisian menghampirinya dan berusaha menahannya.“Emrys, jangan.” Sosok kapten yang ditemuinya di villa tadi malam berdiri di sana. “Jangan kotori tanganmu, ini bukan gayamu.”Air mata Emrys mengalir terus dan dia benar-benar tidak berdaya. Bayang-bayang bagaimana Valerie jatuh menari-nari di kepala
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?” Victoria menggerutu kesal saat mendengar bunyi bel pintu terus berdering. Dengan malas dan setengah pusing dia melangkah dan membuka pintu. Namun begitu melihat Emrys berdiri dengan murka di sana, dia membelalak dan buru-buru menutup kembali pintu kamarnya. Dengan kasar Emrys menendang pintu hingga membuat Victoria terpelanting. Wanita itu beringsut mundur dengan gugup dan gemetar.“Di mana Valerie?” Emrys menunduk, meraih kerah baju Victoria dengan kasar dan tatapan dingin mematikan. Rick dan Ky ada di belakangnya. Ketika Emrys mengabari Ky, Ky juga langsung memberitahu Rick. Ky hanya berpikir mungkin Rick melihat keberadaan Valerie, namun karena Rick juga tidak tahu dimana Valerie, dia memutuskan ikut.“Ada apa, Vic?” Cassiel berseru dari dalam kamar mandi ketika dia mendengar saura ribut-ribut.Victoria hendak berteriak, namun dengan cepat Emrys meninju mulutnya hingga berdarah. Victoria tergeletak di lantai, kesakitan dan berlumuran dar
Lembaran hitam putih itu membuat jantung Emrys memacu. Tangannya gemetar, wajahnya memutih, dan sekujur tubuhnya gemetar luar biasa. Dia melihat nama Valerie tertera di foto USG itu dan hal itu membuktikan jika kertas foto itu adalah benar milik Valerie. Buru-buru Emrys membuka buku harian Valerie dilembaran dimana kertas foto itu jatuh.Air matanya langsung mengalir begitu membacanya, merasakan kepedihan yang teramat besar dan juga rasa penyesalan. Emrys menggeleng, menolak jika Valerie menyiratkan jika dia sudah menyerah dalam tulisan itu. Dan ketika dia membaca tulisan Valerie yang mengatakan dia hamil, buku harian di tangannya langsung jatuh.“Ha-hamil?” Gumam Emrys kaget. “Anakku? Dia hamil anakku?”Emrys berdiri, memegang kepalanya yang berdenyut karena bingung. Foto USG dan tulisan di buku Valerie sangat mempengaruhinya. Dia tidak menyangka bahwa dalam tubuh Valerie ada janin dimana darahnya mengalir. Janin itu adalah bukti pencapaian tertinggi rasa cinta diantara mereka. Tang
“Dia akan mencariku segera ketika mengetahui aku tidak ada di rumah. Apa kamu tidak takut?”Cassiel tertawa. “Takut? apa yang harus ditakuti?”“Jika kamu tidak takut, kenapa kamu bersembunyi selama ini?”Valerie terus bicara, berharap Cassiel kehilangan hasrat untuk membunuhnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Dia harus memancing Cassiel terus bicara dan sebisa mungkin tidak menyinggungnya. Jika tidak, meski dengan kekuatan kecil, tubuhnya akan langsung meluncur ke bawah jika Cassiel mendorongnya.“Itu karena perintah pria itu, tahu?” jawab Cassiel santai.“Maksudmu, Dex?” tebak Valerie.Cassiel mengangguk. “Aku harus menuruti ayahku, bukan?”Angin menerbangkan rambut Valerie. Kuncirannya berantakan diterpa angin dan dia kedinginan. Kakinya kaku saat dia menginjak sebuah batu dan batu itu langsung longsor jatuh ke bawah. Valerie memberanikan diri menengok ke bawah. Buih-buih putih terlihat memecah dinding jurang hingga membuat Valerie menelan ludahnya.“Aku tidak ingin mengh